Nalar Penguasa Hari Ini

Oleh: Maulana Karim Shalihin
Nun jauh di sana, beberapa abad lalu, ada seorang ksatria yang mengundurkan diri lantaran merasa belum becus menerima amanah sebagai kepala negara. Ya, seperti kita fahami, pada era khalifah, kekuasaan memang bersifat dinasti.
Namun khalifah yang satu ini agak lain. Di atas podium, ia dengan ksatria berujar: “Wahai manusia, aku telah menjadi khalifah yang bertugas menampung urusan kalian, sementara aku adalah orang yang lemah untuk urusan itu.” Wal hasil, jabatannya hanya bertahan tujuh puluh hari, dan ada ulama yang menyebut selama tiga bulan.
Dia mundur secara jantan, tanpa ada demonstran, kegaduhan, air mata apalagi korban luka. Dia adalah Muawiyah II, Putra Yazid bin Muawiyah. Sejak saat itu, Muawiyah Junior, diketahui tidak pernah keluar istana hingga. Tampuk kekuasaan pun kemudian ‘dihibahkan’ kepada Ad Dhahhak bin Qais sebagai PLT Khalifah.
Beda cerita dengan Muawiyah II, Ibrahim bin Walid, yang menggantikan kakaknya, juga mengundurkan diri dari kursi khalifah. Bedanya, Ibrahim sempat kekeh mempertahankan jebatannya, bahkan menantang Marwan bin Muhammad–seorang gubernur yang kelak memakzulkannya. Parahnya, Ibrahim juga diduga membunuh beberapa orang yang menghalanginya maju sebagai khalifah.
Marwan menyiapkan delapan ribu pasukan untuk aksi demo. Sampai sini, Ibrahim bin Walid masih sesumbar namun sedikit gentar. Ia pun ‘menyewa’ pasukan bersenjata sebanyak seratus dua puluh ribu kepala.
Dengan jumlah ini, ia semakin giat memamerkan kekuatannya. Hanya saja, hal ini justru memicu api semangat Marwan bin Muhammad serta jiwa corsa rakyat kecil. Singkatnya, penguasa dhalim tersebut dimakzulkan paksa. Jumlah warga yang datang untuk berdemo, jauh lebih besar daripada pasukan yang disiapkan Ibrahim.
Sampai sini, kita bisa tahu, bahwa seburuk-buruknya Ibrahim bin Walid, masih punya urat malu. Ketika banyak rakyat yang tidak menyukainya, ia rela mundur dari jabatan (terlepas dari situasi terdesak atau bukan).
Di Indonesia, kita punya role model penguasa ideal bernama Gus Dur. Ia dimakzulkan oleh segelintir oknum dengan dugaan-dugaan (baca: fitnah) yang tidak terbukti bahkan hingga kini. Tiga ratus ribu pasukan pembela siap mengamankan jabatan Gus Dur. Mereka menyebut dirinya “Pasukan Berani Mati”.
Hanya saja Gus Dur menolak. Bahkan pernyataannya di kemudian kesempatan sungguh menyayat hati. “Jabatan di negara ini, apa sih hebatnya presiden itu kok sampai harus meneteskan darah manusia Indonesia,” ujarnya.
Lagi-lagi, kita dipertontonkan betapa ksatria para pemimpin terdahulu. Ada Muawiyah Junior yang mundur karena merasa tak pantas. Ada Ibrahim bin Walid yang turun takhta karena malu sebab dibenci oleh rakyatnya sendiri dan didesak mundur oleh pasukan yang jumlahnya melebihi prediksinya. Ada pula Gus Dur yang rela melepas kursi presiden demi menjaga kondusifitas negaranya.
Lantas, apakah sekarang masih ada pemimpin dengan jiwa ksatria seperti mereka? Ataukah penguasa-penguasa hari ini hanyalah seonggok tubuh yang sudah di un-instal rasa malunya, dan di delete permanen jiwa ksatrianya? Kalau masih ada penguasa yang tiada birahi menguasai, atau pemangku kewenangan yang tidak sewenang-wenang, tolong tunjukkan di mana ia berada.