Jodoh Buat Bu Bidan Cantik

Oleh : Elin Khanin
Chapter 2
————–
“Bu Bidan, tolong istri saya! Dia kesakitan.” Keluar dari kamar Cempaka, lelaki berpostur tinggi besar itu tergopoh-gopoh panik menuju tempat pendaftaran—dimana dua orang tengah sibuk melayani para ibu hamil yang sedang antri periksa. Tangan mereka menggenggam buku KIA berwarna pink.
“Oh ya, sebentar, Pak,” seru Tita.
“Shanaya mana?” lanjutnya menyempatkan tanya pada Ratih—temannya yang bertugas di tempat pendaftaran.
“Aku nggak tahu e, Mbak,” sahut Ratih sambil menoleh sekilas sebelum kembali fokus pada pasien yang duduk di hadapannya.
Tita berlari kecil mengekori lelaki itu menuju kamar Cempaka. Benar saja, perempuan yang tengah menanti pembukaan sejak subuh tadi merintih kesakitan. Titik-titik peluh bagai embun menghiasi dahi dan pelipisnya. Erangan demi erangan mendominasi kamar.
“Saya periksa dalam dulu ya?”
Detik-detik setelah pemeriksaan dalam, suasana berubah tegang. Lima jam telah berlalu dan seharusnya pembukaan masih di angka empat atau lima. Untuk pembukaan normal, umumnya masih nanti sekitar jam empat sore. Tapi perempuan itu sudah mengalami his. Dan hisnya sudah mulai kuat. Ah, mungkinkah ini persalinan cepat?
Meski panik, Tita berusaha tetap tenang. Dengan cekatan ia menyiapkan peralatan di kamar persalinan. Untuk berjaga-jaga jika benar persalinan sudah dekat. Jika dilihat dari tanda-tandanya, perempuan bernama Kurniasih itu memang akan segera melahirkan.
Partus set yang terdiri dari klem 2, gunting tali pusat, ½ kocker, tali pusat. Pasukan set jahit; pean 1, jarum segitiga, jarum bulat, gunting benang, pincet chirurgis, pincet anatomi, benang jahit telah rapi dan lengkap. Tita kembali menghampiri Pak Hendri, suami Bu Kurniasih dan memintanya membawa sang istri ke kamar khusus bersalin.
Beruntung Bidan Eko sang pemilik RB telah pulang dari tugas dinas. Tita langsung menyongsong perempuan yang baru keluar dari jazz merahnya itu.
“Bu Eko … syukurlah ….” Napas Tita terengah-engah.
“Itu pasien kita subuh tadi sepertinya sudah mau melahirkan,” lapornya.
“Loh? Mosok, Mbak? Coba tak lihat. Mbak Shanaya mana?”
Bip … bip. Tangannya mengayunkan remote mobil dan dalam sekejap kendaraan di belakangnya terkunci otomatis..
“Tidak tahu, Bu. Sejak jam enam tadi sudah nggak ada.”
“Loh ah. Pasiennya kok ditinggal itu gimana?”
Tita sudah tak bisa menjawab lagi. Seperti Bidan Eko yang juga tak sempat berganti baju. Perempuan dengan setelan pastel itu langsung menuju kamar bersalin setelah mencuci tangan, memakai handscoon dan masker. Ia sudah tak punya waktu sekedar memakai APD. Ia harus bergegas memastikan sendiri apa benar pasiennya akan segera melahirkan?
Pembukaan telah lengkap. Sebuah fakta mengejutkannya meski kasus seperti ini tak satu dua kali ia jumpai.
“Oke, bismillah ya. Ibu akan segera melahirkan.Peralatannya sudah siap nggeh, Mbak Tita?” serunya pada perempuan bermasker di pojok ruangan.
“Sudah, Bu,” jawab Tita. Dengan segera ia membawakan peralatan.
Bidan Eko lalu menuntun Bu Kurniasih agar mengambil posisi setengah duduk dan memberi aba-aba saat waktunya mengejan tiba. Pak Hendri dengan sabar menggenggam tangan istrinya untuk mentransfer kekuatan. Ia surukkan wajah dan mendekatkan mulutnya ke telinga sang istri untuk membisikkan kalimat-kalimat semangat dan doa-doa. Sesekali tangannya mengelap dahi Bu Kurniasih yang basah oleh keringat.
Jika ditanya kapan perempuan akan benar-benar kehilangan rasa malunya adalah ketika ia akan melahirkan. Itu karena semua pikiran dan tenaganya hanya tercurah pada sang buah hati yang sudah mendesak-desak akan keluar. Yang terpenting baginya adalah bayinya lahir dengan selamat. Sebuah perjuangan yang indah—dimana seni bernapas berperan besar dalam menyambut kehidupan baru.
“Ayo napasnya jangan lupa! Jangan tegang, sambut buah hati dengan senyuman,” ingat Bidan Eko. Bu Kurniasih adalah salah satu anggota kelas yoga-nya. Inilah saatnya perempuan itu mempraktekkan ilmu yang disampaikan Bidan Eko. Meski sangat sulit, Bu Kurniasih tetap berusaha keras mengamalkan seni bernapas itu. Teori dan latihan-latihan selama ini tak semudah saat benar-benar berada di medan perang. Rasa sakit itu bertambah kuat. Mulas yang tak tertahankan disertai rasa ingin mengejan menyerangnya tanpa henti.
Hal yang tak terduga terjadi lagi. Tak hanya pembukaannya yang kilat, tapi juga proses mengejan. Yang seharusnya proses mengejan normal membutuhkan waktu sekitar dua jam, Bu Kurniasih hanya perlu setengah jam saja.
Dengan ligat dan tangkas, tangan Bidan Eko menangkap bayi mungil itu. Cengkeraman tangan Bu Kurniasih pada pergelangan kaki seketika mengendur. Erangan dari mulutnya langsung lenyap. Berganti seruan hamdalah dan napas lega ketika tangisan itu pecah menggetarkan dinding-dinding kamar bersalin. Bidan Eko segera meletakkan bayi kemerahan itu ke dada ibunya untuk IMD. Sementara tangannya segera beralih ke jalan lahir untuk membantu lahirnya plasenta. Plasenta lahir lengkap dengan metode PTT. Lalu ia lakukan message fundus uteri. Kontraksi bagus tapi Bidan Eko mulai menemukan kejanggalan. Darah segar keluar terus menerus dengan jumlah yang cukup banyak.
“Mbak Tita tolong pasang infus! Jarum infus nomor 16 pakai tranfusi set,” titahnya diiringi perasaan khawatir.
“Baik, Bu.”
Tepat ketika Tita berhasil memasangkan infus, pintu kamar bersalin terbuka. Seorang gadis muncul di sana. Shanaya. Tak usah tanya bagaimana wajahnya saat ini. Bibir kemerahan itu menganga dengan pasang mata membola. Ia tahu ini bukan saatnya meminta maaf dan memasang ekspresi memelas. Situasi sedang genting dan dia tak tahu harus berbuat apa.
Kenapa darah terus mengalir?
Kenapa sampai dipasang infus?
Kenapa Tita diminta message dan sorot mata Bidan Eko menikam pada jalan lahir?
Pertanyaan demi pertanyaan memenuhi kepala Shanaya. Ia baru tersentak dengan sebuah kenyataan pahit yang meluncur dari mulut Bidan Eko.
“Robekan di jam enam. Colonnya ternyata sudah robek sekitar 5 cm. Partus prosipitatus,” ujar Bidan Eko. Detik kemudian ekor matanya reflek mengarah ke pintu.
“Mbak Shanaya … apa yang kamu lakukan? Cepat bantu!” gemas Bidan Eko begitu sadar sosok yang muncul tiba-tiba adalah mahasiswi praktiknya.
“I-iya, Bu.” Shanaya segera mencuci tangannya dan memakai handscoon.
“Cepat ambil bayinya dan bersihkan. Pakaikan baju dan bedong!” titahnya lagi. Dengan cepat Shanaya mendekat ke sisi kiri ranjang dan mengambil alih bayi itu untuk dibersihkan.
Bum-bum-bum, detak jantung Shanaya bagai genderang perang yang bertabuh di balik anak telinganya. Meski panik ia masih bisa mencerna semua penjelasan Bidan Eko pada Pak Hendri.
“Pak Hendri mohon maaf, bisa kita bicara?” Bidan Eko beralih menatap suami Bu Kurniasih. Ia mengajak lelaki itu menepi ke sebelah ruang dekat kemar bersalin.
“Ada apa ya, Bu?’
“Maaf, Pak. Bu Kurniasih mengalami pendarahan dan harus segera dirujuk ke rumah sakit,” ujarnya hati-hati.
“Ibu mengalami partus prosipitatus. Persalinan lebih cepat dari yang diperkirakan. Ini membuat jalan lahir mengalami robekan parah dan mengakibatkan pendarahan. Robekan ini harus dijahit dengan benang khusus dan hanya dimiliki rumah sakit atau klinik Dokter Obgyn,” lanjut Bidan Eko memberi penjelasan.
“Baik, Bu. Saya ikut gimana baiknya.”
“Keluarga yang lain ada?”
“Ada, Bu. Tapi saya sengaja tidak memberitahu orang tua. Niatnya nanti saja kalau bayi sudah lahir, kejutan begitu, Bu.”
Bidan Eko manggut-manggut. Ia segera mengarahkan agar Bu Kurniasih dibawah ke ambulance. Tapi tiba-tiba saja Shanaya menghampiri menambah koleksi berita mengejutkan siang ini.
“Bu, bayinya kenapa tangannya reflek terangkat dan matanya kedip-kedip?” lapormya dengan mimik khawatir.
Bidan Eko segera mendekat ke tempat box bayi. Ia mengangkat bayi itu hati-hati. Shanaya benar, palpebra bayi kedip-kedip terus menerus dengan cepat. Apa yang terjadi?
Shanaya menegang waspada. Jika terjadi hal fatal, tentu dia yang paling pantas disalahkan.