Bendera Tauhid

Hiruk pikuk di Indonesia terutama melalui media sosial memang luar biasa, terutama kasus bendera yang bertuliskan kalimat tauhid. Terlepas dari tujuan aatau modus seseorang atau kelompok, kita benar benar prihatin terutama ujaran dan kata kata yang tidak berakhlak untuk menyudutkan golongan atau kelompok tertentu. Agama sebagai payung hukum dan akhlak terpuji seakan hilang dan yang tampak malah seakan akan menjelekkan pihak lain atas nama agama itu tidak menjadi masalah
Pertanyaan :
- Bolehkah membuat bendera yang bertuliskan tauhid dan sejenisnya?
Jawaban : Hukumnya Boleh tapi makruh ( الجواز مع الكراهة) namun bilamana bendera itu dilarang pemerintah, maka hukumnya menjadi Haram([1])
Referensi:
- Mughni al-Muhtaj juz 1, hal 38
- Al-Tibyan hal 172
- Tuhfatul Habib juz 1 hal 9
- Bughyah al-Mustarsyidin hal 91
- Lebih baik manakah bendera yang bertuliskan tauhid ataukah yang tidak ?
Jawaban : melihat hukum di item A, maka bendera yang biasa lebih baik daripada bendera yang bertuliskan tauhid dan sejenisnya.Referensi : idem A
([1]) Catatan yang berkembang dalam Bahtsu termasuk catatan penting Mushohhih :
- Keputusan ini benar benar netral, tanpa mendahulukan ormas tertentu. Itu bisa dilihat dari jawaban yang ada. Seandainya memihak, maka jawabannya pasti jelas.
- Dalam hokum asal membuat bendera, mestinya hukumnya mubah, tapi ini sudah masuk kasus bendera yang bertuliskan ismul muadzdzom ataupun ayat alqur’an. Tidak bisa kita anggap sepele, karena bendera bukan milik perseorangan tapi organisasi atau daerah sebagai symbol, maka kekwatiran untuk tersia siakan atau diletakkan ditempat yang tidak layak, itu pasti ada. Beda ketika menjadi milik sendiri. Maka hokum makruh adalah bentuk dari ikhtiyath disbanding hanya sekedar memilih pendapat.
- Membakar bendera, jika tidak netral, pasti jawabannya kalau tidak mubah, ya haram. Tapi musyawwirin terutama mushohhih tetap memberi gambaran hukum awal yang tidak boleh dihilangkan yaitu makruh karena penyelamatan mushaf dan sejenisnya tidak boleh langsung dibakar.
Kita tetap mempertimbangkan hokum positif Negara Indonesia dan kondusifitas masyarakat yang menjadi bagian dari maqosidus syariah.