Ulama Standar Ganda
Oleh: Maulana Karim Sholikhin*
Dari sekian juta orang islam di Indonesia, coba kita ambil sampel, 1.000 orang secara random. Lalu, kita kelompokkan siapa yang melakukan shalat tahajjud rutin. Golongan ke dua, shalat dhuha rutin dan golongan terakhir, yang tak pernah absen shalat lima waktu.
Tentu jawabannya sudah bisa di prediksi. Kesalehan ritual bukan lagi sebuah keniscayaan bagi negeri yang dihuni ratusan juta muslim. Namun KTP mereka tetap islam dan kalaupun mati nanti pinginnya masuk syurga.
Ternyata memang sikap spiritual bangsa kita dalam ranah ritus masih minim. Penulis sempat kuliah di universitas islam, namun banyak di antara teman penulis yang lima waktunya bolong-bolong. Ini beneran mahasiswa univ. islam lhoh.
Nah, kemerosotan zaman memang sudah pasti, maka strategi dakwah pun kudu disinkronkan. Menjaga standar memang penting, namun jauh lebih urgent, memastikan semua orang ber-islam dengan nyaman dan legowo.
Maka menjadi ulama dengan standar ganda diperlukan di era ini.
Mekasudnya begini, silakan, para ulama, ustadz, muballigh atau dai beribadah sesuai TOR dari Nabi. Puasa sampai kering, shalat malam sampai subuh, dzikir sampai melepuh, dan membaca al Baqarah dengan tartil tiap shalat. Namun, karyawan pabrik, pekerja kantor, sopir Akap juga punya standar ritual ibadah masing-masing.
Jangan paksa sopir bus shalat berjama’ah tepat waktu, jangan memaksa pula pekerja kantoran yang berangkat subuh melanggengkan tahajud minimal 8 rakaat. Sebab, inti menghamba bukan berapa ribu sujud yang kita lakukan, namun berapa banyak manfaat yang kita hadirkan melalui profesi, jabatan dan status kita.
*Penulis adalah Pendidik di Ponpes Shofa Az Zahro’ dan MI Hidayatul Islam