Jodoh Buat Bu Bidan Cantik

Oleh : Elin Khanin
Chapter 3
————————
“Bayinya kejang,” ujar Bidan Eko lirih.
“Kejang?” pasang mata Shanaya seketika membola. Ia merasa setiap tetes darahnya tersedot surut ke hulu jantung. Ini ilmu baru lagi baginya—bahwa tanda bayi kejang adalah ketika tangannya reflek bergerak dengan palpebra berkedip cepat.
Mulutnya langsung terkatup rapat begitu Bidan Eko meletakkan telunjuknya pada bibir, memberi isyarat agar Shanaya melirihkan suaranya. Tadi saja Bidan Eko susah payah memberi pengertian pada istri Pak Hendri tersebut terkait kondisinya yang mengharuskan di rujuk. Bu Kurniasih tidak boleh terlalu stres dan cemas jika tahu bayinya sedang mengalami kejang. Apalagi ia baru saja melahirkan. Bidan Eko pasti sudah sangat hafal jika ibu baru melahirkan rawan terkena baby blues atau pospartum depression—jika orang-orang sekitar tidak pandai menjaga perasaan.
“Bayinya juga harus dirujuk. Minta Pak Hendri melakukan KMC, Mbak.”
Shanaya mengangguk dan tahu apa yang harus dilakukan. Ia segera mengarahkan Pak Hendri agar memberi kehangatan untuk bayinya melalui kontak kulit pada kulit atau yang disebut KMC (Kangoroo Mother Care). Karena Bu Kurniasih sedang dibawa ke ambulance dan masih harus menerima perawatan, maka KMC bisa digantikan ayah, keluarga dekat atau tenaga medis. Lelaki itu menurut, lalu mendekap bayinya dengan frog position setelah sebelumnya digendong terlebih dahulu dengan jarit. Untung saja Pak Hendri mengenakan kemeja bukan kaos oblong, jadi bisa lebih mudah melakukan metode KMC tanpa harus membuka semua bajunya.
“Sa-saya ikut ke rumah sakit nggak, Bu?” tanya Shanaya.
“Nggak usah. Tunggu disini aja. Layani pasien yang lain. Jangan coba-coba kabur lagi loh! Mbak Tita ayo berangkat!”
Ada perasaan perih menyusup perlahan di hati Shanaya saat mendengar kata “kabur” dari mulut Bidan Eko. Meskipun itu benar—dia keluar tanpa izin alias kabur, tetap saja ia merasa tersinggung. Sepertinya kali ini ia harus benar-benar menyesali tindakannya.
Dengan murung ia pandangi punggung mobil ambulance yang membawa Bu Kurniasih dan bayinya menuju rumah sakit hingga lenyap di balik pagar besi. Sirine ambulance yang meraung-raung membelah jalan raya itu terasa seperti lolongan serigala di tengah malam. Begitu mencekam dan meresahkan benak Shanaya.
“Darimana sih, Mbak?” tanya Ratih sambil berbisik.
Shanaya hanya menggeleng lalu dengan langkah gontai menuju ruang periksa. Setengah fokus ia melayani pasien. Benaknya dipenuhi dengan berbagai penyesalan. Seandainya dan seandainya, tadi ia cukup memasak untuk Juan tanpa mengindahkan ajakan obrolan yang cenderung tidak penting oleh lelaki itu. Tapi apa daya, nasi sudah menjadi bubur. Ia memang selalu terpedaya oleh Juan hingga waktunya tersedot sia-sia.
Shanaya hanya mampu berdoa Bu Kurniasih bisa tertangani dengan baik dan sembuh lebih cepat. Resiko lain apapun nanti harus siap ia hadapi. Seperti resiko dia yang diam-diam pagi tadi menemui Juan di kos lelaki itu padahal sudah dilarang keras oleh kedua orang tuanya. Akibatnya ia harus mendapat semprot lagi oleh sang ayah. Mungkin Shanaya lupa jika ayahnya adalah Pak Kades yang punya banyak intel dan mata-mata.
Baru saja ia menyelonjorkan kaki di kamar setelah selesai dari tugas di ruang periksa, handphone-nya kembali berderit-derit. Sengaja ia tadi letakkan handphone di kamar agar bisa fokus dengan pekerjaan tanpa ada gangguan. Tahu-tahu sudah ada puluhan missed call. Salah satu dari Juan dan sekarang nama “Ayah” tertera pada layar. Shanaya menarik napas sebelum menggeser tombol hijau.
“Halo, assala ….”
“Shanaya!!! Kemana saja seharian?!”
Shanaya sedikit menjauhkan ponsel dari telinganya setelah suara bak halilintar itu terdengar.
“Ya di tempat PKL lah, Yah.”
“Bohong,” sahut Pak Ridwan, ayah Shanaya.
“Kamu nyamperin Codot itu lagi?”
“Sha baru aja kelar tugas periksa, Yah.”
“Kamu kira ayah tidak tahu tadi pagi kamu ke kosnya Codot?”
Shanaya menghembuskan napas jengkel. “Dia bukan Codot, Yah.”
“Yo kono! Belo teros … belo teros!”
“Sabar, Yah … sabar.” Terdengar suara halus di sela-sela suara murka Pak Ridwan. Shanaya tahu itu pasti Ibunya.
“Apa namanya kalau nggak Codot yang sukanya ngerokoti milik orang lain? hem? Sing senenge merugikan orang lain? Sudah berapa kali ayah bilang jauhi lelaki itu. Kok mau-maunya kamu jadi budak lelaki pengangguran macam itu!”
Sudah tak ada gunanya lagi berdebat. Apapun yang akan keluar dari mulutnya pasti tedengar salah di telinga sang Ayah. Shanaya hanya terdiam. Kepalanya serasa berdenyut.
“Kamu sudah mencoreng nama baik keluarga. Mencoreng nama baik Ayah. Berita pacaranmu dengan Juan sudah ramai diperbincangkan. Kamu ndak tahu perasaan Ayah sama Ibu. Sakit, Sha. Sakit anaknya dikira berzina. Apa memang kamu sudah berzina?”
“Haaa? Enggak, Yah!” tampik Shanaya cepat.
“Ayah iki lho takut banget, Nduk. Ayah takut kamu hamil duluan. Orang-orang itu sudah mengira begitu. Kamu hamil lah, kamu cewek gatelen lah, kamu sudah di edanke Juan lah.”
“Astaghfirullah, Yah.”
“Ayah nggak mau tahu. Pokoke kamu segera menikah. Ayah nggak mau anake ayah iki di omong-omongke elek terus. Ayah ndak mau.”
Air mata Shanaya menitik. Ia tahu di balik suara serak itu ada luka serupa sayatan di hati ayahnya. Ia tak mengira akan seperti ini imbasnya.
“Tapi, Yah.”
“Nggak ada tapi-tapian! Sudah nggak ada toleransi. Sudah berapa tahun Codot itu njajah kamu, hem? Pernah ndak dia berani menghadap ayah? Berani ndak dia nembung ke ayah?” tantang Pak Ridwan.
“Tapi Juan masih kuliah, Yah,” kilah Shanaya.
“Masih kuliah, belum kerja sudah berani macari anak orang? Memang Codot itu si Juan.” Amarah Pak Ridwan semakin menjadi-jadi.
Shanaya kembali menghembuskan napas. Wajah tampan Juan menari-nari di pelupuk matanya. Janji-janji manis lelaki itu berdengung-dengung di telinganya. Ayahnya benar, sudah hampir tujuh tahun hubungan itu berjalan, tapi tak sekalipun Juan memberi kepastian. Dari sejak SMA sampai masa kuliah hampir habis. Jika memang cinta seharusnya pernikahan bukan penghalang putusnya rantai pendidikan. Belum bekerja seharusnya ada usaha bagaimana caranya bisa mendapat pekerjaan. Selama ini Juan bahkan tak pernah menampakkan kesungguhan itu. Tapi anehnya, Shanaya tetap saja cinta.
“Pokoke kamu nikah. TITIK! Kalau masih nggondeli Codot itu lupakan kamu punya Ayah! Lupakan kamu punya Ibu!” tegas Pak Ridwan dengan sisa-sisa stok kesabaran.
“Ya sudah, Yah. Sekarang terserah Ayah mau bagaimana.”
“Kamu nikah sama calon pilihan Ayah.”
Shanaya sudah tak mampu menjawab lagi. Ia hanya bisa berdoa ayahnya tak benar-benar berniat menikahkannya secepatnya. Tapi tetap saja seberapa banyak ia berdoa, batinnya terus diliputi kegelisahan. Sore hingga petang menjelang, ia terus cemas dan ketakutan.
“Makan dulu, Nduk Sha. Dari siang tadi belum makan to?” tegur Bik Salamah dari arah dapur. Perempuan juru masak RB itu sudah memakai sweater dan menjinjing tas kainnya berwarna hitam tanda ia bersiap pulang. Ia akan ke RB lagi besok pagi-pagi atau akan menginap jika ada pasien hendak melahirkan.
Shanaya hanya menggeleng. Selera makannya hilang ditelan ambulance RB yang mungkin masih di rumah sakit. Gadis dengan balutan mukena potongan bunga-bunga itu masih mondar-mandir di area koridor RB. Sudah hampir pukul sepuluh malam. Seandainya Windi dan Safira tidak cuti mungkin ia ada temannya saat ini.
“Ayo makan dulu, nanti sakit,” ingat Bik Salamah lagi.
“Nanti aja, Bik.”
“Insyallah Bu Kurniasih baik-baik saja.” Bik Salamah mencoba menenangkan Shanaya.
“Amin.”
Tiba-tiba saja terdengar suara sirine ambulance memasuki halaman RB, menelan seruan amin Shanaya. Ia dan Bik Salamah tersentak. Mereka menoleh bersamaan ke arah pintu garasi yang berderit terbuka. Tak lama setelah itu terdengar derak langkah kaki dan suara beberapa orang. Bidan Eko, Tita dan suara seorang laki-laki. Shanaya segera menyongsong ke arah segerombolan orang yang kini memasuki aula RB.
“Mari, Mas. Silahkan masuk.”
Shanaya segera menghentikan langkah. Ia berdiri dengan sedikit membungkukkan badan sopan. Termyata lelaki itu bukan supir ambulance yang seperti Shanaya duga.
“Pinarak dulu, Mas. Itu Mbak Shanaya. Saya tinggal dulu ya. Badan rasanya kotor semua,” seloroh Bidan Eko pada lelaki itu setelah melirik sekilas dengan senyum tipis ke arah Shanaya.
“Baik, Bu. Terimakasih,” jawab lelaki itu.
“Mbak Sufu … anda sungguh banyak kejutan hari ini,” bisik Tita saat melintasinya.
Kejutan? Kejutan apa? Siapa lelaki ini? Shanaya bertanya-tanya.
“Assalamu’alaikum ….” sapa sang tamu. Kini lelaki itu berdiri tepat di depan Shanaya. Wangi Dior Homme Intense segera menusuk hidung Shanaya.
“Wa-wa’alaikumsalam … maaf, anda siapa?” Shanaya terbengong saat berhadapan dengan lelaki asing bak Alien itu.
“Kenalkan saya Nikhil, suamimu.”
What? Suami? Kapan nikahnya?
Seketika Shanaya ingin pingsan saat itu juga.
———— Codot : hewan yang suka makan buah di malam hari. Silahkan googling untuk lebih jelasnya