Jodoh Buat Bu Bidan Cantik
Oleh : Elin Khanin
Chapter 1
Lengkap sudah penderitaan Shanaya. Masalah yang datang seperti gulungan ombak yang saling bersusul-susulan menghantam kerikil dan karang-karang. Bertubi-tubi. Hanya surut sebentar lalu pasang lagi. Jika seorang perwira perlu bertahun-tahun meraih pangkat sebagai jenderal dengan bintang empat di kedua bahu baret hijaunya, maka ia hanya butuh sepuluh jam saja.
Oh, God ….
Seharusnya semua orang mengucapkan selamat padanya.
Congratulation, Sufu Shanaya. Anda berhasil meraih pangkat sebagai jenderal. Jenderal masalah. Lupakan masa depan cerah dengan cita-cita luhurmu. Bidan delima? Omong kosong.
Bagai melihat seorang Algojo dengan pedang berkilat-kilat seperti petir di tangan—saat ia masuk list sebagai peserta hukuman pancung. Tinggal menunggu waktu saja, pedang itu akan melibas lehernya dalam sekali ayun.
Pedang itu bernama “Drop Out.”
Ya, dia terancam di drop out dari kampus karena telah melalaikan tugasnya di kamar persalinan dan nyaris membuat nyawa seorang ibu dan bayinya melayang. Semua hanya karena menuruti keinginan absurd seorang laki-laki. Lelaki yang ia gilai setengah mati yang bahkan tak pernah memberinya kepastian kapan ia akan dinikahi.
Bucin. Shanaya adalah definisi budak cinta yang sesungguhnya ketika dengan sukarela melakukan apapun, kapan pun . Blade, begitu para fans di Tik Tok dan Instagram menyebut lelaki itu. Lelaki yang telah berhasil mengombang-ambingkan perasaan Shanaya. Membuat gadis itu berhasil meraih gelar pacar gelap, pelacur pribadi, istri simpanan dan segudang julukan negatif lain.
Belum cukup sampai disitu, seorang lelaki asing bagai Alien dari luar angkasa tiba-tiba datang dengan membawa kabar mengejutkan.
“Assalamu’alaikum ….”
“Wa’alaikumsalam … maaf, anda siapa?”
“Kenalkan, Aku Nikhil … suamimu.”
What? suami? Kapan nikahnya?
Bagai gunung yang siap menyemburkan lava, kepala Shanaya seperti mau meletus.
Ia hirup napas dalam-dalam dan mengeluarkannya perlahan sambil berhitung. Satu … dua … tiga.
Mungkin aku sedang berada di alam mimpi. Atau sedang berada di dalam scene salah satu novel favorite-ku. Shanaya mencoba menghibur diri sendiri.
Tapi kemudian ia tersentak. Tidak! Ini nyata. Buktinya cubitan kecil pun mampu membuatku meringis kesakitan.
Wahai, Manusia di seluruh dunia—yang kebanyakan mengeluh hidupnya paling susah dan menderita. Hey, bangun! Mungkin kalian belum kenalan dengan bidan cantik satu ini. Sufu Shanaya, mahasiswi akhir jurusan Kebidanan yang sedang menjalani Praktik Kerja Lapangan di Rumah Bersalin Bidan Delima di daerah Wonoasih—salah satu kabupaten di Jawa Tengah yang menyimpan banyak kekayaan berupa gunung, lembah, bukit, sawah, perkebunan, air terjun dan masih banyak lagi.
Tinggal di pegununan sepertinya tetap membuatnya gerah saat ini. Setidaknya sejak jam empat subuh tadi—saat kedua matanya harus terbuka dengan terpaksa oleh sebuah lagu yang ia setting sebagai nada alarm.
Atas nama cinta
Kurelakan jalanku merana
Asal engkau akhirnya denganku
Ku bersumpah atas nama cinta
Shanaya seharusnya sadar jika lagu favorite-nya itu tidak hanya sedang membangunkannya dari alam mimpi. Tapi juga tengah memberinya sinyal, bahwa satu jam ke depan setelah alarm itu ia non-aktifkan, ada beberapa masalah menunggunya.
Semua berawal saat door bell rumah bersalin Bidan Eko itu berdenging-denging. Lalu ia tergopoh-gopoh menyibak pintu garasi dan mendapati dua orang pasutri berdiri di sana.
“Tolong, Bu Bidan ini istri saya mau melahirkan,” ucap seorang lelaki berperawakan tinggi besar dengan muka panik. Ia tercenung sesaat sebelum buru-buru mempersilahkan pasutri itu masuk ke dalam.
“Baik, mari saya cek dulu.”
Shanaya menggiring ibu muda itu masuk ke dalam kamar periksa untuk dilakukan pemeriksaan dalam. Dengan cekatan ia memakai handscoon setelah membersihkan tangan. Lalu memasukkan dua jarinya ke dalam alat kelamin hingga menyentuh mulut rahim. Terdengar erangan sebentar.
“Masih pembukaan satu, Bun. Masih fase laten. Masih harus nunggu sekitar dua sampai tiga jam sekali di setiap pembukaan. Mau pulang dulu atau gimana?” Shanaya menawarkan opsi sambil melepas handscoon-nya yang sudah berlumur lendir darah.
“Kalau langsung disini saja boleh nggak, Mbak? Saya udah nggak kuat. Sakit banget,” erang si ibu lagi.
“Oh, baiklah kalau begitu. Silahkan tunggu di kamar dulu ya.”
Baru saja Shanaya membawa perempuan berperut buncit itu menuju salah satu kamar inap, ponsel dalam saku roknya sudah merengak-rengek. Nama Blade menguasai layar ponselnya yang berpendar terang. Shanaya melirik jam dinding. Baru jam lima.
“Halo, Juan.”
Nama asli lelaki itu Juan Saifurrahman. Terkenal dengan julukan Blade karena ia seorang gamer sejati yang menggandrungi game Blade, juga seorang gadis bernama Shanaya. Jika Blade artinya pedang, maka Shanaya artinya cahaya matahari. Pedang dan cahaya matahari adalah perpaduan sempurna bagi Juan. Keduanya adalah candu hingga sepagi itu sudah menelepon.
“Halo, Bidan cantikku. Kangen nih.”
Shanaya berdecak. Tapi tak urung rayuan itu membuat pipinya merona. Ia melirihkan suara saat Tita—asisten bidan melintas dan ber-cie-cie ria padanya.
“Kan kemarin baru ketemu.”
“Aku kan kangennya setiap detik. Jadi nggak ngaruh lah kemarin udah ketemu,” gombal Juan.
“Aku dapet pasien nih. Ibu-ibu muda baru hamil anak pertama. Mungkin sore atau malam nanti melahirkan.”
“Oh ya? kamu sendiri kapan hamil anak pertama?” goda Juan.
“Ya, kamu kapan dong lamar aku? Bilang sama Ayah dan Ibu.”
“Insyallah secepatnya ya, Cinta. Yang penting jam enam pagi udah kesini. Pengen dimasakin Cinta.”
“Oke, insyallah.”
Shanaya memutus sambungan telepon, lalu bergegas mandi sebelum meluncur ke kos Juan yang terletak tak jauh dari tempat tugas PKL-nya. Mungkin hanya sekitar dua puluh menitan.
Ia pikir tak masalah meninggalkan pasiennya sebentar. Lagipula dari fase laten menuju fase aktif biasanya butuh waktu berjam-jam. Pembukaan juga baru satu. Sekedar memasak dan menikmati sarapan berdua dengan Juan, sambil membahas masa depan tidak akan butuh waktu lama.
Sejenak, senyum Shanaya mengembang ketika ekor matanya tertuju pada jendela kaca kamar Cempaka. Tampak di sana seorang lelaki dengan sabar mengelus-elus punggung dan perut istrinya. Ia seperti melihat masa depan dimana ada Juan yang tengah mengelus perutnya yang buncit. Ah, kapan angan-angannya itu akan menjadi nyata?
“Hai, ngalamun apa sih?”
Juan mengibaskan tangannya di depan wajah Shanaya. Perempuan itu tergeragap sebentar. Pemandangan di kamar Cempaka kembali melintas di benaknya. Ia setengah fokus menandaskan kopi susunya. Shanaya senang kali ini Juan tak banyak protes tentang masakannya saat sarapan tadi. Nasi goreng dan telur dadar. Biasanya lelaki itu menghujani masakannya dengan kritikan. Seolah-olah dia adalah Chef Juna yang terkenal itu. Kabar baik, Juan bahkan menghabiskan dua piring nasi lalu menyanderanya hingga berjam-jam.
“Nggak apa-apa,” jawab Shanaya berbohong. Ia melirik jam tangannya dan baru sadar jika sudah lima jam berada di kos lelaki itu. Entahlah, jika sudah bersama Juan, rasanya waktu bergulir begitu cepat.
“Aku balik dulu ya?”
Shanaya semakin panik ketika mendapati puluhan missed call di handphone-nya. Nama Tita pencetak rekor missed call terbanyak.
“Oh my God,” pekiknya sambil bangkit.
“Ada apa?”
“Nggak tahu nih. Mbak Tita nelpon mulu.”
Shanaya bergegas memakai jaket dan menyambar kunci motor. Perasaan tak enak tiba-tiba menyerangnya. Apa terjadi sesuatu dengan pasiennya?
Penyesalan memang selalu datang di akhir. Tak hanya menyesal, tapi Shanaya juga dicekam ketakutan. Pasalnya begitu kakinya menjejak kembali di halaman RB Bidan Eko, ia melihat berbagai macam keributan. Sebuah ambulan sudah siap di depan. Orang-orang berwajah panik tampak berlalu-lalang. Tergopoh-gopoh ia masuk ke dalam. Dengan segera Bidan Eko menyemburnya dengan sebuah teriakan.
————————-
RB : Rumah Bersalin.
PKL : Praktik Kerja Lapangan