Kadar Bahagia itu Berbeda
Oleh: Inayatun Najikah
Minggu lalu saya tak menulis seperti biasanya. Namun kali ini saya ingin menuliskan sedikit unek-unek yang saya rasakan tentang fenomena beberapa hari terakhir ini yang tengah viral. Perdebatan antara Childfree Versus punya anak. Meski saya menyadari dalam tulisan kali ini pun pasti tak runtut layaknya seorang penulis pada umumnya. Maklum, saya masih ditahap belajar.
Childfree atau tanpa anak adalah kondisi dimana pasangan atau seseorang yang memutuskan memilih untuk tak memiliki anak. Keputusan ini ternyata mendapat respon yang beragam dalam masyarakat kita. Ada yang setuju dan tak setuju dengan alasan masing-masing. Perdebatan yang tak ada habisnya seperti halnya keputusan menikah atau tak menikah.
Anda dan kalian yang masih terkungkung dengan pemikiran zaman dulu pasti akan beranggapan bahwa keputusan childfree adalah keputusan yang salah. Sebab sejak dahulu kita selalu dijejali bahwa yang namanya pernikahan harus dan wajib memiliki keturunan. Jika ada pasangan yang memutuskan untuk tak memiliki anak, kita menganggap bahwa pernikahan mereka tak sempurna.
Pertanyaannya, sejak kapan pernikahan disebut sempurna disebabkan oleh hadirnya seorang anak? Bukankah keputusan ingin memiliki anak tau tak adalah hak preogratif masing-masing pasangan? Mengapa kita tak bisa menghargai sebuah keputusan yang berbeda dari masyarakat pada umumnya?
Saya pernah membaca sebuah postingan di beranda akun instagram saya mengenai hal ini. Disana disebutkan bahwa yang kerap luput dibicarakan mengenai topik childfree atau memiliki anak sebetulnya adalah masa depan anak-anak itu sendiri. Selain itu pemilik akun juga menuliskan bahwa apakah alasan para pasangan atau seseorang punya anak adalah sebab takut dicap mandul oleh masyarakat.
Saat saya membaca kalimat yang kedua tersebut, saya mengambil jeda kemudian merenung. Apakah hingga sampai sekarang masih ada yang berpikiran seperti itu? Hanya sebab takut mendapat cap dan label negatif dari masyarakat, sehingga sangat begitu mengusahakan untuk punya anak dan menyalahkan orang lain yang memilih tak memiliki anak.
Coba dibayangkan dan difikirkan mengapa kedua hal ini harus dibedakan dan menganggap yang tak punya anak adalah yang buruk dan yang punya anak adalah yang terbaik. Apakah kedua hal ini tak bisa beriringan untuk sama-sama menciptakan suasana yang damai di lingkungan masyarakat? Mengapa kita selalu mengotak-otakkan dua hal yang berbeda lalu kamudian memberikan nilai sesuai keinginan kita?
Sudah ya. Perdebatan soal mengurusi privasi orang lain memang tak ada habisnya. Karena terkadang kita lupa bahwa masing-masing manusia ini punya hak untuk memilih dan menentukan apapun tentang prosesnya menjalani kehidupan. Kita tak perlu ikut campur apalagi dengan seenaknya memberikan justifikasi negatif kepada yang bersangkutan. Sebab bahagia satu dengan lainnya tentu sangatlah berbeda. Sekian.