Iklan
Kolom

Beda Puasa Nabi dengan Ummat Masa Kini


Oleh: Maulana Karim Sholikhin*

Tahun ke-6 Hijriyah, terjadi kesepakatan antara Nabi Muhammad SAW. (Kaum Muslimin) dengan Kaum Kafir Quraisy di daerah Hudaibiyah, tepian Makkah. Dalam ar Rahiq wal Makhtum milik Syaikh Shafiyyur Rahman al Muarakfuri, berkisah tentang ‘puasanya’ Nabi dalam perjanjian tersebut.

Mulanya, Nabi memandatkan Ali bin Abi Thalib untuk menulis kesepakatan. Ali membuka perjanjian dengan kalimat, “bismillahirrahmaanirrahim,”

Iklan

Sontak, Suhail bin Amr yang mewakili antagonis Makkah menolak mentah-mentah garapan Ali ini. Ia menepis basmallah dan meminta Ali mengantinya dengan bismika Allahumma. Sepupu nabi pun wadul ke empunya.

“Kados pundi ini Kanjeng Nabi? Suhail minta basmallahnya dihapus, je,”

“Yo wis, hapus saja, ganti bismika Allahumma. Gitu aja kok repot,” begitu kira-kira kata nabi. Ali pun mengangguk mengiyakan. Lalu nabi Muhammad mendikte Ali dengan mukaddimah, “ini adalah perjanjian yang dibuat oleh Muhammad Rasulullah.”

Saat Kembali, lagi-lagi Suhail merevisi. Ia menolak redaksi ‘Rasulullah’. Ali dengan kecewa, meminta pertimbangan Nabi Muhammad. Namun di luar dugaan, Nabi Muhammad ngglidik saja apa kata Suhail.

“Ganti saja Muhammad bin Abdullah,” kata nabi.

Nah, pada momen ini, situasi agak memanas. Kaum muslimin ‘hampir’ tidak sepakat dengan keputusan nabi. Mereka berasumsi bahwa martabat islam sedang diinjak-injak serendah-rendahnya, ambles bersama cacing-cacing. Umar bin Khotthob muntab, Abu Bakar menenangkannya. Bahkan, Ali bin Abi Thalib yang selama ini selalu manut Nabi, menolak menghapusnya. Nabi Muhammad pun menghapus redaksi ‘Rasulullah’ dengan tangannya sendiri.


Peristiwa ini memvisualisasikan bagaimana cara nabi “berpuasa”. Alih-alih nuruti ego untuk menolak semua tuntuan Suhail, Nabi Muhammd justru tidak melakukannya. Beliau puasa dari segala emosi, syahwat gelar dan kehormatan sesaat.

Hasilnya, Islam ‘menang’! Ya, manang! Selama bertahun-tahun Rasulullah dan para pengikutnya digencet habis-habisan oleh kebiadaban Kafir Quraisy. Tidak ada yang peduli dengan harga diri apalagi kemanusiaan. Hal-hal terburuk yang bisa dilakukan terhadap islam, mereka lakukan.

Akantetapi, barokah “puasanya” nabi dari segala bentuk kerakusan duniawi, legitimasi kerasulan dan egoisme agama, Kaum Kafir Quraisy akhirnya mengakui keberadaan Islam, berdiri sama tinggi dalam Perjanjian Hudaubiyah. Bahkan mereka juga memperhitungkan (aslinya takut) dengan kekuatan Islam sehingga memilih jalan islah daripada bacok-bacokan.


Nabi ‘berpuasa da’im’ selama hidupnya. Setiap harinya, derap langkahnya, bahkan setiap hela nafasnya adalah puasa. Bedanya, puasa kita hanya menghentikan makan-minum, sebat dan ah uh sama istri, tidak lebih. Sementara nabi puasa dari amarah dan doa-doa buruk untuk para rivalnya. Puasa dari angkara murka terhadap perbuatan keji yang dilakukan orang-orang kafir dan puasa dari memaksakan diri untuk dihormati orang lain.

*Penulis merupakan pendidik di Ponpes Shofa Az Zahro’ dan MI Hidayatul Islam Gembong-Pati

Iklan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Konten Terkait

Back to top button