Perempuan Selalu Benar
Alih-alih mengurangi rasa gabut yang tengah melanda, saya mencoba berselancar di sosial media untuk melihat berbagai macam hal. Karena sosial media sekarang sangat digandrungi bahkan sedetik tidak membuka sosial media berasa ada yang kurang. Ibarat sayur tanpa garam. Apa saja dapat ditemukan disini. Dari mulai jualan segala macam barang sampai pada curhat perihal masalah asmara, rumah tangga dan sebagainya.
Tiba-tiba saya menemukan postingan salah satu kawan bunyinya begini. “Perempuan itu selalu merasa benar, tak pernah merasa bersalah.” Saya membacanya seketika mengernyitkan dahi. Batin saya, apa iya semua perempuan begitu. Saya rasa status itu hanyalah penilaian subjektif saja.
Perihal itu saya jadi berpikir sejenak dan mengintrospeksi diri. Apa jangan-jangan selama ini saya pun begitu. Tanpa sadar selalu ingin merasa benar. Terlalu yakin pada penilaian diri sendiri. Dan tak begitu percaya dengan apa yang orang lain katakan.
Saya jadi teringat peristiwa yang sudah cukup lama saya alami. Waktu itu saya hendak menghadiri kegiatan organisasi mahasiswa yang berlogo kuning dan biru. Ketika itu didepan saya ada seorang ibu yang belum begitu tua mengendarai sepeda motor dengan pelan dan lampu sen sebelah kanan dibiarkannya menyala. Saya yang berada dibelakangnya lantas tak berani untuk menyalip. Takut terjadi sesuatu hal yang tak diinginkan.
Setelah cukup lama berjalan, pikir saya kok si ibu tak segera belok padahal lampu sen sudah dari tadi menyala. Saya mencoba memberanikan diri membunyikan klakson. Namun si ibu tak merespon dan tetap santai mengendarai motornya. Pun ia tak sadar bahwa lampu sen sedari tadi dibiarkannya menyala. Memang ya kalau sudah nyaman hal apapun yang melintas tak akan digubris.
Saya masih terus mengekor dibelakang ibu itu. Sudah tentu saya merasa jengkel. Ndelalah kebetulan jalan yang kami lalui sampai pada pertigaan. Awalnya saya pikir si ibu akan berbelok namun ternyata salah. Si ibu tetap mengambil jalan lurus dengan lampu sen yang tetap menyala. Saya ingin menggerutu tapi kok ya lucu. Alhasil saya hanya tertawa sambil melanjutkan perjalanan.
Di lain cerita, pernah terjadi pada ibu saya beberapa waktu yang lalu. Pisau yang sejak tadi ia pakai untuk mengupas bahan-bahan makanan tiba-tiba lupa ia letakkan dimana. Saya dan adik yang tengah asyik dengan dunia kami sendiri lantas kena sambaran amukannya perihal pisau yang tiba-tiba hilang. Saya bergegas ke dapur mencari pisau yang menghilang dari penglihatan ibu. Hingga akhirnya pisau tersebut saya jumpai tergeletak dipinggir kompor. Jangan tanyakan apa yang dikatakan ibu. Ibu hanya meringis lalu meneruskan kegiatannya.
Saya tertawa mengingat dua peristiwa itu. Mungkin hal itu sudah sering kita temui. Beban seorang ibu barangkali begitu banyak yang diemban sehingga ia mudah untuk lupa akan benda disekelilingnya. Tapi tidak menutup kemungkinan bahwa laki-laki pun akan bertindak yang sama pula. Merasa benar dan tak merasa bersalah adalah sifat seorang manusia. Tentu bagaimana kita mengolah dan meminimalisir dampak yang mungkin akan terjadi. Tetap perlahan lahan ketika melakukan sesuatu dan jangan mudah melamun, sehingga tak mengurangi konsetrasi. (Inayatun Najikah)