Iklan
Cerpen

Mr. Bunglon

Oleh : Elin Khanin

“Lalu apa rencanamu, Bu Dokter?” Tanya Faris datar.

Wajah Najiya kembali mendung. Pandangannya menyapu lantai. Sepasang matanya berkabut. Ia menghela napas sambil menata hati. Ia harus segera mengambil keputusan. Kemana kedua kaki itu akan melangkah selanjutnya. Tak mungkin ia menumpang hidup terus di panti.

Konten Terkait
Iklan

Kembali ke rumah? Ah, dia belum siap bertemu orang tuanya yang selalu memasang wajah nelangsa. Ingin berontak takut dosa, jika menuruti keinginan mereka dan menyetujui perjodohan itu ia belum kuasa. Ia siap berbakti dalam bentuk apa saja asal tak menikah dengan lelaki yang sudah ia cap tua bangka.

Setelah lulus dan diterima bekerja, Najiya bahkan bertekad membiayai sekolah dan semua keperluan adiknya, Janeeta. Juga mengirimi uang belanja bulanan untuk ibunya. Ia siap membalas budi dengan sebaik-baiknya. Namun rencana itu menguap begitu saja saat ibunya dengan terbata-bata memberi tahu sebuah rahasia di balik gelar doktor yang ia sandang. Sungguh semua di luar dugaan.

Najiya berpikir keras. Ia masih ada simpanan uang. Mencari kos mungkin ide bagus tapi sebaiknya ia benar-benar berhemat untuk saat ini. Ia butuh seseorang untuk berbagi keluh kesah dan memberinya tempat bernaung untuk sementara.

Najiya bingung. Ia tak punya sahabat dekat sebab semua temannya menganggap ia orang sombong yang hanya butuh gelar dokter.  Menjadi lulusan terbaik dan dokter paling hebat seperti kekasihnya, Samuel.

Sebenarnya Najiya tak berniat jaim dan angkuh. Ia hanya ingin berusaha menjadi yang terbaik. Meraih cita-cita dengan kerja keras. Belajar dan belajar membuatnya tak ada waktu untuk sekedar makan siang, shopping atau pergi ke bioskop bersama teman-temannya.

Sikap introvertnya dan seolah bisa melakukan semuanya sendiri itulah yang membuat temannya menjauh. Jadi tak mungkin ia menghubungi salah satu teman alumni dari Fakultas Kedokteran Sultan Ageng untuk meminta tolong.

Sepertinya akan terlihat memalukan jika tiba-tiba muncul lalu sksd, sok kenal dan sok dekat. Dia juga akan terlihat hanya datang ketika ada maunya, hanya butuh orang lain kalau sedang terpuruk saja. Bukankah itu amat buruk?

Ia juga baru diterima di salah satu rumah sakit swasta paling bergengsi. Belum punya teman dekat. Baru sebatas kenal saja sewaktu ada momen perkenalan di ruang umum dokter.

Baru saja Najiya bertekad merubah wataknya yang masa bodoh dan superior itu di hari pertama kerja, tapi sebuah berita pernikahan berlandaskan hutang mengejutkannya. Ia benar-benar tak tahu harus minta tolong kepada siapa. Bagaimana cara melunasi hutang-hutang senilai ratusan juta itu.

Sebenarnya ada satu nama yang terus mengendap dalam benaknya. Seseorang yang mungkin bisa membantunya. Dokter Samuel Ikramsyah Maulana. Hanya dia, manusia satu-satunya yang bisa merenggut perhatian dan hati Najiya sejak perempuan itu masih menjadi mahasiswi.

Tapi sejak kemarin Samuel sulit sekali dihubungi. Puluhan kali Najiya mencoba menelepon, tak ada tanda-tanda ponsel Samuel aktif.

(Sam, aku ada di Pengapon. Ku harap kau ada di saat aku di titik paling bawah).

(Sam, apa kau juga percaya dengan berita itu? Bahwa aku akan menikahi tua bangka demi melunasi hutang? Jika kau memang mencintaiku, kau pasti akan percaya padaku. Aku tak sudi menikah dengannya meski dia adalah seorang konglomerat).

(Sam, dimana kamu?)

Kesal karena puluhan panggilannya tak terjawab, Najiya mengirim beberapa pesan melalui aplikasi hijaunya. Namun tetap saja, ponsel Samuel, pacarnya itu seperti tak bernyawa. Semua pesan yang ia kirim tak jua segera dibaca. Najiya semakin kesal. Emosinya labil dan amarahnya memuncak. Dunia seperti menindihnya. Ia mencoba berpikir positif pada Samuel. Mungkin lelaki itu sedang sibuk di kampus atau sedang ada operasi. Tapi ini adalah akhir pekan dan ia sudah memastikan jadwal Samuel free. Bahkan empat hari sebelumnya mereka sudah saling kontak untuk berencana menonton film bersama.

(Sam, aku ada di rel kereta Pengapon. Jika kau tak segera datang dalam 30 menit. Kereta itu akan menghantamku). Najiya mencoba mengancam. Ia hanya ingin membuat perhitungan. Tapi perempuan itu terjebak dalam game-nya sendiri.

Ragu, Najiya turun dari mobil setelah membanting ponselnya di dalam sana. Ia berjalan ke arah rel dengan emosi tak terkendali.

“Dokter Najiya.”

Sebuah kibasan tangan membuatnya tergeragap.

“Iya?”

Faris menghela napas. Sedikit gemas dengan perempuan yang berdiri di sampingnya.

“Apa rencanamu setelah ini? Apa kau mau tinggal disini saja?”

Najiya mengernyit. Tinggal di panti asuhan Albana? Oh tidak. Setelah tahu si kakek konglomerat adalah donatur utama panti ini, kakinya sudah gatal dan ingin segera hengkang dan pergi sejauh-jauhnya. Bagaimana jika Ia tinggal disini lalu si tua bangka Qarun itu singgah di panti sewaktu-waktu?

“S-saya…  mau pulang saja. Terimakasih atas semuanya,” jawab Najiya akhirnya. Ia malu sudah ketahuan melamun dan terlihat kebingungan.

“Ayo aku antar pulang.”

Dua pasang mata reflek saling menatap beberapa detik. Lalu segera mengalihkan pandangan ke arah yang berbeda. Faris menatap beberapa kliping yang ada billboard, sedangkan Najiya menatap gerumbulan tanaman perdu dan rumput di pekarangan samping panti.

Beberapa detik kemudian, anak-anak kecil berhamburan keluar dari aula setelah bunyi lonceng terdengar. Tanda istirahat tiba. Beberapa dari mereka melambaikan tangan ke arah Najiya dan gadis itu membalasnya sambil tersenyum lebar. Ada rasa haru yang sulit digambarkan melihat anak-anak panti bermain dengan riang di area taman.

“Tidak usah. Mobil saya ada di sekitar rel.”

“Oh, kau punya mobil?”

Najiya merasa tak enak dengan pertanyaan Faris yang terkesan mengejek.

“Ya…  tentu saja punya. Tapi sepertinya sebentar lagi mau saya jual untuk mencicil hutang pada Tuan Albana.”

Faris manggut-manggut. Ada seulas senyum di bibir tipis itu. Senyum meledek. Najiya melirik sekilas dan salah tingkah.

“Bagaimana jika mobil itu ternyata sekarang hilang?”

Najiya mendadak gelisah. Bagaimana jika kenyataannya mobil itu raib? Kemarin ia meninggalkan harta berharganya itu begitu saja saat pikirannya semrawut.

Mengerti keresahan Najiya, Faris mengambil ponsel untuk menghubungi seseorang. Ia harus segera mengambil tindakan. Tapi belum sempat ia memencet nomor, sebuah panggilan masuk. Tertera nama Vicky di layar.

“Ya?”

“Maaf, dimana? Sedang apa?” Tanya Vicky setengah panik.

“Aku di panti. Ada apa?”

Tut … tut… tut. Telepon terputus begitu saja. Membuat Faris bingung. Tak biasanya sekretarisnya sekaligus kaki tangannya bernama Vicky itu bersikap demikian. Faris mencoba menghubungi ulang tapi bunyi sepatu fantofel yang berdekak-dekak bergesekan dengan lantai panti membuatnya urung. Faris dan Najiya serempak menoleh mencari sumber suara. Tak berapa lama muncul seorang lelaki dengan setelan jas hitam dan headset menempel di telinga di Koridor panti dengan wajah serius. Ternyata Vicky telah sampai di panti ketika menelponnya. Lelaki itu hanya menerka saja Faris ada disana dan ternyata benar.

“Ada apa? ” Tanya Faris. Lelaki bergaya bodyguard itu berdiri tegap dan memberi salam. Tak lupa ia juga menyapa Najiya dengan ramah. Vikcy menatap Faris dan Najiya bergantian. Seolah ada banyak pertanyaan yang ingin terlontar tapi waktunya tak cukup memungkinkan. Vicky tampak berpikir. Ia yakin pernah melihat Najiya tapi entah dimana.

“Anda harus segera bersiap-siap. Nanti malam akan ada World Economic Forum di Bali.”

“Kenapa baru bilang?” Serobot Faris.

“Agenda sepenting itu kenapa tak dicatat sebelumnya?” Gertaknya.

“Saya sudah ingatkan kemarin. Sepertinya anda lupa,” jawab Vicky datar dan tetap sopan.

Faris melenguh jengkel. Tapi tak urung ia segera meninggalkan koridor. Membuat Najiya sedikit sungkan hanya berdua dengan orang asing di sana. Vicky mengibarkan senyum dan mengangguk seolah mengerti kecanggungan Najiya.

“Sepertinya saya pernah melihat anda sebelumnya,” ucap Vicky memecah keheningan.

“Benarkah?”

“Iya, tapi mungkin hanya mirip. Karena yang saya lihat tidak memakai penutup kepala seperti anda,” lanjut Vicky. Najiya tersenyum sopan. Pikirannya tak begitu fokus. Baginya Vicky hanya berbasa basi.

Tidak seperti Faris. Vicky adalah orang yang hangat. Ia pandai berbicara dan merebut perhatian orang. Dalam sekejap Najiya nyaman mengobrol dengan lelaki itu. Sampai mereka tak sadar sudah beberapa menit terlewat.

Di tengah obrolan asyik itu tak sengaja ekor mata Najiya menangkap kemunculan seseorang. Mendadak suaranya tercekat, matanya melebar dan mulutnya menganga. Ia seperti melihat Tom Cruise versi muda dibalut dengan setelan jas super mahal bermerek Brioni Vanquish II berwarna abu pekat, dipadu kemeja putih dan dasi berwarna coklat tua menyala dengan corak keemasan. Najiya hampir tak bisa mengerjap. Tapi ia harus memastikan apakah lelaki yang dilihatnya adalah lelaki bersarung yang tadi mengajar ngaji?

“Kayaknya dia bunglon,” gumam Najiya tak sadar dengan pandangan tetap terpaku pada lelaki yang kini berjalan mendekat. Sepatunya yang mengkilap berderak-derak mengikuti irama jantung Najiya.

“Kau bilang apa?” Pertanyaan Vicky gagal mendapat jawaban. Sebab yang ditanya kehilangan fokus seperti para perempuan di jamuan Ratu Zulaikha saat melihat Nabi Yusuf melintas.

“Oh ya, tolong kau suruh seseorang mengambil mobil milik tamuku,” ucap Faris sambil membenahi jam Louise Moinetnya.

“Kau bisa ikut kami dulu,” Lanjut Faris sambil menatap Najiya. Melihat penampilan Faris Najiya seolah masuk ke dalam dunia anime. Ia mengangguk saja seperti burung beo. Mungkin karena belum sadar sepenuhnya, ia ikut berjalan saja membuntuti lelaki bersarung yang bertransformasi menjadi CEO. Vicky tampak menahan senyum setelah menangkap ekspresi Najiya yang seperti kerbau pembajak sawah.

Iklan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Konten Terkait

Lihat Juga
Close
Back to top button