Bahtsul Masail PCNU Kabupaten Pati Perbolehkan Mengikuti Pendapat Wakaf Uang Sah
Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Kabupaten Pati pada hari Rabu, 7 Dzulqa’dah 1445 H atau 15 Mei 2024 lalu menyelenggarakan Bahtsul Masail dengan tema Wakaf Uang. Bahtsul Masail di Pondok Pesantren Manba’ul Ulum Pakis Tayu Pati, asuhan KH M. Aniq Muhammadun ini dilaksanakan oleh Lembaga Bahtsul Masail PCNU dengan melibatkan beberapa pihak.
Hadir dan aktif dalam pembahasan antara lain KH M. Aniq Muhammadun, KH Abdullah Bahij, KH Abdul Majid, KH Minanurrohman. Masing-masing adalah Rais, Wakil-wakil Rais, dan Katib Syuriah. Dari A’wan Syuriah hadir KH M Faeshol Muzammil dan KH Ali Masyhar dan dari Pengurus Harian Tanfidziyah hadir Ketua dan para wakil ketua, yaitu KH Yusuf Hasyim, KH Jamal Makmur, K. Kasmuri beserta Pengurus Harian Tanfidziyah lainnya. Sedangkan dari LWP sekaligus Pusat Studi Fatwa Ipmafa KH Umar Farouq beserta sekretaris, dari LBM KH Saifurrohman dan anggota, dari Lazisnu KH Niam Sutaman beserta beberapa orang pengurus, dan dari Program Studi Zakat Wakaf Ipmafa KH Agus Jauhari disertai. Bertindak sebagai narasumber dari LKS PWU BPRS Artha Mas Abadi, H. Mumu Mubarok.
Saat dimintai keterangan mengenai latar belakang bahtsul masail ini, KH Saifurrohman menjelaskan, “Memang wakaf uang ini bukan perkara baru secara fiqh, baik dalam di era klasik, modern, maupun kontemporer. Begitu pula aspek penerapannya dalam sejarah perwakafan Islam. Akan tetapi seiring dengan perkembangan kontemporer di bidang filantropi Islam maka kajin-kajian mengenai wakaf terutama wakaf uang perlu ditilik kembali.” Kiai Saifur menambhakan, “Apalagi aspek-aspek wakaf kontemporer yang meliputi hukum fiqh, penguatan regulasi, penataan kelembagaan, peningkatan kompetensi nadhir, program pemberdayaan, dan teknologi telah berkembang sedemikian rupa.”
Sementara itu peserta dari LWP PCNU, KH Umar Farouq, mengatakan, “PCNU Kabupaten Pati melihat bahwa peluang penerapan wakaf uang di kalangan nahdliyin sangat besar. Apalagi saat ini di lingkungan internal PCNU Pati telah terdapat Lembaga Keuangan Syariah Penerima Wakaf Uang (LKS PWU) berbasis nahdliyin, telah ada nadhir-nadhir wakaf yang bersertifikat, dan calon-calon waqif, baik perorangan, organisasi maupun badan hukum. Maka sebelum menggerakkan dan mengoptimalkan wakaf uang penting sekali menverivikasi (tahqiq) dan mencari kesamaan pandangan syariah melalui majlis Bahtsul Masail”.
Majlis Bahtsul Masail wakaf uang ini membahas 3 pertanyan pokok, yaitu : a) Apa status hukum syariat wakaf uang di lingkungan 4 madzhab (madzhibul ‘Arba’ah), b) Apakah boleh mengikuti pendapat yang memperbolehkan wakaf uang ?, dan c) Apakah boleh mengikuti pendapat yang memperbolehkan wakaf uang secara berjangka ?
Majlis lebih dulu menyepakati bahwa uang yang dibahas adalah uang di era modern yang kehartaannya terletak hanya pada nilai yang diterakan (qimah), bukan pada material fisiknya (‘ain). Uang ini berbeda dengan uang di masa lalu berupa dinar atau dirham yang dominan dalam literatur fiqh klasik, karena kehartaannya -disamping pada nilai– juga terletak pada material fisiknya. Oleh karena itu fiqh klasik membahas hukum mewakafkan keduanya untuk tujuan perhiasan dan alat ukur penimbangan. Hal mana kedua tujuan ini tidak mungkin lagi terjadi pada uang modern, dan karenanya majlis tidak membahasnya. Dengan demikian majlis hanya membahas wakaf uang yang tujuannya untuk dikembangkan secara produktif (istitsmar) dan mensedekahkan hasilnya, dengan tanpa mengurangi atau menghabiskan (istihlak) nilai pokok uang wakaf. Tujuan itu pula yang dimaksud dalam seluruh regulasi tentang wakaf uang.
Majlis juga lebih dulu membedakan antara wakaf uang dengan wakaf melalui uang. Wakaf melalui uang adalah menyerahkan uang untuk tujuan pengadaan obyek yang kemudian dijadikan sebagai wakaf. Wakaf melalui uang ini juga tidak menjadi pembahasan majlis, karena sudah maklum bahwa yang berstatus mauquf (harta wakaf) adalah bukan uang yang diserahkan, akan tetapi obyek harta yang diadakan dari uang tersebut.
Dalam menjawab soal item (a), majlis mempetakan perkhilafan hukum wakaf uang untuk tujuan sebagimana di atas dalam lingkungan madzahibul arba’ah sebagai berikut :
- Tidak memperbolehkan, merupakan pendapat Syafi’iyah, Hanabilah, dan mayoritas Hanafiyah.
- Memperbolehkan, merupakan pendapat Malikiyah dan sebagian Hanafiyah, yakni pendapat Muhammad yang dinukil oleh Zufar.
Dalam Malikiyah dinyatakan bahwa uang wakaf dan harta benda lain yang memiliki padanan sejenis (mitsliyyat) setela dikembangkan atau dihutangkan secara fisik material memang telah tiada, akan tetapi kembalinya uang atau harta tersebut mereka pandang sebagai pengganti (badal) yang menempati lestarinya harta wakaf asal (baqa’ ainiha). Di samping itu Madzhab Maliki juga tidak mempersyaratkan waktu selamanya (ta’bid) dalam wakaf. Mereka memperbolehkan wakaf dalam jangka waktu tertentu. Selama dalam masa wakaf tersebut harta wakaf tidak boleh dipindahtangankan melalui jual-beli, hibah, atau pewarisan.
Dalam soal item (b) majlis menjawab boleh mengikuti pendapat yang menyatakan wakaf uang hukumnya sah karena masih dalam lingkungan 4 madzhab (madzahibul a’ba). Demikian juga dalam soal item (c), majlis juga memperbolehkan wakaf uang dalam jangka waktu tertentu (berjangka) yang merupakan pendapat dalam madzhab Maliki.
Sementara itu, peserta dari LBM lainnya, Gus Ladun, mengajak majlis bahtsul masail mengkritisi fatwa yang beredar luas yang menyebutkan bahwa salah seorang imam dalam madzhab Syafi’i, yaitu Abu Tsaur meriwayatkan bahwa Imam Syafi’i memperbolehkan wakaf dinar atau dirham. Berdasarkan riwayat tersebut kemudian fatwa yang beredar tersebut menyimpulkan bahwa dalam madzhab Syafi’i juga terdapat pendapat yang memperbolehkan wakaf uang.
Mengikuti pernyataan Al Mawardi dalam Al Hawiy (7/510) majlis kemudian mengkritisi bahwa riwayat tersebut sebetulnya konteksnya adalah mewakafkan dinar atau dirham untuk tujuan menyewakan material fisiknya. Menyewakan material fisik dinar atau dirham adalah berbeda obyek (ma’qud alaih) dengan wakaf uang untuk tujuan dikembangkan atau dihutangkan. Oleh karena itu akhirnya majlis tidak mengutip riwayat tersebut.-