Urgensi Dokumentasi Dalam Mengungkap Fakta Sejarah
oleh: Isyrokh Fuaidi
pcnupati.or.id – Pengetahuan tentang sejarah tokoh atau peristiwa, meski sebagian mengalami distorsi dan kesalahan dalam pengungkapan yang dihadirkan kepada masyarakat, tetap bermanfaat dan dibutuhkan untuk menjadi pintu masuk memahami perjalanan peradaban manusia dan berbagai peristiwa penting yang membentuk identitas suatu masyarakat. Sayangnya di Indonesia, tidak semua informasi penting yang menjadi bagian sejarah telah terdokumentasi secara rapi dalam sebuah peninggalan yang mudah diakses seperti dokumen tertulis atau catatan buku dan manuskrip. Tidak sedikit peristiwa atau cerita sejarah yang diperoleh masyarakat hanya diperoleh dari cerita tutur yang berkembang di tengah masyarakat, baik dari seseorang tokoh masyarakat yang dipandang otoritatif, atau cerita tutur masyarakat setempat.
Diseminasi informasi kesejarahan seperti ini tentu berdampak serius pada banyak hal, tidak hanya pada lemahnya aspek historis yang mampu terkuak sehingga menjadi cerita sejarah yang ahistoris, tetapi berdampak buruk pada perkembangan sikap dan perilaku masyarakat yang disebabkan oleh kesalahpahaman sejarah yang diterima.
Apalagi suatu sejarah berkaitan erat dengan kepentingan sosial-ekonomi masyarakat seperti adanya situs-situs atau entitas yang dapat menarik keuntungan secara finansial. Dengan pengetahuan sejarah yang benar akan mendorong adanya kesadaran sejarah yang benar pula, yaitu sejarah tidak hanya bersinggungan dengan pengetahuan tentang fakta, nilai budaya dan local wisdom yang berlaku di suatu masyarakat, tetapi berfungsi sebagai sarana motivasi dalam pembangunan bangsa dan negara yang menginspirasi kejuangan, semangat, dan nilai-nilai yang diajarkan oleh pendahulunya. Tentu kita semua tidak ingin pandangan George Orwell (1950) menjadi kenyataan bahwa cara yang paling efektif untuk menghancurkan masyarakat adalah dengan mengingkari dan menghapuskan pemahaman mereka sendiri tentang sejarah mereka, atau Robert Heinlein (1988) dengan ungkapan “Generasi yang mengabaikan sejarah tidak memiliki masa lalu dan masa depan”.
Dalam konteks ini, salah satu fenomena sejarah yang dapat diambil pelajaran bersama yaitu berkaitan isu nasab Ba’alwi di Indonesia yang dalam beberapa tahun terakhir (2022-2025) masih sengit diperdebatkan. Nasab Ba’alwi atau Bani Alawi sebagai keturunan Nabi Muhammad SAW yang sudah lama diterima dan tidak dipersoalkan oleh banyak tokoh Muslim Indonesia tiba-tiba ditentang secara terang-terangan oleh sebagian masyarakat khususnya diwakili oleh seorang Kyai bernama Imaduddin Utsman al-Bantani dari Tangerang Banten. Imaduddin secara eksplisit menolak ketersambungan nasab Bani Alawi kepada Rasulullah yang didasarkan pada kajian sejarah berkaitan dengan ilmu nasab. Pada akhirnya, polemik nasab Bani Alawi tidak dapat dielakkan dan acap terjadi konfrontasi dari masing-masing simpatisannya, dan bahkan diikuti oleh beberapa tokoh agama dan artis nasional yang semuanya tidak menunjukkan tanda-tanda penyelesaian.
Terlepas dari benar-salahnya argumentasi yang dibangun oleh masing-masing pihak, ‘dokumentasi’ isu sejarah menjadi kunci utama kontroversi isu nasab Ba’alwi di Indonesia, baik dari bukti tertulis seperti buku sejarah, kitab, maupun bukti peninggalan sejarah yang lain, semua memiliki peran penting dalam menyusun narasi sejarah yang lebih akademik dan otoritatif. Narasi akademik-historis yang dibangun tersebut juga harus berhadapan dengan narasi-narasi sejarah bangsa Indonesia yang memiliki bukti-bukti sejarahnya sendiri. Maka tidak mengherankan jika kelompok kontra Habaib bani Alawi mempertanyakan kontribusi mereka dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia dibandingkan dengan kontribusi para pejuang pribumi dan Walisongo dalam menyebarkan Islam. Jadi, semakin narasi sejarah mampu dibangun berdasarkan bukti-bukti empiris dan faktual, maka semakin valid argumentasi yang disampaikan, dan masyarakat pun akan memberikan penerimaan sejarah yang lebih bijak karena melihatnya sebagai fakta sejarah. Sebaliknya, narasi sejarah yang hanya dibangun di atas tutur kata para tokoh atau komunikasi verbal yang setelah diverifikasi dengan bukti sejarah lain ternyata memiliki kontradiksi, maka dapat dipastikan akan mengalami sanggahan dan resistensi. Hal ini dapat dibaca dari artikel Muhammad Ali Rahman di website NU Online edisi 02/02/2017 berjudul Tanggapan atas Kisah Berdirinya NU Versi Habib Luthfi. Di sana, Ali Rahman jelas menyanggah dan memberikan analisis kritis terhadap kisah sejarah yang disampaikan secara verbal oleh Habib Luthfi bin Yahya Pekalongan terkait sejarah berdirinya NU di Indonesia.
Dari diskursus nasab dan fenomena resistensi Bani Alawi di Indonesia, terdapat potensi polemik yang sama bagi masyarakat Pati Jawa Tengah yang terkait erat dengan tokoh sufi penyebar Islam bernama Syekh Mutamakkin Kajen. Polemik ini terutama terlihat dalam narasi sejarah yang disampaikan dalam Serat Cebolek hasil dokumentasi Keraton dan menjadi subjek kritik serta melahirkan narasi tandingan melalui teks Kajen dan tradisi lisan masyarakat setempat. Beruntungnya, beberapa karya akademis dan penelitian telah semakin banyak muncul untuk menambah wawasan kesejarahan terkait Syekh Mutamakkin Kajen seperti buku karya Zainul Milal Bizawie berjudul: Syekh Mutamakkin: perlawanan kultural agama rakyat (2012), penelitian Islah Gusmian berjudul: Pemikiran Tasawuf Syekh Ahmad Mutamakkin: Kajian Hermeneutik atas Naskah ‘Arsy Al-Muwahhidin (2013), penelitian Dr Muhammad Yunus Masruhin berjudul: Produksi Ruang Sakral dan Kesalehan Publik: Syeikh Mutamakkin di Masyarakat Kajen dan Sekitarnya (2023), dan masih banyak lagi karya ilmiah lain untuk menyeimbangkan narasi sejarah yang sudah ada.