Iklan
Celoteh

Dari Membaca Ke Karya

Mencipta sebuah karya yang mesti disiapkan adalah banyak membaca. Membaca buku, koran, majalah, status dimedia sosial sampai membaca kondisi atau keadaan yang tengah terjadi. Karena membaca adalah modal utama dalam menciptakan sebuah karya. Semakin banyak bacaan; maka semakin banyak kosa kata. Sehingga akan memudahkan kita untuk merangkai kalimat hingga menjadi rentetan paragraf utuh dalam karya dan enak dibaca.

Sepertinya halnya menjadi seorang penulis. Membaca, melihat atau bahkan mendengar apapun bisa langsung menjadi sebuah karya. Lebih-lebih bisa mendatangkan pundi-pundi rupiah jika dikirimkan serta dimuat media online atau pun ofline dan ke penerbit atau tercetak menjadi sebuah buku. Saya dulu pernah terlintas dan membayangkan, bagaimana menjadi seorang penulis. Tapi jika dihadapkan pada kenyataan saya belum mampu, karena masih suka maju mundur untuk menulis.  Bimbang dengan potensi diri sendiri.

Konten Terkait
Iklan

Saya mengidolakan Mbak Najwa Shihab, presenter program tv Mata Najwa. Selain menjadi seorang presenter Mbak Nana panggilan akrabnya, juga merupakan seorang jurnalis. Dia konsen membahas isu-isu terkini dikalangan pemerintahan dan masyarakat secara luas. Hingga isu perempuan yang kian hari selalu saja bermunculan. Pelik.  Karena hal itulah saya terhipnotis dengan pembawaannya yang lugas, cerdas, namun tetap tegas didepan para narasumber, saat dihadirkan maupun dalam setiap tulisan yang disajikan. Dalam benak saya wah keren sekali Mba Nana ini tidak takut dan tidak gentar menghadapi petinggi-petinggi pemerintahan.  

Pernah terlintas ingin mengikuti jejaknya. Namun, saya hanya tertawa ketika angan itu terlintas. Bagaimana mau mengikuti jejaknya wong membaca saja saya masih suka moodian. Pasang surut kayak air laut. Suatu ketika saya pernah membaca sebuah kutipan dari penulis Pramodya Ananta Toer, “Orang boleh setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang didalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian.” Dari situlah saya jadi berpikir untuk latihan menulis. Menulis untuk menghasilkan sebuah karya, bukan menulis untuk mengerjakan tugas mata pelajaran lho ya.

Dalam menjalani kehidupan ini kita tidak tahu apa yang akan terjadi pada hari esok,  seperti yang saya alami saat ini. Saya tidak tahu jika takdir menuntun saya bertemu dengan seseorang yang baik dan tulus hendak membantu saya dimasa yang akan datang. Seorang penulis lepas dengan rekam jejak tulisannya sudah tidak diragukan lagi.  Saban hari ia selalu tidak lupa untuk mengingatkan saya membaca, dan selalu bertegur sapa baik secara langsung maupun saat sedang berjauhan. Kami selalu intens dalam berkomunikasi. Karena dengan cara itulah ia membimbing saya.

Sampai suatu ketika saya dimintainya untuk menuliskan sebuah berita. Awalnya saya ragu, karena saya sendiri tidak mempunyai basic dalam bidang penulisan berita dan jurnalistik, lha wong zaman masih mengenyam pendidikan formal  saja, saya tidak ikut bergabung dalam UKM yang menaungi bidang tulis menulis. Tetapi entah dia sudah menerawang kalau saya mampu menulis atau apa saya tidak tahu, yang pasti saya mau menulis berita atas permintaanya. Maka jadilah tulisan berita saya pertama. Berantakan. Itulah kesan pertama yang saya dapatkan. Meski begitu, saya sangat menyadari bahwa tulisan saya memang masih jauh dari tulisan teman-teman yang sudah sering menulis. Apalagi dengan tulisannya. Sebab semuanya perlu proses.

Harus Tetap Menulis

 Saya bingung, apa yang hendak saya tulis. Meskipun kadang banyak ide berseliweran dikepala. Namun saat hendak dirangkai dalam tulisan saya merasa gelagapan dan tidak bisa menuliskan satu kata pun. Aneh, tapi itu nyata. Kadang meski sudah jadi tulisan entah berapa baris saya selalu tidak percaya diri dengan karya saya. Ada banyak hal yang berkecamuk dipikiran, disatu sisi apakah nanti ada yang tersinggung dengan tulisan saya atau nanti malah menyesatkan orang dengan apa yang saya tulis. Tapi sisi lain, saya merasa tidak ada salahnya toh saya hanya menuliskan apa yang saya ketahui. Pun tidak menyebutkan nama person atau memuat hal-hal yang berbau sara atau isu-isu yang sangat sensitif.

Dan pada akhirnya tulisan itu saya hapus. Begitu terus, sampai suatu ketika ia melihat tulisan saya di dinding Facebook tentang ulasan saya saat menyimak ngaji posonan kitab Assittin Al-Adliyyah via Youtube. Kitab ini menerangkan tentang bagaimana seharusnya relasi antara perempuan dan laki-laki dalam pandangan Islam. Setiap hari ketika selesai mengaji saya tulis didinding Facebook. Waktu itu saya hanya berpikiran untuk membagikannya kepada teman-teman dunia maya apa yang saya tangkap dari menyimak kitab yang sedang diterangkan.

 Alih-alih biar ilmunya dapat bermanfaat jika dibagikan dengan yang lain. Saya dimintainya untuk merapikan tulisan tersebut dan hasilnya jadilah sebuah artikel yang dimuatnya di salah satu media online. Itu adalah tulisan artikel saya yang pertama. Saya heran, ternyata saya bisa menulis. Meski butuh waktu lama untuk merapikannya.  Begitu seterusnya ketika ada kegiatan dari lembaga tempat saya bekerja saya diminta untuk menuliskannya. Sedikit demi sedikit katanya tulisan saya semakin lumayan. Ya meskipun masih perlu bantuannya untuk mengedit agar nikmat dimata pembaca. Beberapa waktu yang lalu saya dipinjami buku Jalan Sunyi Seorang Penulis karya Muhidin  M Dahlan darinya. Belum tuntas saya membacanya baru dapat seperempat. Katanya buku ini yang menjadi motivasinya ketika ia sedang dirundung kemalasan dalam menulis. Setelah membaca buku ini ia jadi kembali bersemangat seperti mendapat suntikan energi untuk kembali menulis.  Sampai tulisan ini dibuat saya masih tidak percaya bahwa saya bisa menulis. Ternyata nikmat juga, mengurangi beban dikepala. Karena apa yang terlintas telah tertuang dalam rangkaian kata yang menjadikannya sebuah bacaan, meskipun amburadul, alakadarnya. (Inayatun Najikah, Pembaca Buku)

Iklan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Konten Terkait

Back to top button