My Lovely Chan
Oleh : J. Intifada
Bertemu denganmu hanya selalu lewat mimpi. Tak terhitung lagi berapa kali aku memimpikanmu. Kapan lagi aku akan bertemu denganmu. Aku berpikir, tak akan bertemu denganmu lagi. Meski dalam mimpi setidaknya telah melegakan hati.
Masih menjadi misteri. Kenapa kamu. Padahal kita hanya bertemu sekali saat seminar bahasa Mandarin. Kamu bersama Aldo. Temanku di kelas bahasa. Aldo memperkenalkanmu sebagai teman SMA di sekolah kebangsaan yang hanya ada siswa dari etnismu saja.
Sekali kita duduk bersebelahan. Sesekali aku bertanya padamu arti dari bahasa Mandarin yang tak ku mengerti. Dengan halus kamu mengajariku. Cara pegucapan dari bahasa ini tidak ada yang sama walau tulisannya hampir mirip.
Aku keturunan Jawa asli sangat kesulitan dalam mempelajarinya. Kamu bercerita, dari kecil kamu sudah belajar bahasa Mandarin. Bahkan bahasa sehari-harimu ketika berada di rumah adalah bahasa tersebut. Aku sedikit terkagum. Juga tak heran karena memang kamu dari keturunan negeri bambu itu.
Aldo sama denganmu. Tetapi entah kenapa, aku tak pernah tertarik dengannya. Sedangkan denganmu hanya sekali kita bertemu dan berkenalan, sepertinya sudah mengenal lama.
Beberapa kali ketika pulang dari kampus, aku mencoba memutar melewati kampusmu. Siapa tahu kamu sedang duduk-duduk di depan kelas atau sedang berjalan pulang. Tiap hari aku pergi ke kampus juga sengaja berjalan lewat depan kampusmu. Lumayan cukup jauh. Tapi tak masalah bagiku.
Sepekan dua pekan tak mendapatimu ada di kampus. Engganku ingin bertanya pada Aldo. Aku takut dia tahu aku tertarik padamu. Aku mulai menyerah untuk mencarimu. Mencoba melupakan pertemuan kita saat itu. Kembali beraktifitas seperti biasa.
Tak banyak yang bisa aku lakukan. Biasa mahasiswa kupu-kupu. Yang habis kuliah pulang ke kost. Sesekali diajak perkumpulan Himpunan Mahasiswa Jurusan. Belajar tentang bahasa mandarin. Aku semakin tertarik mendalaminya. Mungkin juga karena kamu.
Sesaat sebelum pulang dari seminar itu, kamu menanyakan padaku. Kenapa memilih bahasa mandarin? Aku tergagap. Tak menyangka kamu akan menanyakan hal itu.
“Mungkin agar bisa bertemu denganmu di forum ini.” jawabku bercanda
Kamu sedikit tertawa. Tak menyangka bahwa aku akan menjawab dengan gurauan. Setelah itu kamu tidak menanyakan lagi dan pamit pulang ke rumah. Iya rumah. Bukan kost. Kamu warga asli ibu kota, Semarang. Sekilas kamu menyebut tempat tinggalmu dekat Johar. Aku tak menanyakan detail lagi rumahmu. Karena tak mungkin aku datang ke rumahmu. Siapa pula yang akan berteman denganku.
Aldo sepertinya tahu. Beberapa hari aku terlihat di kelas. Menanyakan padaku kenapa tak seperti biasa. Aku tersenyum kecil dan menjawab tak ada masalah yang berarti. Ingin sekali aku bertanya bagaimana kabarmu. Tetapi suara seakan tertahan.
Hingga suatu hari saat kita mempunyai tugas untuk wawancara warga lokal yang menggunakan bahasa mandarin, aku buru-buru mengangkat tangan tetapi si Aldo keduluan bicara.
“Gimana kalau temanku? Dia masih menggunakan bahasa mandarin sehari-sehari dirumah.”
“Oh yang kemarin ikut seminar itu sama kamu?”
Aldo mengiyakan. Ya siapa lagi kalau bukan kamu. Teman-teman menyetujui. Akhir pekan kita akan ke rumahmu. Kamu tahu bagaimana ekspresiku saat ini. beberapa hari aku bersemangat mengumpulkan pertanyaan dan mempelajari kosakata. Berlatih cara pengucapannya dengan teman ku yang lain.
“Kamu semangat sekali Er ?”
Aku tersipu. Tak mungkin aku mengatakan bersemangat bertemu denganmu. Dalam hati aku ingin terlihat pandai di hadapanmu. Aku juga ingin menjawab pertanyaanmu yang belum ku jawab. Kenapa aku memilih bahasa mandarin.
Tiga jam sebelum berkumpul ke rumahmu, Aldo mengajakku mencari buah tangan. Iya masa kita bertamu ke rumahmu tidak membawa apa-apa. Adat jawa biasa seperti itu. Membawa sesuatu ke tuan rumah. Aku yang mengusulkan. Sebagai tanda terima kasih kita karena keluargamu mau diwawancarai. Aldo dan teman-teman tidak menolak. Bahkan dia yang menawarkan diri untuk mengantar membelikannya.
“Biasanya apa? tanyaku
“Terserah saja.”
“Kalau parcel buah?”
Kami berempat sudah patungan. Aldo menjemputku di kost ke toko buah dekat kampus. Kami memilih parcel yang besar. Aldo memilihkan buah-buahan kesukaan papa mamamu. Aku menurut saja dibelakang Aldo sambil sesekali melirik arloji. Satu jam lagi kita berjanji berkumpul di depan gerbang kampus untuk berangkat bersama ke rumahmu.
Di depan rumah, kamu sudah menunggu kedatangan kami. Kaos merah celana levis membuatmu semakin tampan. Aku tak bisa menyembunyikan kegembiraanku. Inginku berlari memelukmu, tetapi aku tahu batas. Itu tidak pantas.
Aku senyum-senyum sendiri sesaat memasuki gerbang rumahmu. Kamu seraya berdiri meletakkan buku filsafat yang sedang kau baca. Sekilas aku membaca tulisan di sampulnya, buku tentang filsafat barat. Kamu melihatku dan menjabat tanganku.
“Hey ketemu lagi.”
“Iya. Senang sekali.” Ku coba atur napas dan nada bicaraku agar tidak terlihat antusias. Kamu tersenyum dan mempersilakan kami masuk.
“Zǎo shang hǎo” sapa papamu sambil menyalami. Papa mu mempersilakan kami duduk dan ibu mu datang membawa baki minuman. Aku menyerahkan parcel kepada ibumu. Dengan senang hati diterimanya dan mengatakan tak perlu repot-repot.
Selanjutnya acara perkenalan. Orang tuamu sangat welcome. Tak membuat segan dan selalu bisa mencairkan suasana. Menanyakan asal kita, bagaimana kuliah kita, bagaimana rasanya hidup di perantauan. Seperti bukan sedang menyelesaikan tugas karena papamu sangat suka bercanda. Kita sangat senang dan tak terasa telah menyelesaikan semua pertanyaan.
Saking asyiknya tak terasa telah selesai semua pertanyaan yang kita berikan. Papamu malah meminta pertanyaan tambahan lagi. Kita semua tertawa dan merasa ini lebih dari cukup. Akhir dari tugas ini, kata penutup dari papamu.
“Kami hanya tidak ingin melupakan bahasa leluhur kami. Untuk itu sebisa mungkin bahasa sehari-hari dirumah ini menggunakan bahasa mandarin. Bukan kami tak mencintai negeri ini. kami sangat mencintai negeri ini. kami lahir dan dijamin hak yang sama. Kami juga belajar bahasa indonesia dengan baik dan benar.”
Aku mencatat semua yang papamu katakan. Sambil merekam di dalam memori. Apa yang beliau sampaikan penuh dengan arti. Selain membahas bahasa mandarin, papamu juga menceritakan tentang tempat tinggalmu ini. Rumahmu cukup sederhana bagi ukuran orang chinese. Dalam bayanganku, kamu terlahir dari keluarga kaya. Aku pikir memang benar kamu kaya hati.
Papamu lahir dan hidupnya dihabiskan dirumah ini. banyak kenangan yang terukir di setiap rumah. Papamu sengaja tidak banyak merenovasi, agar kelak anak cucunya bisa mengetahui sejarah hidup dari leluhurnya.
Selesai wawancara mamamu menjamu kita dengan makan siang. aku dan teman-temanku saling melirik. Aldo seperti tahu apa yang kita khawatirkan. Dia berbisik dan mengatakan aman. aku masih tak percaya. Aldo pun menjelaskan. Walau keluarga keturunan asli, tetapi sangat menghormati adat disini. Tidak makan babi dan memelihara anjing. Aku baru menyadari di rumahmu hanya ada kucing.
Selesai pertemuan itu, tak ada lagi pertemuan denganmu. Mimpi bertemu denganmu pun tak ada lagi. Aku hampir sudah lupa denganmu. Hingga kita tak sengaja bertemu papasan di ATM. Aku melihatmu di dalam ruangan bersama wanita. Kalian terlihat akrab saat mengeluarkan uang dari mesin atm.
Apakah itu kekasihmu? Kenapa Aldo tidak bercerita bila kamu sudah punya pacar. Wanita itu keluar dan kamu masih di dalam untuk melakukan transaksi lagi. Teman wanitamu melihatku mengantri. Dia menyapa dan bertanya apakah aku akan ambil uang. Aku mengangguk dan buru-buru masuk. Menutup pintu ruangan dengan gugup. Aku takut kamu mengenaliku.
Di ruangan ber ac yang ada dua mesin atm itu, kita berdiri berdampingan. Ku coba menguasai diri untuk tidak salah tingkah. Aku bisa mengontrol diri, tapi tidak di dalam hati. Ku rasakan jantungku berdegup lebih cepat. Inginku menyapa, namun enggan. Kita seperti tak saling mengenal. Selesai mengambil uang, kamu terlihat menghampirinya. Ku pandangi kalian dari balik kaca dan berseru dalam hati.
”Kenapa aku deg-degan.”