Suluk Maleman Kali ini Menyoal Punjernya Peradaban
- account_circle admin
- calendar_month Ming, 19 Okt 2025
- visibility 16
- comment 0 komentar

Suluk Maleman Kali ini Menyoal Punjernya Peradaban
Pcnupati.or.id Suluk Maleman edisi ke-166 kembali mengulik hal-hal yang menarik. Lewat tema “Sejarah Dimulai Dari Rumah”, yang digelar pada Sabtu (18/10) ngaji budaya tersebut memantik persoalan keberadaan sosok ibu sebagai pusat peradaban.
Bagi Anis Sholeh Ba’asyin, penggagas Suluk Maleman, hadits “surga di bawah telapak kaki Ibu” tak hanya untuk dilihat dari sisi seorang anak ke ibunya. Dia justru memiliki sudut pandang terkait bagaimana seorang ibu mempersiapkan surga bagi anaknya.
“Barangkali bisa juga, bagaimana ibu mendidik anak-anaknya agar dapat selamat di dunia dan akhirat. Cara ibu mendidik anak bisa jadi akan sangat berpengaruh ke anaknya kelak,” celetuk Anis membuka ruang kontemplasi dalam acara tersebut.
Maka Anis menekankan bagaimana seorang perempuan dan ibu harus benar-benar terdidik, karena ibu merupakan ruang sekolah pertama bagi anak-anaknya.
“Ibu akan menciptakan peradaban. Mengambil dari masa lampau dan nilai-nilai yang diserap untuk diajarkan ke anak-anaknya. Maka ibu harus benar-benar terdidik untuk menciptakan generasi masa depan,” imbuh dia.
Dia juga menyoroti syair Kahlil Gibran tentang anak merupakan anak panah yang dilepaskan. Penggalan sastra itu bukan mengajarkan bagaimana orangtua terpisah dari anak-anak namun sebaliknya.
“Anak panah sebelum diluncurkan tentu akan dipersiapkan dengan sedemikian rupa. Bagaimana arahnya, kekuatan hentakan dan lainnya. Persiapan sedemikian rupa itu agar anak punya nilai yang dasar sehingga mampu diaplikasikan saat dewasa,” imbuh dia.
Anis justru menyayangkan pemahaman emansipasi yang kerap disalah artikan. Emansipasi banyak dipahami tentang kebolehan istri bekerja hingga meninggalkan tugas utamanya dalam mendidik anak-anaknya.
“Emansipasi sebenarnya harus lebih kepada keterdidikan. Karena dengan pendidikan itu akan berpengaruh besar,” tambahnya.
Meski begitu, Anis menyadari saat ini ada sistem besar yang membuat hal itu harus terjadi. Yakni kapitalisme. Sistem itu memaksa kedua orangtua sama-sama sibuk bekerja untuk memenuhi kebutuhan ekonomi.
Sistem kapitalisme, lanjut Anis, memaksa orang untuk hidup dengan standar hidup tertentu. Ironisnya standar itu didasarkan pada yang bersifat duniawi. Hal itu pulalah yang memaksa kedua orangtua bekerja bersama-sama agar bisa memenuhi kebutuhan ekonomi mereka.
“Anak yang kurang mendapat perhatian dari orangtua justru mendapatkannya dari gawai yang tentu banyak memiliki sisi negatif,” terang dia.
Saat anak bermain dengan lingkungan tentu akan mudah diperhatikan dan dikontrol. Hal itu justru jauh berbeda dengan penggunaan gawai. Sistem pengawasan akan semakin sulit dan dengan nilai yang tidak lagi bisa terkontrol.
“Dulu orangtua bisa mengontrol bagaimana tindak laku, maupun dengan siapa saat anaknya bermain. Tapi sekarang tidak bisa. Karena bukan lagi anak keluar untuk menemukan nilai-nilai di lingkungan. Namun sekarang justru nilai luar yang masuk ke ruang keluarga tanpa terkontrol,” khawatir Anis.
Oleh karena itulah Anis menyebut peradaban harus dimulai dari rumah. Masa depan seharusnya dibentuk dari rumah.
“Ada situasi yang dapat direnungkan. Jika seorang anak tiba-tiba datang ke orangtuanya membawa uang hasil korupsi, lantas bagaimana sikap orangtua? Apakah menolak, menerima atau bahkan bangga? Sikap seperti inilah yang kemudian juga akan berdampak besar pada peradaban kita nantinnya,” imbuh dia.
Anis juga memberi contoh lainnya. Seorang istri yang mengatakan ketertarikannya pada hal bersifat duniawi seperti mobil atau rumah, akan menjadi godaan terbesar seorang suami untuk berperilaku korupsi nantinya.
“Maka tonggak pertama penjagaan harus dari rumah. Nilai-nilai harus dibangun dari rumah. Ibu membangun pintu surga, tapi bapak membuka pintu dunia,” ujar dia.
Anis juga mengingat pengajaran dari KH Abdullah Salam. Dimana selalu beranggapan perempuan harus terdidik untuk mendidik anaknya. Oleh karena itulah dia menyayangkan anggapan sekolah hanya untuk bekerja.
“Dulu itu profesi ibu rumah tangga justru yang paling mulia. Kenapa sekarang malah dianggap rendah?,” sesal dia.
Budayawan asal Kudus, Dr Abdul Jalil menambahkan nilai yang diajarkan Al Ghozali pada 700 tahun lalu mengajarkan urutan prioritas dalam menjalani hidup. Yakni ilahi, agama, kecerdasan otak, baru kapital dan terakhir nilai keluarga.
“Tapi kenapa sekarang terbalik, kapital dan keluarga justru menjadi nomor 4 dan lima. Sementara ilahi, agama dan kecerdasan justru menjadi belakang?,” imbuh dia.
Dia menyebut sistem kapitalisme lah yang membuat fenomena itu terjadi. Dalam sistem itu memberi penegasan bahwa nilai itu adalah kapital. Sehingga menempatkan siapapun yang memiliki uang banyak yang menang.
“Maka saya bersepakat dengan Bib Anis, bahwa peradaban harus dimulai dari terkecil yakni keluarga. Penting juga menyamakan persepsi antar keluarga akan nilai apa yang dipakai dalam keluarga tersebut,” terang dia.
Menurut Dr. Abdul Jalil, lini tersebut juga harus merangkum keluarga inti, keluarga besar mau pun lingkungan pendidikan. Ini yang harus diperkuat, karena harus menghadapi tantangan dari lingkungan makro yang tidak sederhana,
Diskusi yang begitu mendalam membuat ribuan masyarakat yang menyaksikan secara langsung maupun lewat berbagai kanal media sosial itu terlarut dalam ngaji budaya Suluk Maleman. Penampilan musik dari Sampak GusUran membuat acara yang rutin digelar setiap bulan itu kian hangat.(*)
Keterangan foto: Anis Sholeh Ba’asyin dan Dr. Abdul Jalil dalam NgAllah Suluk Maleman “Sejarah Dimulai Dari Rumah” yang digelar di Rumah Adab Indonesia Mulia, Sabtu (18/10).
- Penulis: admin
Saat ini belum ada komentar