Islam Agama Nurani
Oleh: Maulana Karim Sholikhin*
Malam takbir Idul Qurban mengingatkan pelajaran Fiqih di madrasah tempo dulu. Seorang guru menjelaskan binatang yang sah digunakan qurban, di antaranya, genap usianya dan tidak cacat fisik. Step berikutnya, kalau bisa ya yang jantan, berbadan besar dan lain sebagainya.
Intinya, carilah binatang terbaik di kelasnya. Kalau domba ya domba terbaik, kalau kerbau ya kerbau terbaik, pun sapi atau kambing. Tentu hal ini disesuaikan budget Si Empunya.
Lantas kenapa penulis memgenang masa lalu itu? Begini ceritanya! Lantunan takbir yang mendayu-dayu malam ini membawa suasana yang sangat damai. Semua memori masuk dalam kesejukan malam penuh bertabur takbir di sana-sini.
Tiba-tiba terbesit sebuah nasihat dari guru fiqih tadi. Penulis kemudian menariknya panjang-panjang dan mengambil kesimpulan, bahwa jika sudah niat berkorban memang harus merelakan dan mengupayakan yang terbaik. Bukan alakadarnya.
Penulis tarik lebih jauh lagi, kalau berjuang untuk agama, lembaga dan organisasi atau lingkup lain yang memerlukan pengorbanan, maka kita kudu melakukan yang terbaik. Begitulah nasihat qubran. Itu pertama!
Ke dua, dalam perenungan panjang, penulis menyadari bahwa fiqih bukan hanya soal benar-salah, halal-haram, dan tetek mbengeknya yang bersifat saklek. Lanjut, lewat fiqih qurban, penulis belajar bahwa ada ‘nurani’ di situ.
‘Addhimuu dhohaayakum’! (Berkurbanlah dengan binatang yang gede!), begitu pesan Nabi SAW. Supaya apa? Supaya semua kebagian kebahagiaan, ketularan senyum. Nurani is number wahid!.
Dari hal kecil ini kita belajar bahwa, jika fiqih dilinierkan dengan syariat, artinya, yang ada dalam syariat adalah nurani, nurani, nurani. Agama Islam Agama Nurani (meminjam istilah Gus Dhofir Zuhri).[]
*Penulis adalah Pendidik di Ponpes Shofa Az Zahro’ dan MI Hidayatul Islam