Hujan Siang, dengan Mendung Pekat
Oleh : J. Intifada
Mendung pekat siang ini. Cuaca panas tak dirasakan lagi. Tiap kali awan pekat datang terkadang hanya sekedar lewat saja. Sedang sungai-sungai telah mengering. Sumur-sumur sudah kehabisan sumbernya. Masyarakat mulai mencari bantuan. Hujan siang ini begitu membawa harapan. Halaman depan rumah dan seluruh kota merasakan kesejukan. Sejuknya seperti lama tak jumpa. Derasnya menghujani bumi. Daun-daun yang mengering terlihat segar kembali.
Turunnya hujan adalah berkah. Berkah bagi seluruh alam. Suka cita bagi para petani yang sebentar lagi akan memulai menanam lagi. Air hujan yang lama dinanti. Segar membasahi bumi. Rintiknya bagai alunan lagu rindu. Mendayu-dayu dan syahdu.
Mengapa hujan selalu membuat mellow galau dan merindu. Ahh,.. Aku ingin mengubah pendapat bahwa hujan tentang masa depan. Sebuah Harapan. Harapan bersamamu lagi.
Hujan hari ini benar membuatku rindu. Menikmati kenangan dan hal-hal tentang masa lalu bersamamu. Duduk menikmati rintik hujan. Tak lupa susu jahe anget kesukaanmu. Ini pasti hilangkan stress dan menenangkan pikiranmu yang kadang suntuk. Bukankah begitu ?
Emang boleh serindu ini? Mengenang kita main hujan-hujanan sepulang sekolah. Kita berlarian menghindari air yang turun. Sesekali melompat menghindari genangan air. Lalu dengan jahilnya kamu mendorongku dari belakang. Terjatuhlah aku ke dalam kubangan coklat susu itu. Lumpur dan air mengotori seragamku. Aku mendengus kesal padamu.
“Bayu ……………. “ teriakku kemudian disusul kamu berlari melewatiku dengan gelak tawa yang makin menjengkelkan.
Aku masih duduk dan memasang muka cemberut dan hampir menangis. Taktik ini berhasil membuatmu kembali. Saat kamu mengulurkan tangan untuk membantuku berdiri, dengan senyum yang ku tahan aku menarik tanganmu yang lengah. Kamu pun ikut terjatuh dalam kubangan.
“Hahahahahhaa …. Hahahahaha ….” Sorakku gembira setelah membalasmu. Kamu pun mencoba menyipratkan air ke muka ku. Tapi aku dengan sigap berdiri berlari menjauh. Kamu pun mengejarku.
Kita tertawa dibawah hujan yang mengguyur. Tak peduli dengan seragam kita yang sudah tak berupa putih biru dongker. Sesekali berlarian, sesekali berjalan menikmati guyuran hujan. Masa yang tak akan terulang.
Sesampai di rumah kita masing-masing, membersihkan diri dan berganti kaos panjang untuk menghangatkan diri. Tak lama kamu akan datang ke rumah membawa telo goreng buatan ibumu. Kita duduk di teras, mengobrol dan memandang tanaman yang masih basah karena hujan siang tadi. Ibu ku pun datang membawakan susu jahe anget kesukaanmu.
“Telo goreng dan susu jahe anget, biar badan tetap hangat.” Kata ibuku menyilakanmu untuk menikmati suguhan sore itu. Kamu pun mengangguk dan mengucapkan terima kasih. Katamu tak ada susu jahe anget terhangat kecuali buatan ibuku. Ahhh, itu pujian palsu. Nyatanya kamu sering membeli susu jahe anget di pedagang kucingan di depan kantor POS. Pernah suatu hari, kamu bilang susu jahe angetnya Mang Maman yang paling enak.
Di hari lain, sepulang sekolah kamu mengajak ke toko ikan. Kamu ingin membeli ikan cupang baru. Padahal di rumah kamu sudah memelihara 10 cupang dalam wadah yang berbeda.
“Aku tadi diberitahu Eza, di Kang Rahmat barusan ada cupang datang. Aku ingin melihatnya.”
Katamu yang saat itu hanya ingin melihat. Tapi aku selalu tahu. Arti dari melihat yang kamu maksud.
“Ini bagus ya Nan,” katamu
Aku tersenyum. Memang cantik. Jarang ku temukan cupang albino ini. Dan memang kamu belum mempunyainya. Rata-rata yang kamu punya, merah campur biru, cupang hitam, cupang putih biru, merah hitam, dan masih banyak lagi. Kamu bilang yang merah campur biru itu cupang avatar. Yang merah muda campur putih namanya cupang lavender, yang cupang hitam cupang black apalah itu.
Dari berbagai cupang itu, kamu sangat menyukai cupang black itu. Katamu dia gak bisa sembarangan berkembang biak. Dan cukup sulit untuk mengembang biakkan. Dan aku tahu persis, kamu sangat menginginkan cupang albino ini.
Tiap hari libur sekolah kamu selalu mampir disini. Menanyakan cupang itu. Tapi kata penjualnya, belum bisa menjual karena permintaan jarang. Hari itu, pastinya kamu sudah tahu bahwa cupang ini akan datang. Kamu tak ingin menunggu waktu libur karena tak ingin kehabisan.
Itu sudah berlalu jauh, kenangan hanya akan tinggal kenangan. Aku pun masih mengingat jelas, orang tuaku ingin aku mondok di luar kota. Kamu ingin menyusul dan bersekolah bersamaku. Berbagai upaya kamu lakukan untuk membujuk orang tuamu tapi tak berhasil.
Sebulan kamu ngambek tak ingin keluar kamar kecuali sekolah dan ke kamar mandi. Orang tuamu pun ikut memintaku membujukmu untuk tetap sekolah di kota ini.
“Apa kamu tidak kasihan dengan bapak ibumu? Mereka hanya punya kamu.”
“Masih ada Kak Ayla.”
“Bay, kamu anak laki-laki. Mbak Ayla perempuan. Beda dong Bay.”
“Tapi nanti kita jarang ketemu.” Kamu masih merajuk
“Tiap liburan sekolah kan aku pasti pulang.”
“Kamu juga tidak bawa HP.”
“Ya kan biar fokus sekolah dan ngajinya,”
Terlihat kamu masih berat menerima keputusanku.
“Kenapa kamu gak sekolah disini saja tho Nan?”
Aku tak menjawabnya. Tak akan menyelesaikan masalah bila aku berdebat dengannya. Kamu kalau ngambek sudah seperti cewek. Keras kepala. Kita saling diam dan mencoba menenangkan diri. Hingga akhirnya kamu menerima keputusan untuk tetap sekolah disini.
Aku akhirnya bisa bernapas lega. Sebelum kamu menyetujui itu, kamu mengajukan syarat. Tiap aku pulang berlibur, aku harus mengunjungimu pertama kali. Kita salaman dan berjanji untuk kuliah di kampus yang sama. Kita berencana Tuhan yang menentukan. Pepatah itu memang tak bisa dibantahkan.
Liburan pondok pesantrenku tak sama dengan libur sekolahmu. Terkadang hanya diberi waktu sepekan untuk pulang ke rumah. Ketika aku sudah di rumah, aku mengunjungi rumahmu. Sesuai permintaanmu, ku tepati janji. Sesampai di rumahmu, aku hanya bertemu Mbak Ayla. Dia bilang kamu mengikuti kejuaraan renang. Selama sepekan, kamu sibuk berlatih dan tak pernah ada di rumah.
Kalaupun bertemu, itu saat aku akan bersiap kembali ke pondok.
“Kinan, Maaf,.”
Aku memaklumi itu. Kamu memang dari kecil suka dengan dunia air. Dari suka mengajakku main hujan, mengoleksi ikan cupang, dan hobi berenang. Seperti namamu Bayu Segara.
Berjalan hingga kelulusan SMA, kita jarang berjumpa. Hingga saat waktu pendaftaran kuliah. Aku ingin mengajakmu ke warnet untuk mendaftar bersama.
“Kamu tidak akan kuliah Bay?”
“Tidak Kinan. Aku akan ikut kakakku kerja di Medan.”
“Kenapa?”
Sebenarnya orang tua ku sudah memberitahuku tentang kondisi keluargamu. Keluargamu sudah menjadi bagian hidupku. Ketika bapakmu sakit, aku ikut menemanimu menunggui beliau. Ibumu mempersilakanku datang. Kakakmu yang lain belum bisa menjenguk karena tugas luar.
Aku ingin kamu punya harapan baru. Masih ada beasiswa bagi murid berprestasi. Tetapi kamu dengan tegas menolaknya. Kamu memilih mengorbankan diri untuk tidak melanjutkan kuliah agar bisa meringankan beban orang tuamu.
Dalam keheningan itu aku hanya bisa menahan napas. Merasakan kesepian yang tak pernah ada sebelumnya. Bahkan saat aku memutuskan untuk sekolah di luar kota berpisah denganmu, tak ada perasaan semacam ini. Ku rasa ini pertama kalinya. Entah kenapa aku merasa akan sangat merindukanmu.
“Apa kita akan selalu jadi teman?” Tanyamu kemudian
“Iya. Aku ingin kita selalu berteman dengan baik. Aku tidak ingin, saat kita menjalin hubungan selain teman, ketika mempunyai masalah, kita akan menjadi jauh. Hubungan pertemanan kita akan hancur. Aku tidak ingin kehilangan kamu. Kehilangan teman sepertimu.” Jawabku dengan tegas dan lugas
Kamu mengiyakan. Sedang raut wajahmu berkata tidak demikian. Kita masih berteman sampai sekarang, kan? Teman yang dalam arti luas, adalah seseorang yang kita kenal dan dekat di kehidupan kita.
Pernah aku bercerita tentang cerpen yang sedang aku buat. Seorang gadis yang ke GR an dengan seorang laki-laki. Kamu hanya mendengar saja. Entah apakah kamu sudah tahu bahwa itu bukan cerpen yang ku buat atau memang percaya bahwa itu cerpen. Karena kamu tahu aku suka menulis.
Awalnya aku ingin menyembunyikan cerita ini padamu. Tapi aku tak bisa membohongimu. Aku berterus terang tentang laki-laki itu. Teman sekelasku di SMA. Sikapnya jahil, suka mengganggu teman-teman perempuan. Tetapi denganku dia tidak berani.
Suatu hari dia ingin menjahiliku, namun aku lalu marah dan menangis. Mungkin karena kejengkelanku melihat dia selalu menggoda setiap teman perempuan. Sejak saat itu, dia bersikap manis. Dia selalu datang lebih pagi. Mengerjakan tugas-tugas yang diberikan. Tak pernah mengganggu dan menjahili teman-teman perempuan lagi.
Bukankah tak seharusnya ku ceritakan itu. Aku tak menyadari ada perasaan yang berbeda untukmu padaku. Aku menceritakan itu tanpa beban dan tanpa rasa bersalah. Tak pernah peduli dengan isi hatimu. Aku selalu menganggapmu tak lebih dari teman.
Setelah tahu bahwa di hatiku bukan kamu. Harusnya kamu membenciku. Menjauhi dan memakiku dengan kata-kata yang menyakitkan. Padahal kamu yang selalu menemaniku. Kenapa tak kau lakukan itu. Mengapa.
Pertemuanku dengan laki-laki itu membuat ku bodoh. Ada kamu tapi aku lebih memilih yang lain. Ku pikir memang, kamu hanya akan selalu menjadi teman baik. Bukan seseorang yang spesial di hati.
Bayu Segara. Lembut dan sejuk namamu. Di dekatmu selalu nyaman. Membuatku semakin ketergantungan. Bagaimana kamu tak pernah membenciku bahkan disaat aku tak pernah menunjukkan sikap baikku padamu.
Kepergianmu ke Medan semakin dekat. Sedang aku sudah mulai memasuki perkuliahan. Kamu tidak mengabariku ketika sudah sampai bandara. Dengan diantar keluargamu, aku merasa ingin menyusul saat itu juga.
“Bay, kamu udah sampai bandara?”
“Sudah Kinan.”
“Dengan siapa?”
“Bapak ibu ku dan kakak perempuanku.”
Hati rasanya ingin menangis. Apalah daya, aku tak bisa mengantar kepergianmu. Entah kapan lagi aku akan bertemu denganmu. Saat transit kamu mengabari, sudah sampai ibukota. Untuk berpindah pesawat. Aku mengirim pesan untuk hati-hati dan jangan lupa berdoa. Kamu pun juga mengingatkanku untuk “sholat 5 waktu.” Aku tersenyum dan menjawab iya.
Hari-hari perkuliahan semakin padat. Aku mengikuti kegiatan ekstra di dalam kampus. Klub bahasa yang selalu ingin ku ikuti. Kamu selalu meneleponku menanyakan kabar ku hari ini. Bagaimana teman-temanku, bagaimana kegiatanku. Aku selalu dengan senang hati bercerita padamu. Tentu saja seseorang yang spesial.
Kamu tak nampak memprotesnya. Dengan senang hati mendengar. Kadang mengomporiku untuk mengungkapkan perasaanku duluan. Seperti yang kamu tahu, aku tak pernah punya keberanian membuka hati pada seseorang. Kemudian ketika aku di titik jenuh bertukar cerita lewat udara, aku akan menodongmu untuk bercerita kehidupanmu disana.
“Bay, kenapa kamu tidak pernah menceritakan kehidupanmu disana?”
“Laki-laki pantang menceritakan sesuatu kepada orang lain Kinan. Mereka lebih senang memendamnya sendiri.”
Aku tak lagi menanyakan kehidupanmu. Kita juga semakin disibukkan kegiatan masing-masing. Kamu dengan pekerjaanmu disana dan aku dengan seabrek kegiatan di kampus.
“Kinan, apa kabar?” suatu hari nomer baru mengirim pesan
“Bayu?”
Aku selalu bisa menebak nomer baru itu adalah nomermu. Sudah tak terhitung aku menyimpan nomermu. Berbeda beda provider. Ada yang ku simpan Bayu 1, Bayu New, hingga New Bayu New.
Selalu begitu. Kita berkirim pesan sekali dua kali dalam sebulan. Kemudian saling tak berkirim kabar karena kesibukan. Hingga hampir setahun tak terasa, aku tak mendengar kabarmu.
Kemudian, terkadang tiba-tiba akan ada pulsa nyasar di handphoneku.
“Bay, kamu mengirimiku pulsa?”
“Kamu gak pernah mengirimiku kabar. Aku pikir kamu tidak punya pulsa.”
Aku selalu mempunyai firasat bahwa itu Bayu. Se-perhatian itu denganku. Sedang aku tak pernah menunjukkan terima kasihku padamu.
“Bayu itu aneh, aku kan bukan pacarnya, tapi kenapa dia selalu mengirimiku pulsa.” Gerutuku suatu kali.
Saat itu teman-teman kosku tak menghiraukanku. Mereka juga tak paham apa yang sedang aku bahas. Saat aku protes kamu hanya menjawab, agar aku bisa mengirimu pesan. Aku tak tahu apakah kita benar hanya berteman. Hingga suatu malam, seseorang meneleponku mengaku saudara sepupumu.
“Kak Kinan dengan Mas Bayu itu siapanya?”
“Kita teman.”
Aku tak menaruh curiga saat dia menanyakan itu. Aku menjawab menyayangimu karena memang kamu teman terbaikku. Tak ada yang bisa menggantikanmu di dalam hidupku kini. Tak terpikirkan olehku bahwa gadis itu seseorang yang dekat denganmu.
Seingatku kamu tak pernah menceritakan siapapun yang dekat denganmu. Tiap kali aku bertanya kamu akan mengelak. Saat kita berkomunikasi lewat pesan singkat atau telepon, aku yang selalu menceritakan semua keluh kesahku, apa saja yang ku lakukan hari itu.
Sejak itu, kita semakin renggang. Aku tak tahu apakah kini, kamu masih mengingat itu. Aku masih sangat jelas mengingatnya. Bahkan detail bagaimana Dina, nama yang diperkenalkan saat itu menanyakan perasaanku padamu.
Mungkin itu awal mula aku kesal denganmu dan juga tak sengaja aku merusak hubunganmu dengannya. Kamu pun tak memarahiku.
“Oh, jadi ini namanya teman?” pesan singkat darimu. Aku menahan tangis. Mencoba bersikap baik-baik saja dihadapan keluargaku yang sedang mengadakan liburan. Mereka tidak tahu bila kita sedang bertengkar. Aku mengembalikan semua pulsa pemberianmu, tak ku sangka itu reaksimu.
Jarak yang semakin jauh, pertemuan yang hampir tak pernah lagi ditambah telepon misterius dari seseorang yang ku kenal mengaku saudaramu menambah resah. Aku mulai enggan menerima pesanmu. Kamu pun sepertinya tahu aku marah sekali waktu itu.
“Bayu marah karena aku mengembalikan pulsa yang dia berikan.”
“Kata dia, apakah ini yang dinamakan teman.”
“Kataku, apakah wajar seorang teman membelikan pulsa. Kadang juga panggil sayang.”
Aku meracau tak jelas. Sambil menangis menahan sakit yang tak bisa ku jelaskan. Aku tak tahu bagaimana perasaanku yang sebenarnya. Yang aku tahu, itu sakit yang teramat sulit ku terima. Aku pikir kamu akan menungguku hingga aku bisa menerimamu seutuhnya. Tapi, ada seseorang disana yang membuatmu bahagia.
“Sayang lagi apa?”
“Say.”
Sapaan yang awalnya aku janggal. Sebelum kejadian telepon malam-malam. Entah kenapa, aku tak ingin terpengaruh dengan kata-kata itu. Aku menyukainya saat kamu memanggil seperti itu. Hanya aku yang tak ingin menganggap itu lebih. Aku selalu menegaskan di dalam hatiku. Kita Teman.
Teman yang tak sekedar teman. Ahh… kenapa harus kamu orangnya. Saat dulu aku berusaha keras menolakmu menjadi seseorang yang istimewa. Kenapa malah sekarang aku seperti menahan rindu yang tak tertahan.
Itu tidak mungkin. Manakala aku menyadari, bukan aku yang sekarang jadi prioritasmu. Bahkan hampir tak ku percaya, kamu telah mengikat janji dengan gadis Minang.
“Namanya Laras.” Katamu saat menyerahkan surat undangan pernikahanmu.
Aku hanya tertegun. Berharap ini semua mimpi.
“Maaf ya Kinan, aku tak bisa menepati janjiku untuk menemanimu.”
Begitulah ucapan terakhirmu padaku.
Sejak kamu menikah, kamu belum pernah memperkenalkan keluarga kecilmu dengan resmi. Bahkan acara pernikahanmu pun aku tahu lewat media sosial temanmu di Medan. Aku sengaja tak datang ke pesta pernikahanmu. Itu akan membuatku merana.
Butuh waktu untukku menerima ini semua. Jujur, aku tak tahu harus bagaimana. Melihatmu bahagia dengan orang lain. Ku ucapkan pula selamat menikah dari kotak pesan media sosial.
Oh tunggu, bukankah kita masih berteman di sosial media. Aku masih bisa melihatmu walau dalam dunia maya. Namun kenyataannya, tak pernah ada kabar darimu disana. Malahan setiap kali aku membuat story di insta, jejaring sosial yang hanya menampilkan foto dan gambar, juga video reels 1 menit an, kau selalu mengintipnya. Cukup membuat rinduku terobati. Walau begitu akan muncul dalam benakku pertanyaan lain.
Apakah perasaanmu padaku masih sama? Apakah kamu hanya penasaran saja? Atau, atau yang lain selalu menggelayuti prasangkaku. Jelas sangat berbeda bila kamu bukan milik orang lain.
Bahkan aku sempat pernah melihat video dari istrimu. Menampilkan putri kecilmu dan kau tulis nama dibawah video itu. Kinanti Ayu Sukma. Aku tertegun. Kenapa nama itu yang kau berikan pada putrimu.
Saat semua yang berseliweran seakan tak dapat dilogika. Seperti hujan siang ini. Tak selamanya mendung membawa hujan. Tapi hari ini begitu deras air yang mengguyur tanah. apakah itu juga membawa sebuah harapan? Bukankah ini hanya akan menjadi dongeng. Cerita yang tak nampak nyata tapi kenyataannya ada.
“Apalagi?”
“Dia melihat storyku lagi Sal.”
“Sudahlah. Hentikan semua kehaluan ini Kinan. Kamu tak akan bisa beranjak kalau kamu bertahan dengan kisah ini. Please, move on.”
Salma bosan mendengar ceritaku tentangmu. Mendengar namamu saja dia sudah akan memasang penutup telinga. Tidak seperti namamu yang penuh kesejukan. Dia malah merasa kepanasan. Darahnya akan mendidih memarahiku karena berulang kali kamu terus yang aku bicarakan.
Benarkah, aku hanya sedang berimajinasi saja? Atau memang pikiranku yang sudah tak waras bila menyebut namamu. Lalu, ketika kamu dengan sengaja atau tak sengaja menyukai gambar yang aku bagikan, apakah itu ilusiku semata? Ingin ku bertanya. Tapi kepada siapa. Ataukah bila ku bertanya padamu akan mendapat jawaban yang aku tunggu?
“Aku ingin menemuinya.”
“Untuk apa? Untuk membuatmu semakin menderita?” Salma menceramahiku.
Aku menghela napas panjang. Bagaimana aku menghilangkanmu dalam pikiran. Tak ku pikirkan pun kau akan muncul tiba-tiba.
Aku ingin menulis tentangmu. Sebuah oase dalam pikiran yang menginspirasiku. Suatu kali aku menulis, “kamu adalah buku yang ingin ku tulis tiap harinya. Hingga nanti sampai nanti.” Apapun tentang kamu adalah cerita dalam hidupku. Yang lalu biarlah berlalu. Namun aku ingin kamu masih ada untukku.
Bukan ada yang berwujud di sampingku. Sesuatu yang melekat tanpa ikatan, tak terikat oleh ruang dan waktu. Bukankah ini romantis? ketidakwarasan yang tak bisa terdefinisikan. Ini gila mungkin. Bagaimana tidak? Namamu, kenanganmu, tak pernah bisa lepas dari ingatanku.
“Aku hanya memastikan, apakah selama ini dia masih ada perasaan denganku?”
“Lalu ketika kamu tahu perasaannya, apa yang ingin kamu lakukan?”
“Aku tak tahu.”
“Bagaimana dengan istrinya? Bagaimana dengan anak-anaknya?”
“Entah.”
“Kinan, Bayu Segara yang kamu inginkan itu ada di masa lalu. Saat ini bukan Bayu Segara yang kamu inginkan. Belum tentu dia akan memberikan jawaban yang menyenangkan hatimu. Sadarlah dan lanjutkan hidupmu. Dia sudah bahagia. Dan kamu juga berhak bahagia. Masih banyak Bayu Segara lain yang menantimu.”
Kini, hanya buku ini yang akan ku isi dengan ceritaku tentangmu. Dia tidak akan protes seperti Salma. Dia akan menerima apapun yang ku tuangkan didalamnya. Apalagi yang bisa ku lakukan. Dulu ada kamu yang mendengar semua ceritaku. Tanpa mengeluh dan menyela. Selalu tersenyum dan menasehati bila memang aku salah.
Berbahagialah Bay, aku akan selalu mendoakan kebahagiaanmu. Tiap kali aku rindu, aku akan menulis tentangmu. Terima kasih untuk semua kebaikanmu.