Padi Tumbuh dalam Kesunyian
Oleh : M. Iqbal Dawami
Dua tahun lalu hampir setiap pagi jika Aghza—anakku—bangun pagi, aku sering mengajaknya jalan-jalan ke pematang sawah. Dia tampak antusias setiap kali aku ajak ke persawahan. Sebelumnya dia minta dibuatkan susu dulu. Nanti susu yang dalam dot itu diminum pada saat kami melihat sawah. Terasa lebih nikmat, mungkin pikirnya. Aku bonceng dia dengan sepeda ontel. Di sawah kami jalan-jalan, sambil sesekali duduk-duduk.
Di sana kami melihat hamparan sawah sejauh mata memandang. Kami menyaksikan burung-burung yang terbang pada saat petani mengusirnya. Kami juga melihat petani berdatangan, dan siap bekerja. Pada kali itu, kami melihat padi mulai menguning, dimana beberapa hari sebelumnya masih tampak hijau. Kami menyaksikan perubahan padi-padi tersebut dari hari ke hari.
Melihat padi itu, pikiranku melayang-layang. Kuperhatikan padi tumbuh dalam kesunyian. Dia tumbuh dari mulai hijau hingga menguning. Dia tidak banyak “bicara” dan gembar-gembor untuk mempersiapkan kematangannya. Dan saat matang dia justru merunduk. Hmm, tanda kerendahan hati. Semakin berisi semakin merunduk. Dia tidak berdiri tegak (baca: sombong). Begitulah filosofi padi yang bisa aku ambil. Kerendahan hati adaalah wujud kesalehan sejati. Begitu ucap seorang kawan. Ah, aku berharap bisa meneladani padi itu, pada saat matang justru semakin tunduk dan rendah hati.
Sering kita menyaksikan manusia yang sombong saat mendapatkan kemasyhurannya. Dia angkuh saat dirinya meraih sesuatu yang sudah diraihnya. Dia lupa bagaimana kehidupan dulunya. Dia alpa bahwa apa yang dicapainya banyak campur tangan orang lain. Sombong, angkuh, dan egois adalah penyakit hati. Jadi, harus disembuhkan. Dan yang lebih penting lagi adalah menjaga diri dari penyakit tersebut. Bukankah pencegahan lebih penting ketimbang pengobatan?
Oleh karena itu, aku hendak membiasakan kepada anakku perilaku-perilaku positif sejak dini. Aku bersyukur bisa membawa dia kepada alam nyata yang segar. Aku perkenalkan dia sawah, sungai, tanaman, suara-suara alam: gemericik air, kicau burung, gonggongan anjing, dan lain sebagainya. Aku berharap dari situ dia mempunyai ingatan otentik masa kecilnya yang bisa dibawa ke masa dewasanya. Aku berharap dia bisa mempunyai pikiran otentik pula yang berpikir dan berbuat serta menjadi tumbuh secara alami layaknya alam ini. Alam tumbuh secara natural nan alami. Hal ini sebagaimana yang dikatakan Masanobi Fukuoka dalam Revolusi Sebatang Jerami (1991):
“Dalam mengasuh anak, banyak orangtua membuat kekeliruan yang sama dengan yang mula-mula saya lakukan di kebun buah-buahan. Misalnya, mengajarkan musik kepada anak-anak sama tidak perlunya seperti memangkas pohon-pohonan di kebun buah-buahan. Telinga anak-anak menangkap musik. Gemericik aliran sungai, suara kuakan katak di tepi sungai, geremisik dedaunan di hutan, semua suara alam ini merupakan musik – musik yang sebenarnya. Tetapi bila bermacam suara gaduh mengganggu masuk dan mengaburkan telinga, apresiasi langsung dan murni dari anak-anak terhadap musik mundur. Jika dibiarkan berlangsung terus seperti itu, anak tidak akan mampu mendengarkan kicauan seekor burung atau desauan angin sebagai nyanyian-nyanyian.”
Betapa dahsyatnya kata-kata Masanobi di atas. Dia mengibaratkan kanak-kanak itu layaknya tanaman dan buah-buahan. Keduanya dapat tumbuh dengan baik asalkan dirawat secara baik pula. Merawatnya secara alami. Mereka tidak perlu dipaksakan kepada hal-hal yang bertentangan dengan hukum alam (sunnatullah). Mereka mempunyai kehidupannya sendiri, karena sejatinya manusia bisa tumbuh sesuai hukum alam. Dengan begitu mereka mendapatkan hidup yang otentik.
Saya teringat kata-kata Kahlil Gibran, sastrawan tersohor itu, mengatakan dalam prosaisnya:
Anak-anakmu bukanlah anak-anakmu. Mereka adalah anak-anak kehidupan yang rindu akan dirinya sendiri. Mereka terlahir melalui engkau tapi bukan darimu. Meskipun mereka ada bersamamu tapi mereka bukan milikmu. Pada mereka engkau dapat memberikan cintamu, tapi bukan pikiranmu. Karena mereka memiliki pikiran mereka sendiri.
Engkau bisa merumahkan tubuh-tubuh tapi bukan jiwa mereka. Karena jiwa-jiwa itu tinggal di rumah hari esok, yang tak pernah dapat engkau kunjungi meskipun dalam mimpi. Engkau bisa menjadi seperti mereka, tapi jangan coba menjadikan mereka sepertimu. Karena hidup tidak berjalan mundur dan tidak pula berada di masa lalu.
Engkau adalah busur-busur tempat anak-anakmu menjadi anak-anak panah yang hidup diluncurkan. Sang pemanah telah membidik arah keabadian, dan ia meregangkanmu dengan kekuatannya sehingga anak-anak panah itu dapat meluncur dengan cepat dan jauh. Jadikanlah tarikan tangan sang pemanah itu sebagai kegembiraan. Sebab ketika ia mencintai anak-anak panah yang terbang, maka ia juga mencintai busur yang telah diluncurkannya dengan sepenuh kekuatan.
Jelas sekali kata-kata Kahlil Gibran di atas bahwa seorang anak mempunyai pikiran dan jiwa sendiri. Ia mempunyai hak prerogatif untuk menentukan jalan takdirnya sendiri. Orangtua hanya dapat memberikan cinta dan kasih sayangnya, tapi tidak dengan pemikirannya. Ia hanya dapat diarahkan tapi tak bisa dibentuk. Sepintas memang seorang anak layaknya “karya” orangtua, tapi pada hakikatnya tidak. Beberapa unsur bapak dan ibunya mengalir dalam diri sang anak baik secara raga maupun jiwa. Tapi, tidak lebih dari itu. Ia akan membentuk dan menjadi pribadi sendiri, yang bisa jadi tak ditemukan dalam diri orangtuanya.
Maka, usia dini (golden age) seorang anak harus betul-betul dicermati. Ia harus diperhatikan, dijaga, dipelihara, diarahkan. Karena, hal itu akan menjadi modal utama di kemudian hari, kelak pada saat usia-usia remaja dan dewasanya. Pepatah terkenal mengatakan bahwa usia dini ibarat mengukir di bebatuan. Bekasnya tidak akan pernah hilang sampai kapan pun. Oleh sebab itu, sekali lagi, usia dini menjadi hal yang menentukan di usia-usia selanjutnya.
Rasulullah Saw., telah menunjukkan bagaimana cara mendidik anak. Beliau begitu menghormati anak kecil, entah itu anaknya sendiri, cucunya, maupun anak-anak para sahabatnya. Anak kecil juga mempunya pikiran dan perasaan. Pikiran dan perasaan mereka ibarat kaset yang masih kosong. Untuk itu Nabi memperlakukan mereka dengan sebaik-baiknya, agar pikiran dan perasaan mereka diisi dengan baik.
Sebuah riwayat menceritakan, ada seorang anak lelaki pada saat digendong Nabi pipis. Lantas ibunya langsung merebut anaknya itu dengan kasar. Nabi kemudian bersabda, “Bajuku ini bisa dibersihkan oleh air, tetapi hati seorang anak siapa yang bisa membersihkan.” Riwayat lain menyebutkan bahwa Nabi berkata, “Jangan, biarkan ia kencing.”
Dalam riwayat lainnya menceritakan ketika Rasul shalat berjamaah, cucunya, Hasan dan Husain, menaiki punggung beliau pada saat sujud, namun Nabi membiarkan saja. Beliau tidak juga mengangkat tubuhnya, sampai kedua cucunya turun dengan sendirinya. Ketika Hasan dan Husein turun dari punggung beliau, baru Rasulullah bangkit dari sujud.
Kisah Nabi tersebut membuktikan tamsil kaset di atas, bahwa sikap kasar terhadap seorang anak dapat mempengaruhi jiwanya sampai kelak ia dewasa. Tulisan ini saya akhiri dengan sebuah kutipan dari Dorothy Law Nolte:
Jika anak dicela, ia akan terbiasa menyalahkan
Jika anak dimusuhi, ia akan terbiasa menentang
Jika anak dihantui ketakutan, ia akan terbiasa merasa cemas
Jika anak banyak dikasihani, ia akan terbiasa meratapi nasibnya
Jika anak dikelilingi olok-olok, ia akan terbiasa menjadi pemalu.[]