Iklan
Cerpen

Bagai Pungguk Menjerat Bulan Part 2

Oleh: Elin Khanin

“Nga-ngapunten, Bu Nyai. Maaf, ini santri baru, Bu Nyai. Tolong dimaafkan. Biar nanti saya yang beri hukuman,” ucap lelaki berkacamata terbata—santri senior yang bertugas sebagai pengawas kelompok. Jika tidak salah dengar tadi namanya Kang Awan. Ya, Kang Awan. Dari suaranya, kentara sekali jika dia sedang menahan ketakutan. Sangat berbanding terbalik dengan sikap garangnya sebagai panglima MOS saat berhadapan dengan santri baru. Tatapannya saja menyapu tanah. Badannya dibungkuk-bungkukkan seperti seorang jongos menghadap tuan besar.

Berbeda dengan Salman. Meskipun wajahnya sedikit pucat akibat terkejut, sadar dengan siapa kini ia berhadapan, pasang matanya tetap menatap berani pada sosok yang kini menatapnya tajam. Badannya tetap tegak seperti patung Jenderal Soedirman.

Konten Terkait
Iklan

Betapa indahnya ciptaan-Mu, Ya Allah. Puja puji itu terus menggaung di benak Salman. Membuatnya seperti orang linglung dan sempat gelagapan saat Kang Awan menyodok lengannya sambil bersungut-sungut. “Pssst … pssst.” Kang Awan mendesis-desis, menghardik Salman lewat pelototannya, agar Salman segera membungkukkan badan seperti dirinya.

 “Oh—eh … Maaf,” ucap Salman lirih. Tapi setelah itu kedua matanya jelalatan lagi. Kembali menggilai salah satu bukti kekuasaan Allah yang terpampang di depan mata.

Hey, Salman, tundukkan pandanganmu pada sesuatu yang diharamkan. Sisi lain batinnya menceramahi. Loh, bukannya mengagumi kebesaran Allah lewat ciptaan-Nya itu justru sangat dianjurkan? Sisi lainnya lagi membenarkan. Terserah kau saja lah, Man.

Bu Nyai … Bu Nyai … julukan itu kembali berdenging-denging di telinganya. Salman tahu julukan itu untuk ibu pengasuh pesantren. Seorang perempuan yang menduduki kasta tertinggi bagai ratu sekaligus sebagai pengganti ibu bagi para santri. Begitu penjelasan dari salah satu santri senior.

Tapi … masa iya … ibu pengasuhnya masih sangat muda begini? Terlihat seumuran dengannya. Yang benar saja.  Salman ingin memberontak, ingin mengingkari fakta ini. Karena dalam bayangannya, seorang ibu pengasuh itu tak jauh beda dengan ibu tiri dan tak kalah mengerikan dari para penyihir. Meskipun perempuan di hadapannya ini juga cukup mengerikan seperti … Maleficent? Tapi tetap … arrrghhh tidak bisa dipercaya.

“Maaf, Bu-Bu Nyai. Ini tadi cuma tantangan MOS.” Kalimat itu lolos dari mulut Salman saat sebuah siku mengenai lengannya lagi.  Kang Awan langsung menoleh. Merasa perlu memastikan pendengarannya.

“Apa? Tantangan MOS?” geram Bu Nyai lagi. “Benar itu, Kang Awan?” tatapnya meminta penjelasan. Kang Awan yang menahan ketakutan semakin gelagapan. Merasa tak percaya ada pengurus yang berani memberikan tantangan itu. Di antara rasa gugup yang mendera, otaknya berpikir keras—bagaimana bisa semacam ini luput dari pengawasan para panitia.

“Eh, em … sa-saya malah tidak tahu ada tantangan seperti ini, Bu Nyai,” jawab Kang Awan takut-takut. Salman langsung menyipitkan mata, lalu menyerahkan sesuatu dari dalam sakunya. Bukti yang membuat Kang Awan dan Bu Nyai membeliak.

“Ini buktinya,” ujarnya sambil memampang kertas lusuh berisi tantangan itu.

Bu Nyai menghembuskan napas kasar sebelum berkata, “Kalian semua … menghadap saya nanti malam.” Lalu mengalihkan pandangan dengan cepat.

Jengah juga ditatap terus-menerus oleh bocah kurang ajar ini. Ingin marah tapi rasanya tidak etis. Ia harus mengendalikan emosinya jika tidak ingin marwahnya semakin anjlok di depan para santri. Ia harus bersikap elegan dan berwibawa seperti biasa. Menaikkan sedikit dagu mungkin tidak masalah daripada harus membalas tatapan bocah tengik di hadapannya. Huft … huft … panas.

“Nggeh, ba-baik, Bu Nyai. Maafkan kami sampai hal sekeji ini luput dari pantauan kami,” pungkas Kang Awan sambil menarik lengan Salman dari hadapan Bu Nyai.

Bu Nyai … Bu Nyai …

“Bu Nyai siapa namanya?” tanya Salman pada rekan-rekannya saat berjalan menuju kamar. Salmaaaan … sempat-sempatnya tanya nama. Pikirkan hidupmu yang sudah di ujung tanduk. Juga suasana yang belum kondusif akibat insiden yang membuat bumi Semarang gonjang-ganjing tadi.

“Woiiii … Salman … I love youuuuu,” seru salah satu santri senior, yang langsung disusul kekehan sana sini. Salman tahu itu adalah sindiran, tapi ia memilih untuk tidak ambil pusing. Dia justru membalas setiap sindiran dengan simbol “love” di tangannya.

 Ngidam apa ya dulu ibumu, Salman? Dasar bocah gemblung.

“Hahaha … bocah gendeng,” kekeh santri senior yang lain.

“Kang, keren sampean, santri baru tapi langsung viral,” sahut senior satunya lagi sambil menepuk pundak Salman. Dan Salman hanya cengengesan. Secara otomatis mengambil pose andalan. Jari telunjuk dan jempol terbentang di bawah dagu membentuk tanda centang.

 Jika ditanya siapa orang yang paling tidak punya beban? Ini dia … Salman Al-Farisi.

“Kalau berani, coba kamu ulangi adegan tadi tapi di depan Abah Yai,” tantang yang lain.

“Insyaallah … insyaallah,” ujar Salman enteng. Membuat rekan-rekannya geleng-geleng dan para senior terkekeh-kekeh.

“Salman … ikan salmon pemecah rekor. Hahaha.”

“Hahaha,” kekeh Salman, berusaha tak hirau dengan kehebohan di sekitar.

“Kenapa harus di depan Abah Yai?” tanyanya kemudian dengan nada menggumam, tapi tetap terdengar jelas di telinga teman-temannya.

“Ya, karena Abah Yai itu suaminya Bu Nyai Maryam. Bu Nyai Maryam itu istri keduanya Abah Yai. Beliau yang memimpin pondok cabang yang kita tempati sekarang. Perasaan udah dijelasin tadi di aula,” jawab Zulham panjang lebar.

“Ngantuk keknya Mas Salman,” sahut Edwin.

Salman langsung menatap Zulham tak percaya. “Hah? istri keduanya Abah Yai? Mau-maunya jadi istri kedua. Kenapa nggak jadi anaknya aja.” Salman terkejut bukan main.

“Husss … jaga mulut kau. Jangan suka sembrono,” sergah Edwin. “Tapi yaa … bener juga sih,” gumamnya terdengar kontradiksi. “Nah.” Salman merasa menang.

“Ya mungkin karena Abah Yai itu orang yang sangat pintar, mapan, alim, makanya Bu Nyai Maryam mau,” terka Aziel. “Kamu tahu Syeikh Puji nggak? Beliau juga satu dari sekian banyak Kiai yang punya istri lebih dari satu dan sempat kontroversi karena istri keduanya masih remaja.”

“Tapi masih banyak kok Kiai yang memilih setia dengan satu istri,” imbuh Aziel.

“Ya, kenapa kita malah berguru sama orang yang nggak setia?” Salman masih tampak heran.

“Kita nggak mau niru poligaminya, Bro. Sudahlah, tidak usah berasumsi hal yang bukan maqom kita. Ilmu kita belum ada apa-apanya dengan Abah Yai,” ucap Edwin sok bijak. 

“Gimana? berani nggak bilang I love you ke Bu Nyai Maryam di depan Abah?” timpal Aziel memutus perdebatan saat sudah mencapai pintu kamar. Selain satu kelompok MOS, mereka juga satu kamar. Tidak heran di hari pertama MOS sudah langsung dekat.

“Eeem … perlu dicoba keknya,” jawab Salman.

“Heh?!” Zulham melotot.

“Jangan nekat lagi, Mas, kalau nggak mau didepak dari pesantren,” ingat Edwin. Dia memang paling suka menasihati. “Ingat, nanti malam kamu harus menghadap Bu Nyai. Minta maaflah dengan benar.”

“Oke, Papa. Makasih atas nasihatnya. Ntar malam aku mau minta maaf. Sekalian pengen tanya sama Nyai Maryam, kenapa dia mau dijadikan istri kedua Abah Yai. Seputus asa itukah hidupnya? Kalau karena Abah Yai kaya, aku lebih kaya. Aku lebih ganteng.” Seketika kalimat itu mengundang beberapa pasang mata mendelik ke arahnya. Salman hanya menyeringai. “Piiisss, bercanda, Bro,” lanjutnya sambil mengacungkan jari telunjuk dan jari tengah.

“Maksud lo? lo pikir Nyai Maryam itu matre? Hanya mau bandanya Abah Yai? Lo pikir Nyai Maryam hanya mencari tampang?” Zulham geregetan.

“Apaan tuh banda?” Aziel menatap Zulham bingung.

“Harta, Cel.” Zulham makin geregetan. Salman dan Edwin terkekeh.

 “Ya … siapa coba yang nggak terpesona sama cewek secantik Nyai Maryam.” Salman berucap enteng.

“Astaghfirullah … Dasar dokter gila. Cewek … cewek dapurmu. Kamu baiknya ambil jurusan dokter jiwa aja deh, Kang. Biar kalau lagi kumat bisa ngobati diri sendiri,” saran Aziel. Membuat Salman tertawa terbahak-bahak. Sepertinya Aziel benar, setelah lulus, dia harus mengambil spesialis kejiwaan.

“Ingat, Kang. Secantik-cantiknya wanita kalau sudah bersuami, haram kita dekati. Apalagi wanita itu adalah istri dari Kiai kita sendiri. Jangan sampai kualat,” saran Edwin.

“Tapi kan Abah Yai udah tua.”

Ucapan Salman kembali mengundang pelototan dari teman-temannya.

“Kang!” bentak Zulham. “Emang kenapa kalau udah tua? Kamu ngarep jandanya Nyai Maryam?”

“Ya, kali aja kan. Kasihan masih muda,” ujar Salman.

“Kang, temenmu gini amat. Cepetan rukiah,” Aziel mengedikkan bahu. Membuat seringaian Salman semakin lebar.

“Udah laper pasti nih makanya jadi oleng. Ya kan, Mas?” Edwin melirik Salman.

“Masih banyak cewek cakep jomblo di luar sana. Kok malah ngarepin janda,” cibir Zulham.

“Janda itu lebih menantang, Bro,” sahut Salman.

“Eee … babinyeeee.” Refleks Zulham mengumpat.

Aziel geleng-geleng. “Lagian itu pengurus bisa-bisanya kasih tantangan begitu,” ucapnya sambil menyelonjorkan kaki dan melepas peci.

“Nah, aku juga bertanya-tanya, Kang. Soalnya tadi Kang Awan kelihatan kayak nggak tahu-menahu soal ini,” ungkap Salman.

“Loh kok? Apa ada yang nyelundupin kertas tantangan?” Zulham menerka-nerka. Salman mengedikkan bahu.

“Ya, bisa jadi ada yang nyelundupin atau memang ada pengurus atau panitia yang rese.” Edwin menyimpulkan dengan yakin.

“Kebetulan, yang dapet tantangan konyol itu orangnya kayak Kang Salmon ini. Ya udah …  klop,” sahut Aziel sambil mengangkat tangan. Zulham dan Edwin terkekeh.

“Ya, jelas-jelas yang salah pengurus. Jadi, jangan mau kalau ditakzir.” Zulham mengarahkan telunjuknya ke wajah Salman.

“Nggak apa-apa ditakzir asal takzirannya gantiin Abah Yai jadi suaminya Nyai Maryam,” gumam Salman dengan mata menerawang. Seketika tatapan tajam mengepungnya. Percuma memang ngomong sama orang gemblung. Benar kata Nyai Maryam, Salman ini santri yang tidak tahu diri. Lebih tidak tahu diri saat dia bangkit dengan handuk tersampir di pundaknya. “Gue nggak bisa dibuat penasaran kayak ini. Pokoknya ntar malem gue mau nanya sama Nyai Maryam, kenapa dia bisa mau dijadikan istri kedua Abah Yai. Gue yakin ada yang nggak beres,” ujarnya sok tahu.

“Kamu itu yang nggak beres,” gemas Zulham. “Mboh lah karepmu lah, Mon,” lanjutnya. Dia sudah speechless menghadapi teman barunya yang majnun itu.

“Sadar, Mas … sadar.” Edwin menatap prihatin.

“Beneran mau nanya gitu?” tanya Aziel sangsi.

——-

Notes:

Karepmu: terserah.

Iklan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Konten Terkait

Lihat Juga
Close
Back to top button
bandar togel ppidsulsel.net stmik-hsw.ac.id bprdesasanur.com sv388 https://pa-kualakapuas.go.id/ widyagama.org univpancasila.com klik88 provider game slot www.paramadina.org slot gacor klik88 slot gacor scatter hitam slot gacor idn situs slot gacor live casino online game slot slot gacor pg slot gacor malam ini slot pragmatic play link tok99toto tok99toto login slot scatter hitam bojonegorokab.net menpan.net www.latinseminary.org k86sport login slot gacor zeus slot gacor idn slot mahjong mudah jackpot slot gacor 4d https://smpn10kotasukabumi.or.id/