Menjadi Kaya seperti Tuhan

Oleh: Maulana Karim Sholikhin*
Amou Hajj, pria asal Iran yang memegang gelar juara dunia sebagai manusia terkotor akhirnya meninggal dunia pada 23 Oktober lalu. Pria renta ini disinyalir sudah 60 tahun tidak mandi, sebab ia haqqul yakin bahwa jika dia mandi, maka akan mati.
Tak hanya absen mandi selama enam dekade, kebiasaan hidup Amou Hajj juga kotor. Ya, letterarry ‘kotor’. Dikutip dari Liputan6, ia sering minum dari air kotor dan doyan makan daging busuk.
Namun yang menjadi sorotan, justru penyebab kematiannya. Amou Hajj meninggal setelah dipaksa mandi di sungai oleh warga sekitar.
Tak ayal fenomena ini menjadi perbincangan sekaligus dalil, terutama bagi kaum rebahan malas mandi. Jika benar, realita ini bukan hanya aneh, tapi juga kontradiksi dengan teori kebersihan ala nabi dan medis.
Sekilas memang seperti itu, tapi nyatanya tidak! Keyakinan Amou Hajj yang tertanam sejak ia muda, akhirnya mengantarkannya pada kenyataan pahit, kematian. Yups! Amou Hajj mati akibat sugestinya sendiri, bukan karena mandi.
Sejurus dengan Amou Hajj, penulis punya pengalaman mirip. Seorang teman pernah bercerita tentang kematian mertuanya.
Si Mertua punya keyakinan kuat bahwa rokok adalah bagian integral dari hidupnya. Ia tak mungkin bisa hidup tanpa rokok.
Namun sarjana kedokteran yang menangani penyakit jantungnya berkata lain. “Bapak harus berhenti merokok jika mau sembuh. Fardhu ‘ain!,” gertak Si Dokter.
Karena sayang bapak, anak-anaknya menyuruh pak tua ini untuk sami’na wa atho’na apa kata dokter. Akhirnya, kegelisahan menerpa Si Bapak selama tiga bulan.
Pak tua itu pun selamat dari penyakit jantung, namun tak bisa lolos dari lingkaran alam bawah sadar yang terpatri sejak lama. Ia akhirnya meninggal karena sugesti ‘fadhilah’ rokok bagi dirinya, bukan karena berhenti mengisap benda itu.
***
Nah, dua kejadian ini relate dengan sebuah esai panjang dari situs online Ghrasia (RSJ Jogja yang terkenal itu). Artikel berjudul ‘Sukses dengan Pikiran Bawah Sadar’ tersebut, menyebut bahwa jika fikiran subjektif atau alam bawah sadar memikirkan hal-hal baik, maka hal-hal baik akan mengikuti kita, begitu pun sebaliknya. Dari sini kita faham, betapa kuatnya sugesti dalam alam bawah sadar.
Dari situ pula penulis mulai berandai-andai, bagaimana jika Manusia Indonesia mampu merekontruksi alam bawah sadarnya bahwa ‘kaya’ dan ‘sukses’ sama dengan sehat wal ‘afiyat, iman tebal dan bermanfaat bagi sesama. Itu saja!.
Tidak perlu embel-embel sarjana, rumah mewah, punya mobil, pekerjaan tetap, terlihat mapan dan bla bla bla. Supaya apa? Supaya mental kita tidak ‘terbunuh’ oleh sugesti.
Memang sulit! Sebab, puluhan tahun Manusia Indonesia dipertontonkan kekayaan membabi buta. Mulai dari televisi hingga yang teranyar, kanal-kanal youtube isinya orang kaya semua. Masyarakat diajari hubbud dunya lewat media.
Pejabat publik tak ada yang naik Suzuki Carry atau pakai motor Beat pas ngantor. Semuanya tampak mewah dan serba mahal.
Tontonan kita di YouTube, macam Mbak Andin, mas Rafi Lek Baim atau Gus Atta. Sehingga fikiran kita menangkap bahwa standar hidup baik ya seperti itu, harus kaya raya, terlihat mapan dan tersohor.
Sekali lagi, sulit untuk merubah mindset yang sudah berkholwat puluhan tahun dalam benak kita. Tapi jika mau, mungkin kita bisa mulai dari diri sendiri.
Kembalilah pada makna, jangan terlalu sibuk dengan bungkus, begitu kata Sufi. Dari nasihat ini, sudah saatnya kita merevisi makna kaya.
‘Kaya’ dalam bahasa Arab diartikan sebagai ‘ghaniy’. Secara harfiyah, bermakna ‘tidak butuh’.
Tuhan maha Kaya, karena Dia ‘tidak butuh’. Tidak butuh kekayaan, tidak butuh makhluk-Nya, tidak butuh rumah mewah, mobil keren, gelar sarjana, jabatan tinggi, posisi strategis, popularitas dan tidak butuh pengakuan. Kalau Tuhannya bisa kaya dengan cara itu, kenapa hamba-Nya tidak?.[]
*Penulis merupakan pendidik di Ponpes Shofa Az Zahro’ dan MI Hidayatul Islam (MHI) Gembong-Pati