Ber (empati) diri
Hari ini masih suasana berkabung. Mendung menyelimuti. Sedih masih bersemayam dalam hati dan menelisik sanubari. Semua orang pasti suatu ketika akan mengalami, datang dan pergi. Kembali pada ilahi Robbi. Lahir dan mati. Itu pasti dan tak dapat di pungkiri. Tinggal bagaimna kita mampu mengelola hati dan empati.
Dari Sabtu kemarin, saat Ibu mertua saya pergi semua pada bersedih tanpa terkecuali. Keluarga, saudara, tetangga pada datang ikut berempati, saat tulisan ini saya buat masih saja ada tamu berdatangan untuk sekadar mengucapkan bela sungkawa, ikut berempati, ikut menghibur apabila semua orang pasti akan mengalami, tinggal menunggu waktu dan urutan antrian.
Kemarin teman, saudara dari luar daerah, kota atlas dan kota wali pada datang. Mereka datang dengan segala doa dan mendoakan dengan tahlil dan tahmid dengan khusuk dan seksama. Mereka ber empati atas nama pribadi dan organisasi, yang notabene saya dan mereka menempa diri.
Sebelumnya, pagi menjelang siang ada panggilan dari kolega, teman kerja yang menanyakan ini itu demi keuntungan pribadi, demi bersembunyi di ketiak pengabdian. Dengan dalih kebutuhan, dan jatuh tempo dengan seksama. Jika Tuhan kedua masih menjadi tujuan maka saya akan berujar, kalbun tenan.
Mengetahui, memahami, tentang kondisi apa pun sangatlah penting. Sebab jika apabila kita ingin berkomunikasi atau sekadar bersapa apa saja tentu harus ada ritme, harus ada jeda sebab dari itu kita dapat memahami perihal bagaimana menghargai.
Bukankah untuk menghargai diri sendiri harus bisa menghargai orang lain. Sebab empati terlahir dari pribadi pribadi yang tak ada kepentingan, tercipta dari hati yang bersih dan bening. Bukan dari orang orang punya tujuan dan mempunyai pemikiran untung rugi dari setiap pertemuan dan kedekatan.
Dari kejadian kemarin saya dapat menyimpulkan apabila zaman sekarang orang berempati sangatlah kurang bahkan bisa jadi sudah hilang. Apalagi ketika berhadapan dengan orang dibawahnya, atau strata sosialnya lebih rendah darinya. Maka dari itu, ketika kita ingin mengasah atau menempa hati kita termasuk saya agar mudah ber empati, yang perlu dilakukan adalah sering seringlah melihat kebawah, saat berjalan sehingga tak mudah tersandung batu di jalanan.
Kemudian saya bertanya pada diri saya sendiri. Bisakah saya berempati pada setiap orang yang saya kenal atau pun tak. Sebelum orang lain berempati pada saya? Jawabannya yaitu saya harus memaksakan kulino berempati pada siapa saja, pada yang di kenal atau pun tak, dan tak harus mempunyai maksud dan tujuan setelah melakukan empati.
Padahal berempati padi diri sendiri adalah kuncinya ber empati pada orang lain dalam kondisi apa pun. (Niam At Majha)