Air Doa
Oleh: Maulana Karim Sholikhin*
Masaru Emoto, profesor air asal Jepang pada tahun 1990-an mealukan uji coba memukau. Pak Prof ini memasukkan air ke dalam beberapa botol dan melabelinya dengan pesan positif dan negatif, lalu ia memasukkannya ke dalam lemari pendingin.
Botol air yang ditempel dengan pesan positif (terimakasih, cinta, wa akhowatiha) kristalnya menjadi lebih indah dibanding dengan botol berlabel kata-kata negatif (aku benci, jahat, dan lain-lain).
Ternyata birahi intelektual Emoto belum klimaks. Ia meneruskan risetnya dengan menaruh air dalam gelas dan membunyikan musik heavy metal. Di ruang dan waktu yang berbeda, Emoto melakukan hal yang sama, hanya saja, kali ini, air teraebut diperdengarkan dengan doa-doa dan ‘kalimat thayyibah’.
Hasilnya, air dengan ‘kalimat thayyibah’ memiliki kristal yang jauh lebih indah daripada heavy metal.
Akrab dengan Air
Di Indonesia, menggunakan air dalam segala aktifitas telah menjadi keseharian pribumi. Mulai pengairan hingga pengobatan, baik sakit mental maupun badan semua menggunakan air.
Para ulama sering menggunakan media air untuk kepentingan ke dua itu. Air yang telah didoakan diminumkan ke yang bersangkutan, atau dibuat cuci muka, dicampur di bak mandi, disiram-siramkan mengelilingi rumah dan tempat usaha serta masih banyak lagi metodenya.
Tujuannya pun beragam: biar kalis penyakit, suami yang digondol pelakor bisa balik pulang ingat anak-istri, warung yang sepi bisa laris manis, aura muka bisa berkharisma, scurity system anti tuyul dan masih banyak lagi.
Bukan secara kebetulan, hasil riset Emoto ini linier dengan kebiasaan ulama Nusantara. Para romo yai sebenarnya telah faham betul konsep ‘air doa’. Hanya saja media untuk melakukan riset, atau kesadaran untuk itu memang masih minim.
Air Doa
Baru-baru ini, beredar video seorang aktivis berjas biru menyiram air ke muka pejabat yang ia nilai kontradiksi dengan kepentingan rakyat. Ia mengklaim, bahwa air itu adalah air doa.
Barangkali ini adalah terobosan baru untuk mendoakan sesama. Bukan cuma dengan amin-amin – al faatihah, namun juga dengan metode Masaru Emoto, air doa.
Penilaian pro dan kontra pun sudah menjadi keniscayaan setiap ada sesuatu yang unik lagi kontroversial. Penulis sendiri menilai, langkah ini kurang etis. Hanya saja, penulis bisa merasakan sakitnya dijanji-janjikan.
Demo yang menguras keringat, orasi yang bikin serak hingga amin-amin al faatihah bahkan tidak bisa membuka pintu hati pejabat yang lalim, lantas dengan cara apa suara rakyat sampai ke dinding-dinding parlemen dan eksekutif. Mungkin itu juga yang dirasakan mahasiswa tadi. Mungkin pula, langkah menyiram air doa ini cukup berdampak.
Dengan ‘mandi air doa’, barangkali kristal-kristalnya bisa mengaliri tubuh pejabat, memasuki pori-porinya dan nyatru aura negatif yang ada.
Lalu penulis mulai berangan-angan, dengan metode ini, semua pejabat di Indonesia yang judes jadi ramah, yang korup jadi sembuh, yang tidak kompeten–dengan lilaning manah–segera mundur.
Berkah air doa, cita-cita Pak Sudharnoto segera lunas, ‘rakyat adil makmur sentosa pribadi bangsaku. Maju maju maju ayo maju, ayo maju maju’. Amiin.
*Penulis adalah Pendidik di Ponpes Shofa Az Zahro’ dan MI Hidayatul Islam