Narasumber Cerdas dan Cantik
Oleh : Elin Khanin
Sedikit telat Farhan membuka chat tersebut. Lebih baik terlambat dari pada tidak sama sekali bukan? Ia sangat benci dengan penasaran. Segera ia klik link dan secara otomatis tersambung pada YouTube. Ia bisa dengan jelas menyaksikan acara seminar yang berlangsung di aula PP. Al-Hikmah. Merasa tertarik, Farhan mengambil posisi nyaman dengan merebahkan diri di atas kasur dengan mengganjal dua buah bantal pada punggungnya. Seminar yang dipenuhi oleh santri putri itu terlihat semarak. Meskipun telat, ia tetap ingin menyimak karena baginya tidak ada alasan untuk menghindari majelis ilmu.
“Well, masih bersama saya Khurin Ain sebagai moderator seminar harlah Komunitas Perempuan Pesantren pada pagi hari ini dengan tema “Pendewasaan Hingga Pelaminan” atau yang disingkat dengan PHP, bukan Pemberi Harapan Palsu loh ya, hehehe.”
Farhan terkesiap. Bagaimana mungkin tema seminar bisa pas dengan masalah yang dihadapinya sekarang. Seolah mengerti dengan perasaannya yang gundah gulana. Farhan semakin tertarik dengan terus menyimak seminar itu. Ia berharap mendapat solusi atas masalah perjodohan yang merundungnya sekarang. Ia sempat berpikir seandainya calon istrinya juga ikut menonton acara ini.
“Tadi kita sudah mendengarkan pemarapan dari pembicara pertama kita, beliau Ning Najwa, bahwa untuk menikah itu perlu adanya pendewasaan dan kesiapan dari dalam diri. Menurut Ning Najwa, menikah muda itu boleh namun harus siap lahir dan batin. Ning Najwa juga menyebutkan batas usia menikah menurut UU yaitu 19 tahun. Di usia segitu, khususnya perempuan sudah matang jiwa raganya. Begitu juga dengan alat reproduksi, sudah dikatakan matang di usia 19 tahun. Jika alat reproduksi matang maka insyallah akan menghasilkan keturunan yang berkualitas. Begitu njeh, Ning?”
Suara moderator di aula PP. Al-Hikmah menggema di seluruh penjuru ruangan. Ia duduk bersisian dengan perempuan cantik berpenampilan modis. Ning Najwa, M. Psi yang baru saja menyelesaikan pendidikan S2 nya di Australia ini diundang untuk mengedukasi para santri di PP. Al-Hikmah Wonosobo. Karena di sanalah tempat diselenggarakan seminar Harlah Komunitas Perempuan Pesantren yang dihadiri para Ibu Nyai pengasuh pesantren dan Nawaning dari berbagai daerah.
Ning Najwa mengangguk, merespon moderator bersuara nyaring itu lalu meneguk teh hangat dari cangkir di atas meja. Sedangkan audience yang didominasi santri putri sibuk mencatat dan beberapa mengambil gambar untuk mengabadikan momen satu tahun sekali itu.
“Baik, kita sambut narasumber kedua kita. Ning Nihel Shafura dari PP. Al-Muttaqin Sumenep. Kepada Ning Nihel Shafura dimohon untuk naik ke atas panggung.”
Gemuruh tepuk tangan seketika riuh memenuhi ruangan. Sorot mata dan bidikan kamera tertuju pada gadis yang berjalan anggun menuju panggung. Outfit long tunik dipadu rok tutu berbahan tile dan jilbab paris memperindah pesonanya. Ia duduk pada kursi di atas panggung tanpa canggung meski dadanya berdegup kencang. Ia tersenyum dan pandangannya menyapu setiap sudut aula sambil menatap barisan audience untuk menghilangkan rasa grogi. Ia terus menggumamkan shalawat dan berdoa agar diberi kelancaran.
“Mbak-mbak santri pasti sudah tidak asing lagi ya sama narasumber kita satu ini. Mungkin sebagian besar sudah menjadi follower-nya di Instagram.”
Suara renyah itu langsung mendapat respon anggukan dari para penonton. Mereka berlomba mengarahkan ponselnya untuk mengambil gambar Nihel. Sebagai selebgram yang pengikutnya mencapai ratusan ribu tentu berusaha seramah mungkin di depan semua orang. Apalagi yang hadir disitu adalah para santri yang kemungkinan besar mereka sudah mengenal dirinya. Seorang putri Kiai besar yang kerap memosting fotonya dan memberi konten dakwah di setiap story dan aplikasi tik tok ini juga menerima permintaan endorse seperti fashion, makanan, buku, dan lain-lain.
“Ngiring Pelonggunah, Ning. (Selamat datang, Ning).”
“Sekelangkong (terimakasih), Mbak Moderator. Kok bisa bahasa Madura?” tanya Nihel sedikit terkejut dengan menyebut nama daerah dia berasal.
“Loh saya bela-belain kursus bahasa Madura demi menyambut Njenengan,” gurau moderator. Disusul tawa renyah dari Nihel dan peserta.
Setelah berbasa basi dan perkenalan singkat, moderator kembali menggiring peserta untuk kembali fokus pada tema diskusi pagi hari itu. Ia meminta pendapat tentang menikah muda yang masih marak terjadi di kalangan masyarakat Indonesia meski undang-undang telah menaikkan batas minimal usia pernikahan dari 16 tahun menjadi 19 tahun.
“Tadi sudah disinggung oleh Ning Najwa bahwa gadis yang berumur di bawah 19 tahun menurut pemerintah adalah masih anak-anak. Ia masih perlu dilindungi dan diberikan hak oleh orang tua berkaitan dengan ekonomi, pendidikan dan lain-lain, itu benar adanya. Kalau begitu saya ini masih anak-anak alias bocil dong, karena saya baru saja lulus MTs.”
Sejenak ia menurunkan mikrofon dan tersenyum lebar sambil memberi jeda.
“Sepertinya saya tersesat di sini. Panitianya bagaimana ini? kurang paracetamol atau bagaimana? Kayaknya perlu direvisi dengan mengundang anak di bawah umur sebagai narasumber di sebuah seminar besar.” Kembali ia menggiring para hadirin untuk mengendurkan syaraf dengan guyonan.
Gelak tawa seketika membahana dari para peserta tak terkecuali Ning Najwa dan moderator. Suasana seminar dalam rangka menyambut harlah semakin terlhat semarak. Santri putra dan panitia di arena sound sistem tampak senyum-senyum sambil mencuri foto. Kapan lagi mereka akan bertemu langsung seorang selebgram dari kalangan pesantren yang cantik dan alamah itu, kendati usianya masih sangat belia.
“Alhamdulillah, untuk paracetamol berlimpah ruah, Ning. Kami dalam keadaan sadar ketika mengundang nara sumber. Dan kami tidak salah pilih,” timpal sang moderator mantap dengan tersenyum lebar.
“Di sini saya tidak akan menyanggah atau mendebat Ning Najwa dengan materinya yang luar biasa mengedukasi. Sungguh saya sangat tercerahkan dengan penyampaian beliau terkait fenomena menikah muda, bagaimana mempersiapkan dan mendewasakan diri sebelum benar-benar duduk di pelaminan.”
Suara riuh tawa dan tepuk tangan kembali membahana. Nihel membenahi duduknya dan memindah mikrofon dari tangan kiri yang sudah mulai berkeringat ke tangan kanan.
“Bagi saya tidak ada batas minimal terkait umur untuk menikah. Meski jangan terlalu muda juga. Karena cinta tidak bisa dicari pembenaran di akal tapi di hati. Kita tidak tahu kapan cinta datang dan di usia berapa. Ketika kita sudah baligh, tawaran menikah muda kapan saja bisa datang. Untuk itu, sebagai remaja kita harus punya pondasi. Setidaknya kita memiliki pondasi ilmu agama sebelum berumah tangga. Karena dari kita, kaum perempuan lah yang akan melahirkan generasi bangsa.”
Aduh aku ngomong apaan sih? Sok dewasa banget gak ya? Nihel membatin.
“Bukan berarti dengan menikah kita akan dibatasi dalam menuntut ilmu. Pernikahan bukanlah finish. Apalagi dalam era digital begini kita bisa dengan mudah belajar karena sejatinya kita adalah manusia pembelajar. Sampai tua, sampai kakek nenek yang namanya belajar dan mencari ilmu itu sangat penting. Begitu juga dengan istilah ‘dewasa’. Bukan berarti yang umurnya 19 tahun adalah mereka yang benar-benar sudah matang dan dewasa. Karena umur tidak bisa menentukan dewasa atau tidaknya seseorang. Banyak juga loh mereka yang di bawah umur sudah mapan dan dewasa. Semua itu tergantung pendidikan dan lingkungan di mana remaja itu bertumbuh.”
“Seperti Ning Nihel ini ya yang masyallah. Masih muda tapi sangat cerdas, mandiri, dan berilmu. Tidak hanya itu. Cantik dan modis pula. Subhanallah.”
Applause kesekian kalinya menjadi respon dari komentar moderator. Ning Najwa-narasumber pertama tak kalah memberi pujian pada gadis yang masih berusia 16 tahun itu.
“Saya B aja, Mbak. Masih perlu banyak belajar dari para guru, para Ning dan Bu Nyai,” tukas Nihel seraya membenahi tepi jilbab yang sebenarnya tidak berantakan.
“Subhanallah, sudah cantik, alamah, juga rendah hati,” timpal moderator.
“Batas umur atau usia menikah memang ada undang-undang tapi cinta tidak. Budaya atau kultur sebuah wilayah juga mempunyai andil. Apalagi Madura, daerah dimana saya dilahirkan sudah dari sejak dulu nikah muda marak di sana. Masa iya semua pelaku nikah muda di Madura ditangkap semua karena menyalahi undang-undang? Wah, bisa penuh penjara.”
Dari balik layar ponsel, Farhan tersenyum.
“Hahaha … benar sekali, Ning.” Suara tawa kembali terdengar. Tak ada satu pun peserta yang duduk di bawah panggung yang mengantuk. Selain karena tema seminar sangat asyik, juga keberadaan mereka bisa saja tersorot kamera sebab acara ini live streaming di youtube channel KPP.
“Bahkan anak baru lulus SD ada yang sudah dinikahkan dan mereka baik-baik saja. Rumah tangga masih utuh sampai kakek nenek. Seperti jaddah dan jaddi saya contohnya. Mereka ini mengedepankan syariat daripada mengikuti batas usia yang sudah ditetapkan pemerintah. Misal, daripada berzina lebih baik segera dinikahkan. Memang tidak dipungkiri, usia, kedewasaan, kemapanan, ekonomi, kesiapan jiwa raga, kematangan psikis selalu menjadi faktor yang kerap dipertimbangkan sebelum menikah. Namun ada hal yang jauh lebih penting daripada itu semua di mana seorang wanita bisa menjalani kehidupan rumah tangga dengan baik. Mau nikah muda mau nikah tua kalau hal ini tidak ia dapatkan, saya yakin rumah tangga orientasinya bukan sakinah mawaddah marohmah.”
“Wah apa itu, Ning? Saya jadi penasaran.”
“Pasangan yang tepat. Ketika kita menemukan pasangan yang tepat mau menikah di usia berapa kita insyallah akan baik-baik saja.”
Hadiah applause dan decak kagum tak terelakkan. Apalagi saat Ning Najwa menguatkan penyampaian Nihel bahwa ada lima hal yang boleh tergesa-gesa dilaksanakan, yaitu ;
1. Menyajikan makanan ketika ada tamu
2. Mengurus mayit ketika ia mati, menikahkan seorang gadis jika sudah bertemu jodohnya
3. Melunasi hutang ketika sudah jatuh tempo
4. Segera bertaubat jika berbuat dosa
Keterangan ini ada dalam Kitab Hidayatul Auliya’, 8: 78.
Tanpa dissadari, Farhan reflek memberikan tepuk tangan. Ia tak menyangka jika ternyata ada sosok gadis di bawah umur yang pemikirannya luar biasa. Ia begitu berani dan cerdas dalam menyampaikan gagasan. Seperti sudah terbiasa tampil di depan umum. Tak hanya itu ia juga … cantik. Diam-diam Farhan berdoa dalam hati, semoga saja gadis yang dijodohkan dengannya seperti Nihel Shafura. Tiba-tiba ia teringat lagi perihal obrolan dengan Agus di mobil kemarin. Bahwa, “Secerdas-cerdasnya dan secantik-cantiknya wanita jika tidak seperti Nihel Shafura belum bisa kudamba.” Desiran halus yang tak ia tahu namanya itu tiba-tiba muncul dan sedikit takut kecewa jika kenyataannya calon istrinya nanti tidak sedewasa pembicara kedua di seminar harlah itu. Farhan menggaruk kepalanya. Tiba-tiba rasa pusing melanda memikirkan mempunyai istri yang kekanak-kanakkan dengan usia yang jauh lebih muda darinya.