Iklan
Kolom

Puasa yang Sia-sia

Oleh Hamidulloh Ibda*

Pertanyaan yang sering muncul saat Ramadan adalah apakah ada puasa yang sia-sia? Apa saja yang membatalkan puasa? Apa saja kiat-kiat agar puasa mendapatkan pahala? Tentu jawabannya beragam. Semua bergantung dalil yang digunakan. Dalam konteks ini, tradisi Nahdlatul Ulama mengacu sejumlah rujukan. Kita bisa menyimpulkan sejumlah pemetaan tersebut, ada hal-hal yang membatalkan puasa, dan ada hal-hal yang merusak pahala puasa.

Sebagai salah satu ibadah utama dalam agama Islam yang dilakukan sebagai bentuk pengabdian kepada Allah SWT, tidak semua puasa yang dilakukan oleh umat Islam mendapatkan pahala yang diharapkan. Terdapat beberapa faktor yang dapat membuat puasa seseorang menjadi kurang bernilai di sisi Allah, sebagaimana dijelaskan dalam kitab kuning dan literatur keagamaan Islam.

Iklan

 

Delapan hal yang Membatalkan Puasa

Dalam kitab fikih bermazhab Imam Asy-Syafi’i ini, yaitu Fathul Qorib yang disusun oleh Ibnu Qosim Al Ghazi, di dalamnya dijelaskan terdapat 8 (delapan) hal yang membatalkan puasa. Batal ya, bukan merusak pahala puasa, karena hal ini berbeda. Berikut delapan hal yang membatalkan puasa.

Pertama, sampainya sesuatu ke dalam lubang tubuh dengan disengaja. Dalam konteks hukum Islam, sebuah perbuatan yang membatalkan puasa adalah ketika sesuatu masuk ke dalam lubang tubuh dengan disengaja selama bulan puasa. Ini termasuk makan, minum, berhubungan seksual, atau mengeluarkan sperma dengan sengaja. Jika seseorang melakukan salah satu dari tindakan tersebut secara disengaja saat berpuasa, maka puasanya dianggap batal dan perlu diganti di hari lain atau dibayar kembali sesuai dengan syarat-syarat yang berlaku.

Kedua, mengobati dengan cara memasukkan benda (obat atau benda lain) pada salah satu dari dua jalan (qubul dan dubur). Dalam konteks hukum Islam, jika seseorang memasukkan obat atau benda lain ke dalam lubang tubuh seperti dubur atau qubul dengan tujuan pengobatan, tindakan tersebut tidak secara langsung membatalkan puasa. Namun, jika benda tersebut sampai masuk ke dalam perut dan diabsorpsi oleh tubuh, maka itu dapat membatalkan puasa, bergantung pada jenis obat atau benda yang dimasukkan dan seberapa jauh masuknya ke dalam tubuh. Dalam situasi semacam itu, sebaiknya berkonsultasi dengan seorang ahli agama Islam atau seorang ulama untuk mendapatkan nasihat yang lebih spesifik sesuai dengan kondisi yang dihadapi. Dalam kebanyakan kasus, pengobatan yang diperlukan dapat dilakukan tanpa membatalkan puasa, tetapi dengan tetap memperhatikan ketentuan dan syarat yang berlaku.

Ketiga, muntah dengan sengaja. Dalam hukum Islam, jika seseorang sengaja memuntahkan makanan atau minuman yang telah dimasukkan ke dalam tubuhnya, puasanya dianggap batal. Ini termasuk tindakan sengaja memuntahkan makanan atau minuman dengan tujuan untuk membatalkan puasa. Namun, jika seseorang muntah tanpa sengaja atau tidak disengaja, seperti karena sakit atau kondisi medis tertentu, maka puasanya tetap sah, dan dia harus melanjutkan puasanya sebagaimana biasa, tidak perlu mengganti hari puasanya yang batal. Penting untuk diingat bahwa niat dan keikhlasan dalam menjalankan ibadah puasa sangatlah penting dalam hukum Islam. Oleh karena itu, seseorang harus berhati-hati untuk tidak dengan sengaja melakukan tindakan yang dapat membatalkan puasa.

Keempat, melakukan hubungan seksual dengan lawan jenis (jima’) dengan sengaja. Melakukan hubungan seksual (jima’) dengan sengaja selama bulan Ramadan adalah salah satu tindakan yang membatalkan puasa dalam Islam. Ini termasuk tindakan sengaja melakukan hubungan intim dengan pasangan lawan jenis saat seseorang sedang berpuasa.  Dalam Islam, puasa adalah ibadah yang suci dan diwajibkan untuk dijaga dengan baik. Salah satu syarat untuk mempertahankan keabsahan puasa adalah menahan diri dari segala bentuk hubungan seksual selama waktu puasa, mulai dari terbit fajar hingga terbenam matahari. Jika seseorang sengaja melakukan hubungan seksual saat berpuasa, maka puasanya dianggap batal, dan dia harus menggantinya di hari lain serta membayar kafarat (denda) sesuai dengan hukum yang berlaku dalam agama Islam. Ini adalah salah satu tindakan yang sangat serius dalam hukum Islam, dan umat Islam dianjurkan untuk menghindarinya selama bulan Ramadan dan kapan pun mereka berpuasa.

 

Kelima, keluarnya air mani (sperma) disebabkan bersentuhan kulit. Dalam hukum Islam, keluarnya air mani (sperma) disebabkan oleh rangsangan seksual atau oleh alasan lain yang dapat membatalkan puasa jika disertai dengan kesadaran dan kenikmatan. Ini berarti jika seseorang sengaja memperoleh kenikmatan seksual dan menyebabkan keluarnya sperma, itu dapat membatalkan puasanya. Namun, jika keluarnya sperma terjadi tanpa disengaja, misalnya karena mimpi basah atau karena rangsangan fisik tanpa disengaja, puasa tidak batal, dan seseorang dapat melanjutkan puasanya seperti biasa. Dalam Islam, dianjurkan untuk menjaga kesucian dan kebersihan tubuh serta menjaga kehormatan bulan suci Ramadan dengan menghindari situasi-situasi yang dapat memicu keluarnya sperma secara tidak sengaja.

 

Keenam, mengalami haid atau nifas pada saat puasa. Menurut ajaran Islam, seorang wanita yang mengalami haid atau nifas (periode menstruasi atau setelah melahirkan) dilarang untuk berpuasa. Haid dan nifas adalah kondisi alami dalam tubuh wanita yang dianggap membatalkan puasa. Selama masa ini, wanita tersebut tidak diwajibkan untuk menjalankan puasa, dan puasanya dianggap batal. Setelah masa haid atau nifas selesai, wanita tersebut harus mandi besar (mandi junub) dan mulai menjalankan puasanya kembali setelah itu. Ini berarti bahwa puasa yang terlewat karena haid atau nifas harus diganti pada hari-hari lain setelah bulan Ramadan berakhir.

Ketujuh, gila (junun) pada saat menjalankan ibadah puasa. Menurut mayoritas ulama, seseorang yang mengalami keadaan gila (junun) atau kehilangan akal selama bulan Ramadan tidak dianggap bertanggung jawab atas ibadah puasa. Ini karena puasa membutuhkan kesadaran dan kemampuan untuk menjalankan ibadah dengan kesadaran penuh. Dalam keadaan seperti itu, seseorang dianggap tidak bertanggung jawab atas perbuatan mereka, termasuk apakah mereka berpuasa atau tidak. Namun, ketika orang tersebut mendapatkan kembali kesadarannya, jika masih ada sisa waktu di bulan Ramadan, dia diharapkan untuk menjalankan puasa sebagaimana mestinya, selama kondisinya memungkinkan untuk melakukannya. Jika tidak, maka puasanya dianggap gugur dan tidak diwajibkan untuk diganti.

Kedelapan, murtad pada saat puasa. Menurut mayoritas pandangan ulama dalam Islam, murtad atau meninggalkan agama Islam membatalkan puasa seseorang. Ini karena dalam Islam, puasa adalah salah satu kewajiban utama bagi umat muslim, dan seseorang yang murtad dianggap telah melanggar syarat-syarat menjadi seorang  muslim. Jika seseorang murtad selama bulan Ramadan, puasanya dianggap batal, dan dia tidak lagi diwajibkan untuk melanjutkan puasanya. Namun demikian, konsekuensi murtad dalam Islam lebih luas dari sekadar membatalkan puasa. Hal ini dapat memengaruhi status agama dan kehidupan sosial seseorang dalam masyarakat Muslim, dan mungkin memerlukan upaya rekonsiliasi dan pembaharuan keimanan untuk kembali ke dalam agama Islam.

 

Lima Hal yang Merusak Pahala Puasa

Nabi Muhammad Saw bersabda

كَمْ مِنْ صَائِمٍ لَيْسَ لَهُ مِنْ صِيَامِهِ إِلَّا الْجُوْع وَالْعَطْش

Artinya, “Betapa banyak orang yang berpuasa namun dia tidak mendapatkan sesuatu dari puasanya kecuali rasa lapar dan dahaga.” (HR An-Nasa’i).

 

Sebenarnya, banyak rujukan untuk meneguhkan hal-hal yang merusak pahala puasa. Namun dalam artikel ini, penulis menyimpulkan ada lima hal yang merusak pahal puasa. Hal ini sebagaimana yang disabdakan Nabi Muhammad Saw.,

خمسٌ يُفطِرن الصّائِم: الغِيبةُ، والنّمِيمةُ، والكذِبُ، والنّظرُ بِالشّهوةِ، واليمِينُ الكاذِبةُ

 

Artinya: “Lima hal yang bisa membatalkan pahala orang berpuasa: membicarakan orang lain, mengadu domba, berbohong, melihat dengan syahwat, dan sumpah palsu” (HR Ad-Dailami).

 

Puasa tanpa Pahala?

Jika merujuk sejumlah dasar, yaitu Al-Qur’an, Surah Al-Baqarah ayat 183, Kitab Ihya Ulumuddin karya Al-Ghazali, “Riyadhus Shalihin” karya Imam Nawawi, kitab isa menyimpulkan terdapat hal-hal yang merusak bahkan membatalkan puasa. Pertama, niat yang tidak murni menurut Al-Ghazali. Imam Al-Ghazali, dalam kitabnya yang terkenal “Ihya Ulumuddin”, menekankan pentingnya niat yang murni dalam menjalankan ibadah puasa. Menurutnya, niat yang tulus merupakan landasan utama dalam menjalankan puasa yang mendapatkan pahala. Jika seseorang berpuasa hanya untuk tujuan duniawi atau popularitas semata, maka puasanya mungkin tidak akan diterima oleh Allah SWT.

 

Kedua, kurangnya ketaatan pada ajaran agama menurut Imam Nawawi. Imam Nawawi, dalam kitab “Riyadhus Shalihin”, menggarisbawahi pentingnya ketaatan pada ajaran agama dalam menjalankan puasa. Puasa yang dilakukan tanpa memperhatikan aturan dan pedoman yang telah ditetapkan dalam agama Islam mungkin tidak akan mendapatkan pahala. Ketaatan pada ajaran agama termasuk dalam aspek-aspek penting yang harus diperhatikan oleh seorang Muslim dalam menjalankan puasa.

 

Kedua, sikap dan perilaku selama berpuasa menurut yang diriwayatkan oleh Rasulullah SAW juga memberikan panduan tentang perilaku yang seharusnya dimiliki oleh seorang Muslim saat berpuasa. Rasulullah SAW pernah bersabda, “Barangsiapa tidak meninggalkan perkataan yang sia-sia dan perbuatan yang sia-sia, maka Allah tidak butuh terhadap ia meninggalkan makanan dan minumnya.” Hadis ini menunjukkan bahwa perilaku yang buruk seperti mengumpat, berbohong, atau melakukan tindakan kekerasan dapat mengurangi nilai puasa seseorang di sisi Allah SWT.

 

Keempat, ketaatan pada ajaran agama menurut Al-Qur’an memberikan petunjuk tentang kriteria puasa yang diterima di sisi Allah SWT. Dalam Surah Al-Baqarah ayat 183, Allah SWT berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” Ayat ini menegaskan bahwa tujuan utama dari puasa adalah untuk meningkatkan ketaqwaan dan kesadaran spiritual seseorang terhadap Allah SWT.

Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa puasa yang tidak mendapatkan pahala adalah puasa yang dilakukan dengan niat yang tidak murni, kurangnya ketaatan pada ajaran agama, perilaku yang buruk selama berpuasa, dan tidak memperhatikan petunjuk Al-Qur’an dan hadis-hadis Rasulullah SAW. Oleh karena itu, sangat penting bagi setiap Muslim untuk memperhatikan aspek-aspek ini dalam menjalankan ibadah puasa agar puasanya benar-benar bernilai di sisi Allah SWT.

 

*Dr. Hamidulloh Ibda, M.Pd., penulis lahir di Pati, 17 Juni. Saat ini menjadi dosen Institut Islam Nahdlatul Ulama Temanggung, Koordinator Gerakan Literasi Ma’arif (GLM) LP. Ma’arif NU PWNU Jawa Tengah 2018-2023, Kabid Media, Hukum, dan Humas Forum Koordinasi Pencegahan Terorisme (FKPT) Jawa Tengah 2020-sekarang, aktif menjadi reviewer 16 jurnal internasional terindeks Scopus, reviewer 7 jurnal internasional, editor dan reviewer 25 jurnal nasional.

Iklan

2 Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Konten Terkait

Back to top button
bandar togel ppidsulsel.net stmik-hsw.ac.id bprdesasanur.com sv388 https://pa-kualakapuas.go.id/ widyagama.org univpancasila.com klik88 provider game slot www.paramadina.org slot gacor klik88 slot gacor scatter hitam slot gacor idn situs slot gacor live casino online game slot slot gacor pg slot gacor malam ini slot pragmatic play link tok99toto tok99toto login slot scatter hitam bojonegorokab.net menpan.net www.latinseminary.org k86sport login slot gacor zeus slot gacor idn slot mahjong mudah jackpot slot gacor 4d https://smpn10kotasukabumi.or.id/ slot klik88 klik88 login slot gacor slot demo