Selamat Menghadapi Hal Baru
Oleh: Inayatun Najikah
Euforia pergantian tahun telah usai. Kini saya dan anda kembali menjalankan rutinitas seperti biasanya. Bangun pagi lalu berangkat bekerja lalu pulang untuk istirahat dimalam hari. Sebetulnya tak ada hal yang baru dan istimewa, bukan. Namun mengapa momentum dan euforia tahun baru tampaknya selalu dipandang sebagai hal yang sakral dalam menyongsong pencapaian-pencapaian yang telah direncanakan.
Sebelum saya berceloteh panjang lebar, izinkanlah saya mengucapkan selamat melanjutkan perjalanan hidup untuk anda sekalian. Selamat karena telah berhasil melewati tahun 2024 dan sekarang berada diawal tahun 2025. Tentu aktivitas yang dijalani sama dengan tahun sebelumnya. Meski begitu selalu ada pembelajaran untuk dijadikan pertimbangan dalam memutuskan suatu hal pada tahun yang sedang berjalan ini.
Momen tahun baru banyak dimanfaatkan sebagian besar orang untuk menulis dan merangkai keinginan-keinginan untuk segera tercapai di tahun ini. Pada masa yang serba cepat dan instan seperti ini, diharapkan mampu memenuhi segala hasrat dan keinginan tersebut. Ada yang ingin segera melepas status singgelnya, ada yang ingin segera meraih jabatan teratas, ada yang ingin segera memiliki harta dan kekayaan tak terbatas, atau ada juga yang ingin segera menjadi orang terkenal tanpa mempertimbangkan kapasitas dirinya.
Selain melihat berbagai keinginan tersebut dari sisi materi, tak ayal disisi yang lain pun tampak diharapkan untuk segera terwujud. Ingin menjadi orang yang paling pemaaf, ingin menjadi orang yang tekun beribadah, atau juga ingin menjadi seorang pendakwah yang merangkul banyak jamaah. Semuanya ingin segera terwujud pada tahun ini sebelum tiba pada pergantian tahun yang akan datang.
Saya pribadi melihat hal semacam ini merasa lelah dan prihatin. Semuanya bekerja keras siang dan malam serta menghalalkan segala cara untuk segera mencapai keinginan yang diidamkan. Bahkan saling sikut satu sama lain, tak perduli siapa dan bagaimana etika yang seharusnya dijalankan.
Ahh jangan-jangan ini hanya fikiran saya yang terlalu negatif. Sedangkan kenyataannya bukan seperti itu. Tapi ya tidak menutup kemungkinan juga hal-hal diatas sebetulnya sudah terjadi ditengah kita.
Menurut data WHO, prevalensi gangguan mental di Indonesia mencapai 9,8% pada tahun 2021, dengan angka depresi mencapai 6,6%. Salah satu faktor kesehatan mental adalah stres. Beban kerja yang tinggi, masalah keuangan, dan situasi sosial yang tidak kondusif dapat memicu stres yang berlebihan. Dan hal dasar yang mempengaruhi hal ini adalah rendahnya kemampuan diri dalam mengontrol keinginan-keinginan yang muncul ditengah arus cepat globalisasi seperti saat ini.
Maka apa yang seharusnya dilakukan?
Pertanyaan itu hanya masing-masing yang mampu menjawabnya. Saya yakin pada setiap kita memiliki garis batasan apapun yang kita lakukan. Toh kebutuhan setiap orang berbeda. Persamaannya adalah tolak ukur dalam menjalani perjalanan hidup ini, yaitu tidak merugikan dan menyakiti orang lain.
Tentu memiliki keinginan itu diperbolehkan. Bahkan sangat dianjurkan untuk melanjutkan perjalanan hidup ini. Tetapi mbok ya keinginan itu diimbangi dengan kualitas dan kapasitas diri. Jangan buru-buru dan jangan terlalu memaksa dengan berbagai segala cara yang jahat.
Tampaknya saya terlalu bertele-tele tanpa memberikan solusi yang konkrit yaa. Sebab saya sendiri masih dalam proses belajar untuk menikmati dan menjalani hidup ini dengan apa adanya. Sedang pula belajar menerima bagaimana dan apa yang telah diberikan Tuhan.
Mengakhiri tulisan ini, saya ingin mengingatkan bahwa ada pepatah jawa, alon penting kelakon. Pelan asal sampai tujuan. Selamat tahun baru. Terimakasih sudah membaca.