Puisi-Puisi Ngadi Nugroho
Tak Pernah Kembali
Tak terpikir waktu hanyalah benar-benar sekejap
Kita sekumpulan sunyi yang numpang lewat
Kemarin ada yang datang
Tiba-tiba ada yang pamit untuk segera pulang
Belum terlalu genaplah kecupan ini mendingin
Di dahimu yang menyimpan kerutan hari-hari kemarin
Di bawah temaram, batu-batu murung
Mencari jejak sirip-sirip kehidupan
Ingin ditanamnya sekali lagi ingatan itu
Di antara ketakutan juga cemas yang datang tiba-tiba
Aku dan kamu
Selalu menjadi seseorang yang menunggu
Riuh pun pelan-pelan menjadi sunyi
Haru pun pelan-pelan menyulam mataku dan matamu dengan warna ungu
Jangan pernah hapus air mata itu di setiap doa-doa yang kudus
Hingga surga seolah tak akan pernah tergapai hingga mampus
Kaliwungu, 2022
Di Ujung Sebuah Perjalanan Kereta
Di ujung rel kereta, akan putus
Tahun-tahun serupa pintu-pintu lokomotif
Di balik mantel hujan berwarna ungu
“Aku dengar lagu itu, dan waktu seolah melambat. Langkah-langkah membatu. Matahari tiba-tiba meledak keluar dari tubuhku. Dan lamunanku tersangkut di bohlam lampu. Menjadi bayangan di antara kaki-kaki yang berdiri atau sekadar berjalan. Di antara bangku-bangku berkarat digerus keringat.”
Hari-hari aku lucuti
Kuingin getar jam itu berhenti
Menyumpal ketakutanku
Pada jejak-jejak bangku itu
Namun malam itu, kereta tetap melaju
Sedangkan rembulan di luar jendela tetap merembang
Semakin merembang-semakin merembang!
Tak peduli walau di ujung rel kereta, akan putus
Dan cinta ini apakah akan sampai ke tujuan
Pada jalan surga yang lengang
Kaliwungu, 2022
Masa Depan
Dunia mulai menggiringku pada ihwal kehilangan
Pada napas yang mulai merengah
Di detak jantungku di ujung paling rindu
Aku tak menemukan getar itu
Melintas di ujung cakrawala
Suara ombak laut mulai parau
Mendesing laiknya ratapan camar mengembara
Di kedalaman ceruk mataku
Aku mulai menulisi setiap pori-pori tubuhku dengan beberapa cuil kata-kata
Mencari setiap embusanMu di riuh detak jantungku
Di ujung sana adakah dentang lonceng penanda peta
Aku yang sedari sore berdiri
Tak menyadari sekawanan camar berderet-deret pulang ke utara
Meninggalkan rindu gelisah
Menanam kembali sejumput kenang
Membenahi tonggak layar yang hampir-hampir patah
Kiranya pengharapan kita sama
Menenun kembali segala sobekan luka
Hingga pulang tanpa ada tanya
Tentang anak-anak kita
Kaliwungu, 2023
Tak Hanya Tentang Pinta
Kita selalu disekap ruang. Dalam doa-doa senyap. Menggantung di antara cemas.
Rembulan terdiam sembunyikan malam. Dan kita masih mencari sebuah jalan.
Memilah waktu paling mujarab. Meraba sobekan luka dengan air mata.
Di jantung sebelah mana rindu siratkan cinta. Tak hanya berkeluh tentang pinta.
Kaliwungu, 2023
Dua Jalan
Aku mengenal pilu itu seakrab pelukanmu. Ketika dulu sebuah senyuman gemar mencangkung menyongsong hujan.
Inikah sebuah kisah cinta yang bersitahan. Dan kamu mengayuh waktu seakan ingin cepat tenggelam. Melalui setiap jengkal kenangan.
Tak kudapati lagi suara derap kakimu memburu. Seperti tahun-tahun lalu. Saat seseorang yang kamu anggap pahlawan itu berhasil menaklukkan benteng dadamu. Dengan bendera-bendera warna merah jambu. Tak kutemui lagi jejak kakimu yang memburu. Pada hujan yang kekal—cintamu pun mulai tanggal.
Kaliwungu, 2023
Ngadi Nugroho, lahir 28 Juni di Semarang. Menyukai sastra terutama puisi/sajak. Beberapa sajak atau puisinya termuat dalam beberapa antologi ( Lampion Merah Dadu, Jazirah XI Laut dan Kembara Kata-kata, Progo7, Dunia: Suara Penyair Mencatat Ingatan dll ) juga terbit di sejumlah media massa online dan majalah ( Media Indonesia, Republika, Balipolitika.com, Riau Sastra, Magrib.id, Barisan.co, Sukusastra.com, ngewiyak.com. Lamanriau.com, Majalah Elipsis, Majalah Jurnal Sastra Santarang, Mode Pesawat, Cakradunia, Pustaka Kabanti Kendari, Semilir.co dll) Email : ng.adinugroho81@gmail.com