Melepasmu dengan Cinta

Oleh : J. Intifada
Hari setelah kelulusan SMA kita. Waktu yang lama untukku menunggu berjumpa denganmu. Aku mencari keberadaanmu. Kita berpisah sekolah. Kamu melanjutkan ke sekolah kejuruan. Sedangkan aku melanjutkan ke sekolah berasrama. Di tempat mu, aku tak menemukanmu. Kata orang yang ku temui, kamu sedang pergi untuk cap tiga jari. Aku menitip nomer ponsel agar kamu bisa menghubungiku. Sehari aku tak mendapat kabar itu. Hingga kamu mengirim pesan. Ohhh mimpiku terasa menjadi nyata.
Selama tiga tahun, aku merindukanmu sangat. Aku mencoba mencari cara menghubungi. Namun tak menemukan jalan. Bahkan aku sampai bermimpi bertemu denganmu. Dalam setiap mimpiku, aku sadar bahwa ini mimpi.
“Tidak, ini bukan kamu. Kamu ini mimpi. Aku sedang mimpi bertemu denganmu.” Sungguh, kamu benar hanya menjadi mimpi dalam hidupku.
Masih teringat jelas saat aku menyapamu pertama kali. Kita satu sekolah, satu kelas selama 3 tahun. Kenanganku adalah kamu teman yang tak banyak bicara. Kita bahkan tak pernah saling berbicara. Sesekali hanya menyapa, tersenyum saat berpapasan. Sempat aku salting, kamu duduk di bangkuku. Membuka-buka bukuku. Entah apa yang kamu cari.
Saat di kelas 2, kamu duduk depan pojok depan kursi guru. Sedang aku, duduk paling belakang. Aku ingat, kita bersaing dalam rangking. Dalam satu kelas itu mereka yang juara kelas 5 besar di kelas 1 dikumpulkan menjadi satu kelas. Dan posisi rangkingku dan kamu sama.
Kamu ingat saat aku datang di pertandingan bola antar sekolah? Menyemangatimu dalam pertandingan bola. Waktu itu aku ingin sekali meneriakkan namamu. Aku malu bila teman-teman tahu. Tapi aku yakin kamu tahu aku ada untuk menyemangatimu saat itu.
Oh ya, apa kamu masih ingat saat kelas 3. Kamu menulis pesan di buku kecilku untuk pesan dan kesan perpisahan. Aku meminta teman-teman untuk menulis pesan dan kesan kepadaku. Inginku memintamu menuliskannya juga. Lagi-lagi aku malu padamu. Tak kusangka dengan sendirinya kamu yang meminta untuk menulis. Walau tidak langsung seketika itu kamu menuliskannya. Tapi kau bawa pulang. Bahagianya aku saat itu.
Aku pun mengingat saat kita baru lulus SMA. Kamu mengajak buka bersama dengan teman-teman kita. Tahukah, saat itu aku sedang sakit. Sorenya aku paksakan untuk ikut buka bersama denganmu. Padahal aku sedang tidak puasa.
Selesai sholat magrib, jamaah putri ada di lantai atas, dan putra di lantai 1, aku melihatmu dari rongga dinding lantai atas. Aku melihatmu menghisap rokok untuk pertama kali. Jengkel tentunya. Karena aku pikir kamu gak suka rokok.
Saat makan bersama teman-teman lain, kalian seru mengobrol. Sedang aku hanya diam. Menahan sakit. Aku tidak berani bilang, karena kamu asyik dengan teman-teman. Banyak sekali momen yang aku lewatkan. Mungkin itu juga sudah sebuah tanda bahwa kita tidak ditakdirkan bersama.
Selesai buka bersama itu, kita semakin sering berkomunikasi. Kamu lebih sering meneleponku. Sedang aku sebenarnya lebih suka untuk berkirim pesan. Namun, tetap saja aku merasa senang saat melihat namamu terpampang di layar. Dan malam itu kamu berani untuk menyatakan ingin bersamaku.
Bagaimana bisa aku menolak. Ingin sekali ku berteriak iya. Tetapi aku lebih memilihmu menjadi sahabat. Aku tak ingin saat kita ada masalah dalam hubungan itu, kita akan canggung dan jauh.
Masa itu sudah lewat. Setelah itu kamu merantau. Kita masih bisa ber sms. Kadang saat kamu senggang kamu menelepon. Berhari-hari sms tanpa henti. Curhat sana sini. Telepon setiap malam. Lalu lost contact. Lama tak dengar kabar. Kadang hanya tahu dari status facebookmu. Lalu kita kembali berkomunikasi.
Itu dulu. Dulu sekali. Dan itu tak akan pernah sama lagi. Aku tak pernah ingin menganggap kebersamaan kita ada rasa diperhatikan, dipedulikan dan dicintai. Bagaimana bisa aku menganggapnya demikian, bila kamu datang dan pergi tanpa permisi. Setiap ku tanya siapa wanita yang kau cintai, kau tak penah mengungkapkannya padaku.
Jadi apakah aku salah bila menganggap bahwa cintamu masih untukku? Bertahun-tahun aku memastikan untuk tidak jatuh hati padamu. Tapi nyatanya, kamu masih menjadi satu-satunya nama yang belum bisa ku hapus hingga sekarang. Berawal dari penolakanku. Sebaiknya kita berteman. Menjadi bumerang untukku. Aku menginginkannya lebih. Bahkan tak ingin hanya sekedar teman.
Trauma ini yang membuatku takut menjalin hubungan dengan seseorang. Tidak hanya karena masih terbayangi dengan perasaanku padamu. Tetapi juga takut adanya penolakan. Aku pikir kamu akan menungguku. Ya, karena saat itu aku belum membuka hati padamu. Siapa mengira, kesabaranmu menemaniku saat aku terpuruk saat aku membutuhkan teman, membuatku luluh. Aku berharap kamu masih memintaku untuk menjadi kekasihmu. Kamu malah meneleponku hanya untuk menanyakan tentang weton.
Ada apa dengan weton? Apakah kamu menghitung antara wetonku dan wetonmu? Atau wetonmu dengan gadis lain? Bagaimana hasilnya? Apakah wetonku dan wetonmu tidak cocok? Kenapa kamu tidak pernah memberitahuku lagi tentang weton yang kamu tanyakan itu. Kenapa kamu selalu memberiku teka teki. Tak bisakah kau jelaskan saja maksud isi hatimu.
Juga saat kamu merantau, sebelum pertanyaan tentang weton itu kamu ajukan, kamu memintaku mencari peluang bisnis di kota tempat aku belajar. Tiba-tiba saja kamu bertanya, disana bagus untuk memulai bisnis apa. Aku jawab fashion. Karena banyak butik dan distro. Saat itu aku tidak mengerti kenapa kamu ingin pergi ke tempatku. Aku menduga kamu ingin lari dari rumah. Tetapi tak pernah aku menemukan jawaban itu.
Aku juga ingat, kamu memintaku datang ke pesta pernikahan kakak perempuanmu. Aku bingung. Bagaimana aku bisa kesana. Alamatmu saja aku tak tahu. Sedang kamu tidak ada usaha untuk bilang, “nanti aku jemput.” Apakah kamu ingin memperkenalkanku dengan keluargamu? Apakah memang kamu sudah membicarakan dengan bapak ibumu? Lalu kenapa? Setelah itu yang ku dengar kabar kau menikah dengan seseorang. Lama aku mencoba menyadarkan diri. Kamu sudah menikah. Istrimu sholehah dan cantik. Idaman setiap pria. Tetapi disisi lain, aku menyangkal. Masih tidak mempercayai kenyataan. Hingga ku dengar kau sudah tak bersamanya.
Tahukah kamu bagaimana perasaanku saat itu? Senang sedih dan ingin teriak. Ketika ku mencoba mengirim pesan whatsapp pertama setelah beberapa tahun, kamu langsung meneleponku. Tidak hanya telepon tetapi video call. Kamu masih sama. Selalu tersenyum ketika menyapaku.
Lalu bagaimana dengan perasaan saat kita dekat lagi. Kamu mengabari sedang berada dekat rumahku. Tanpa pikir panjang aku menemuimu. Sungguh seperti sebuah mimpi kembali bertemu denganmu. Yang paling membuatku terheran saat kamu mengajakku menonton bioskop film kesukaanmu. Itu pertama kalinya aku menonton dengan seseorang yang sukai.
Selesai menonton, aku masih ingin ngobrol denganmu. Namun kamu langsung beranjak pulang. Aku mencoba untuk tidak menoleh. Ku kira kamu akan memanggil dan mengajakku tinggal dulu untuk mengobrol. Itu sama saat aku mengantarmu ke bandara. Aku tak berani menatapmu pergi. Aku takut perasaanku tertinggal di kamu jauh. Sedang aku tak tahu pasti perasaanmu kepadaku seperti apa saat itu.
Aku tak ingin meminta lebih. Moment-moment bersamamu selalu lebih cukup. Walau pernah tak sengaja aku melirik ponselmu, ku lihat kamu membalas pesan dari seseorang. Mungkin pacarmu. Mungkin juga calonmu. Seperti dugaanku, selang beberapa bulan dari nonton film itu, kamu melangsungkan pernikahan.
Ku ucapkan selamat. Walau rasanya perasaanku masih janggal Apakah mencintai sebuah kesalahan? Saat tahu bahwa hati ini belum merelakanmu sepenuhnya. Ada perasaan yang tertinggal yang masih berkecamuk dalam diri. Dulu, saat kebersamaan ini, saat ku memastikan bahwa kamu bukan yang terbaik, tetapi disaat kamu telah berpaling dan dimiliki orang lain, kenapa itu begitu menyakitkan sekali. Aku pikir aku akan baik-baik saja selagi kamu pun bahagia.
Nyatanya aku masih berhalusinasi, berimajinasi dan menganggap bahwa perasaanmu masih sama seperti yang dulu. Bagaimana bisa aku melepasmu. Saat aku dan kamu masih saling follow di instagram. Kamu masih sering mengecek story ku. Menyukai setiap postinganku. Entah sengaja atau tidak kamu mengikuti akun yang sama dengan yang aku ikuti. Satu akun yang tak diikuti temanku lainnya. Lalu, foto-foto yang kamu pajang di berandamu. Borobudur, lawang sewu, dan kebun tah. Apakah ini sebuah kebetulan. Atau memang ini hanya halusinasiku. Bagaimana aku bisa mengonfirmasinya. Ketika kamu sudah mempunyai baby mungil yang rupawan. Bagaimana bisa aku merebut kebahagian keluarga kecilmu.
Ada saat aku membahasmu tanpa henti dengan seorang teman. Sampai aku menangis dan penuh penyesalan. Dalam hati ku ucapkan maaf atas kesalahanku yang dulu, ku ucapkan pula terima kasih atas perhatianmu. Banyak sekali yang ingin ku sampaikan denganmu. Apalah daya kita sudah terhalang tembok yang sangat besar.
Seorang teman berkata, apa yang akan kamu katakan padanya? Aku ingin memastikan perasaannya padaku. Dulu dan sekarang. Lalu ketika aku mengetahui perasaanmu, apakah itu sama dengan ekspektasiku. Apakah perasaanmu sama dengan perasaanku. Apakah perasaan yang ku rasakan dulu dan sekarang merasa bahwa kamu ada rasa padaku itu benar? Kalau itu benar, apa yang akan ku lakukan. Kalau itu tidak benar, apakah aku siap menerimanya.
Banyak pertanyaan yang tak bisa terjawab. Mungkin tidak akan pernah mungkin mendapatkan jawaban. Kalaupun ada, aku tak berani memastikan dan tak ingin menyimpulkan hasil akhir dari jawaban itu. Aku ingin menyelesaikan ini segera. Namun tak tahu bagaimana aku menyelesaikannya.
Ketika ku berkata, aku melepasmu dan berbahagialah, sesungguhnya aku sedang menghibur diri sendiri untuk menerima kenyataan. Saat aku bersenang-senang dengan dugaanku, disana kamu sedang berbahagia dengan keluargamu. Dan ketika aku melihat potret kebahagiaanmu di insta storymu, entah kenapa, hidupku terasa kosong dan tak menentu. Aku mencoba melakukan aktifitas seperti biasa. Tapi seperti tak ada semangatnya.
Oktober menjadi bulan yang panjang. Dimana setiap tahunnya aku akan mengucapkan selamat bertambah usia untukmu. Tapi tidak tahun ini. aku masih mengucapkannya tetapi lewat insta story, memposting gambar dan ku beri lagu. Mungkin saja kamu tak merasa. Tapi memang begitulah. Aku tak ingin terlalu ketara. Aku juga membuat puisi tentang aku dan kamu. Mungkin juga tak kau baca. Tak apa. Aku hanya ingin menuliskan isi hatiku.
Perlu berapa lembar lagi aku menuliskan semua gundahku kepadamu. Bagaimana ku kabarkan rinduku padamu. Inginku menghilang agar kamu mencari. Kenyataannya nomer whatsappmu pun ganti. Entah ganti, entah nomerku kamu blokir.
Namamu akan selalu melekat di hati. Menjadi penyesalan yang sangat berarti. Teman akan selamanya menjadi teman. Semoga kamu selalu diberikan kebahagiaan. Dan semoga aku pun bisa melepasmu dengan hati yang senang tanpa penyesalan.