Khutbah
Memahami kembali masyruiyyah-ihtifal
الحمد لله ثم الحمد لله الحمد حمداً يوافي نعمه ويكافئ مزيده، يا ربنا لك الحمد كما ينبغي لجلال وجهك ولعظيم سلطانك، سبحانك اللهم لا أحصي ثناءاً عليك أنت كما أثنيت على نفسك، وأشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له، وأشهد أن سيدنا ونبينا محمداً عبده ورسوله وصفيه وخليله خير نبي أرسله، أرسله الله إلى العالم كله بشيراً ونذيراً. اللهم صل وسلم وبارك على سيدنا محمد وعلى آل سيدنا محمد صلاةً وسلام اً دائمين متلازمين إلى يوم الدين، وأوصيكم أيها المسلمون ونفسي المذنبة بتقوى الله تعالى.
Segala Puji bagi Allah Ta’ala atas semua ni’mat yang telah dilimpahkan kepada kita semua. Segala ni’mat yang tidak akan pernah mampu untuk kita hitung. Khususnya ni’mat Iman, Islam serta ni’mat menjadi ummatnya Nabi Muhammad Shollallahu alaihi wasallam. Sebab, ni’mat menjadi ummatnya Nabi Muhammad shollallahu alaihi wasallam adalah ni’mat terbesar yang pernah didambakan oleh Nabi Musa alaihis salam.
Ma’asyiral Muslimin Jama’ah Jum’ah Rahimakumullah
Sesungguhnya didalam agama Islam terdapat perkara-perkara yang harus diketahui oleh semua muslim. Diantaranya adalah, bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memberikan agama Islam dua asas yang agung. Asas Pertama adalah wilayah agama yang tidak mungkin untuk diperdebatkan ataupun dikaji lagi. Dalam wilayah tersebut, pintu ijtihad telah tertutup. Assas Kedua adalah wilayah yang memungkinkan bagi seorang muslim -berdasar kemampuan ilmu agama dan taqwa yang mumpuni (ulama’)- untuk berijtihad sesuai dengan pandangan kemashlatan atas perkembangan hidup yang berbeda, baik perbedaan waktu atau tempat. Ijtihad dalam wilayah tersebut, senantiasa terbuka sampai hari kiamat.
Hal tersebut adalah perkara yang benar serta tidak mengada-ada. Diantara dalil untuk asas yang kedua, adalah sabda Nabi Muhammad Shollallahu alaihi wasallam sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam kitab Shohihnya dan kitab-kitab hadits yang lain: “Apabila seorang hakim menghukumi satu perkara, lalu berijtihad dan benar, baginya dua pahala. Dan apabila ia menghukumi satu perkara, lalu berijtihad dan keliru, baginya satu pahala”.
Hadits tersebutlah yang menjadi dalil, semenjak Rosulullah shollallahu alaihi wasallam bersabda sampai saat ini dapat kita simpulkan bahwa: Nabi shollallahu alaihi wasallam telah menetapkan bahwa di dalam agama ini memiliki pintu ijtihad yang senantiasa terbuka untuk menghasilkan hukum yang belum pernah dibahas secara jelas dalam al-Qur’an dan asSunnah. Adanya kesempatan ijtihad tersebut, secara tidak langsung juga membuka pintu lain yaitu ikhtilaf (perbedaan). Tidak lain adalah karena; ketika Allah Azza wa Jalla telah mempersilahkan hambaNya untuk berijtihad, maka tidak dapat dipungkiri pula telah mempersilahkan hambaNya untuk berikhtilaf pula dalam persoalan tersebut. Dan ketika Allah Azza waJalla telah menghendaki atas hambaNya dengan membuka pintu Ijtihad dalam persoalan agama, maka secara tidak langsung pun Allah Ta’ala telah membuka pintu khilaf pendapat.
Ketika Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mensyari’atkan wilayah ijtihad dan membuka wilayah ikhtilaf, akan tetapi perlu diketahui bersama bahwa ikhtilaf tersebut adalah ikhtilaf ta’awuni (berbeda namun tetap berdampingan saling membantu), bukan ikhtilaf yang menjadikan perpecahan serta permusuhan antara ummat. Ikhtilaf yang muncul karena ijtihad (antara dua golongan) sama-sama mendapatkan pahala semuanya. Baik ijtihad tersebut benar ataupun tidak. Sebagaimana yang telah dijelaskan oleh sabda Rosulullah shollallahu alaihi wasallam di atas. Apakah keterangan ini masih memunculkan syak atau keraguan wahai saudaraku? apakah masih diantara kita yang meragukan sabda Rosulullah shollallahu alaihi wasallam?!
Hakikat keberadaan ijtihad dan ikhtilaf perlu senantiasa dipahami terus menerus keberadaannya, sebagaimana telah dipahami oleh generasi ummat muslimin terdahulu. Agar tidak menimbulkan fitnah dalam beragama. Karena kesalahan memahami tersebut akan menjadikan kita senantiasa berada dalam ikhtilaf permusuhan, bukan ikhtilaf perdamaian. Sering kita jumpai bersama perbedaan pendapat yang menjadikan antara kelompok saling bermusuhan dengan sama-sama memegang teguh pendapat masing-masing. Padahal, hal tersebut telah bertentangan dengan hikmah Ilahiyyah yang telah diletakkan di dalam Islam, yaitu adanya Ittifaq (kesepakatan) dan Ikhtilaf (perbedaan) dalam Ijtihad.
Dari pemahaman tersebut, seyogyanya bagi kita untuk bersikap tasamuh (toleran) dalam menghadapi perbedaan hasil ijtihad antara kelompok. Sudah sepatutnya bagi kita untuk menjaga lisan kita dari ucapan ataupun klaim yang tidak baik, seperti: menyalahkan, menyesatkan, membid’ahkan atau mengufurkan. Karena hal tersebut sekali lagi mengingkari Ijtihad kelompok lain, yang mana pintu Ijtihad senantiasa terbuka sebagaimana yang dijelaskan oleh Rosulullah shollallahu alaihi wasallam. Lebih-lebih yang harus menjadi teladan adalah apa yang telah dikatakan oleh Imam Syafi’i rodliyallahu anhu: “Pendapatku benar, namun mengandung kemungkinan salah, pendapat yang lain salah, namun mengandung kemungkinan benar”.
Ma’asyiral Muslimin Jama’ah Jum’ah Rahimakumullah
Setiap datang bulan Robi’ul Awwal kita berijtihad dan memandang bahwa yang paling baik dalam menyambut bulan istimewa tersebut adalah merayakan ihtifal dalam rangka memperingati kelahiran Rosulullah shollallahu alaihi wasallam. Kita memandang bahwa dalam bulan mulia tersebut adalah moment yang tepat bagi kita untuk membaca serta menghayati sejarah hidup Nabi Muhammad shollallahu alaihi wasallam. Terlebih disaat kesibukan dunia menjadikan ummat lupa dan bahkan terputus dari Sayyidina Rosulillah shollallahu alaihi wasallam. Kita telah berijtihad dalam perkara ini, dan kita pun mengatakan: “ketika ijtihad kita benar, maka bagi kita dua pahala atas Idzin Allah, dan bagaimanapun masih akan tetap mendapatkan satu pahala ketika kita salah”.
Namun disisi lain ada kelompok yang mengingkari atas ijtihad kita, bahkan dengan mudahnya mereka ucapkan melalui lisan mereka atas ijtihad kita: bid’ah dan sesat. Sering kita jumpai mengenai hal tersebut perkataan seperti: ” Rosulullah shollallahu alaihi wasallam hanya dilahirkan sekali, kenapa musti dirayakan hari kelahirannya setiap tahunnya?”. Kita semua mengerti bahwa perkataan tersebut tidaklah masuk dalam persoalan agama, melainkan hanya perkataan biasa baik isi maupun bentuknya. Orang yang mengatakan tersebut pun mengerti sekali bahwa yang dimaksudkannya adalah kelahiran makna hakiki. Dan semua manusia pun mengerti bahwa Rosulullah shollallahu alaihi wasallam tidak dilahirkan lebih dari satu kali. Dan tidak ada satupun diantara ummat yang merayakan kelahirannya Sayyidina Rosulillah shollallahu alaihi wasallam memiliki pemikiran bahwa ihtifal tersebut merupakan kelahirannya dari ibunya dari awal. Tidak. Melainkan ihtifal kita yang berlangsung setiap tahunnya tidak lain adalah mengingat setelah lupa. Tadzakkur ba’da ghoflah. Tidakkah dunia telah menyibukkan ummat sampai mereka sering lupa hal-hal yang berkait dengan keistimewaan akhlaq Nabi mereka serta keistimewaan lain-lainnya? Dengan ihtifal maulid, membaca siroh nabawi tersebutlah untuk melahirkan kembali ingatan atas keagungan Sayyidina Rosulillah di akal dan di hati kita. Agar kita senantiasa ingat bagaimana akhlaq, mu’jizat serta perjuangan beliau shollallahu alaihi wasallam dalam menyebarkan agama Islam. Yang pada akhirnya, dengan mengingat tersebut menjadikan hidup kita selanjutnya untuk senantiasa bersama Rosulullah shollallahu alaihi wasallam. Apa yang salah dengan perkara tersebut? dengan Ijtihad tersebut?!
Itulah Ijtihad kami. Ketika kami berijtihad, dan ijtihad kami salah, dan ketika kalian berijtihad dan benar, tetap kami mendapatkan pahala satu dan Allah telah memuliakan kalian dengan dua pahala. Lantas apa yang menjadikan kalian ingkar sedangkan diantara kita sama-sama mendapatkan pahala dan perbedaan diantara kita adalah hikmah Ilahiyyah yang telah ditetapkan adanya oleh Rosulallah shollallahu alaihi wasallam? Kalau kita telah mengetahui bahwa di dunia ini ada salah dan benar, maka tidak perlu lagi diperdebatkan. Cukup sama-sama berijtihad, dan bukankah perkara ijtihadi pasti memiliki konsekuensi untuk adanya ikhtilaf?
Untuk itu, orang yang merasa sudah dalam posisi benar harus dapat menerima bahwa dirinya bisa jadi dalam posisi yang salah. Begitupula orang yang dinilai salah bisa jadi dalam posisi yang benar. Dan Rahmat Kasih sayang Allah Azza wa Jalla sangatlah luas dan mempersilahkan kita untuk berada disemua wilayah rahmatNya. Lantas mengapa perlu dipersempit lagi rahmatNya?
Jama’ah Jum’ah Rahimakumullah
Ada perkara yang seyogyanya kita ketahui, bahwa diantara kaidah agama Islam yang tidak ada perbedaan antara ulama’ adalah: bahwa dalam prinsip dasar dalam hukum atas persoalan yang berbeda terdapat hukum yang berbeda pula. Bisa jadi suatu perkara mubah beralih menjadi haram lantaran ditempuh dengan jalan haram, begitupula perkara mubah bisa menjadi mandub bahkan wajib ketika wasilah perkara tersebut adalah perkara mandub atau wajib. Semua perkara -yang belum disinggung secara jelas dalam alQur’an dan asSunnah- dihukumi sesuai dengan jalan atau wasilah yang berkaitan dengan persoalan tersebut.
Ketika seseorang berkumpul dalam satu perkara dan tidak terdapat hukum di dalam syari’at mengenai nash qoth’i atas perkumpulan tersebut, maka kita lihat kembali wasilah dan ghoyah (hasil akhir) atas perkumpulan tersebut. Ketika hasil akhirnya adalah bertentangan dengan syari’at, yakni terdapat ma’shiyat, mengandung kemungkaran, maka perkara mubah menjadi harom. Adapun ketika kita pandang suatu perkumpulan baru yang belum dikenal baik dizaman shohabat atau tabi’in Rodliyallahu anhum dan generasi setelahnya, namun setelah kita menyaksikan dan memandangnya menghasilkan perkara yang positif, didalamnya terkandung perkara yang diridloi oleh Allah Azza wa Jalla baik terkait dengan perkara mandub atau wajib, maka perkara mubah tersebut akan berubah menjadi sunnah atau wajib. Pengambilan hukum seperti itu telah disepakati oleh para Ulama’ semuanya sebagaimana yang telah dibahas dalam perkara adDzaro’i’.
Kembali lagi pada persoalan hukum ihtifal muslimin atas kelahiran Rosulnya. Sering kita jumpai bahwa perkara tersebut dinilai bid’ah, tidak ditemukan di dalam agama sama sekali, baik itu nash di dalam alQur’an ataupun asSunnah. Namun apakah kita tidak memiliki akal? tidak mampukah kita menggunakan akal untuk memandang kembali hasil dari apa yang telah dilakukan oleh sebagian ummat Islam terkait Ihtifal Maulid tersebut? Masihkah ada perkara yang belum dimengerti akan ihtifal maulid -baik yang dilakukan dirumah atau dimasjid- atas agungnya kebaikan yang diraih dengan ihtifal maulid tersebut?
Daripada itu, seyogyanya ketika kita melihat apa yang dilakukan oleh masyarakat baik dari amalan atau aktifitas mereka yang berbeda-beda, maka yang kita kedepankan adalah melihat hasil akhir atas aktifitas mereka. Apakah hasil akhir amalan tersebut sesuai dengan warna keta’atan atau warna kema’shiyatan.
Walhasil, ketika kita berkumpul bersama-sama dimasjid atau di rumah untuk membaca siroh Rosulillah shollallahu alaihi wasallam tidaklah kita menganggap bahwa amal tersebut adalah sunnah yang dinash oleh syari’at secara ‘shorih’ sebagaimana sholat dzuha atau sholat jum’ah, melainkan kita tetap mengatakan bahwa hal tersebut adalah suatu aktifitas jama’ah yang tampak biasa, namun memiliki atsar (dampak) positif pada agama. Dan ketika kita memandang bahwa aktifitas tersebut memiliki dampak positif yang bermanfa’at, maka kita tidak akan pernah menghukumi hal tersebut adalah keburukan dan kesesatan. Bahkan kita merasa bahwa tatkala kita menutup pintu-pintu kebaikan tersebut, sama halnya kita berkhianat atas hak agama kita. Dan Ihtifal Maulid adalah termasuk pintu kebaikan yang tidak bertentangan dengan syari’at, karena dengannya ummat akan senantiasa memiliki keterikatan hati dengan Nabi Mereka Sayyidina Muhammad shollallahu alaihi wasallam.
Sekali lagi, penjelasan diatas adalah persoalan Ijtihad, yang apabila kita benar, dua pahala yang kita dapat, dan ketika salah, kita pun tetap akan mendapatkan satu pahala. Jadi tidak bisa dengan kemauan sendiri suatu kelompok dengan semaunya menutup sesuatu yang telah dibuka oleh Allah Ta’ala. Semoga kita semua dijaga oleh Allah Ta’ala disetiap aktifitas kita.
أقول قولي هذا وأستغفر الله العظيم لي ولكم…
Khutbah II
اَلْحَمْدُ للهِ عَلىَ اِحْسَانِهِ وَالشُّكْرُ لَهُ عَلىَ تَوْفِيْقِهِ وَاِمْتِنَانِهِ. وَاَشْهَدُ اَنْ لاَ اِلَهَ اِلاَّ اللهُ وَاللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَاَشْهَدُ اَنَّ سَيِّدَنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ الدَّاعِى اِلىَ رِضْوَانِهِ. اللهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وِعَلَى اَلِهِ وَاَصْحَابِهِ وَسَلِّمْ تَسْلِيْمًا كِثيْرًا اَمَّا بَعْدُ
فَياَ اَيُّهَا النَّاسُ اِتَّقُوااللهَ فِيْمَا اَمَرَ وَانْتَهُوْا عَمَّا نَهَى وَاعْلَمُوْا اَنَّ اللهّ اَمَرَكُمْ بِاَمْرٍ بَدَأَ فِيْهِ بِنَفْسِهِ وَثَـنَى بِمَلآ ئِكَتِهِ بِقُدْسِهِ وَقَالَ تَعاَلَى اِنَّ اللهَ وَمَلآ ئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلىَ النَّبِى يآ اَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا. اللهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلِّمْ وَعَلَى آلِ سَيِّدِناَ مُحَمَّدٍ وَعَلَى اَنْبِيآئِكَ وَرُسُلِكَ وَمَلآئِكَةِ اْلمُقَرَّبِيْنَ وَارْضَ اللّهُمَّ عَنِ اْلخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ اَبِى بَكْرٍوَعُمَروَعُثْمَان وَعَلِى وَعَنْ بَقِيَّةِ الصَّحَابَةِ وَالتَّابِعِيْنَ وَتَابِعِي التَّابِعِيْنَ لَهُمْ بِاِحْسَانٍ اِلَىيَوْمِ الدِّيْنِ وَارْضَ عَنَّا مَعَهُمْ بِرَحْمَتِكَ يَا اَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ
اَللهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَاْلمُؤْمِنَاتِ وَاْلمُسْلِمِيْنَ وَاْلمُسْلِمَاتِ اَلاَحْيآءُ مِنْهُمْ وَاْلاَمْوَاتِ اللهُمَّ اَعِزَّ اْلاِسْلاَمَ وَاْلمُسْلِمِيْنَ وَأَذِلَّ الشِّرْكَ وَاْلمُشْرِكِيْنَ وَانْصُرْ عِبَادَكَ اْلمُوَحِّدِيَّةَ وَانْصُرْ مَنْ نَصَرَ الدِّيْنَ وَاخْذُلْ مَنْ خَذَلَ اْلمُسْلِمِيْنَ وَ دَمِّرْ اَعْدَاءَالدِّيْنِ وَاعْلِ كَلِمَاتِكَ اِلَى يَوْمَ الدِّيْنِ. اللهُمَّ ادْفَعْ عَنَّا اْلبَلاَءَ وَاْلوَبَاءَ وَالزَّلاَزِلَ وَاْلمِحَنَ وَسُوْءَ اْلفِتْنَةِ وَاْلمِحَنَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ عَنْ بَلَدِنَا اِنْدُونِيْسِيَّا خآصَّةً وَسَائِرِ اْلبُلْدَانِ اْلمُسْلِمِيْنَ عآمَّةً يَا رَبَّ اْلعَالَمِيْنَ. رَبَّنَا آتِناَ فِى الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِى اْلآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ. رَبَّنَا ظَلَمْنَا اَنْفُسَنَاوَاِنْ لَمْ تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُوْنَنَّ مِنَ اْلخَاسِرِيْنَ. عِبَادَاللهِ ! اِنَّ اللهَ يَأْمُرُنَا بِاْلعَدْلِ وَاْلاِحْسَانِ وَإِيْتآءِ ذِى اْلقُرْبىَ وَيَنْهَى عَنِ اْلفَحْشآءِ وَاْلمُنْكَرِ وَاْلبَغْي يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ وَاذْكُرُوااللهَ اْلعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوْهُ عَلىَ نِعَمِهِ يَزِدْكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ اَكْبَرْ
Taufiq Zubaidi (Alumni Madrasah Matholi’ul Falah)