Perfect Goodness

Oleh : M. Iqbal Dawami
“Sebaik-baik manusia yang panjang umurnya dan baik amal perbuatannya, dan sejelek-jelek manusia adalah yang panjang umurnya dan paling jelek amal perbuatannya” (Nabi Muhammad Saw.)
Paulo Coelho (2012) mendapatkan cerita dari seorang bernama Carson Said Amer. Ada seorang pengajar yang memulai seminar dengan memperlihatkan selembar uang dua puluh dolar dan bertanya, “Siapa yang menginginkan lembaran dua puluh dolar ini?”
Beberapa orang mengangkat tangan, tetapi si pengajar berkata, “Sebelum saya memberikannya pada Anda, saya ingin melakukan sesuatu.”
Dia meremas-remas lembar uang itu dan berkata, “Siapa yang masih menginginkan uang ini?”
Tangan-tangan kembali teracung.
“Dan bagaimana kalau saya melakukan ini?”
Dia melemparkan lembar uang yang sudah kucal itu ke tembok, dan setelah lembar uang itu jatuh, dia menginjak-injaknya, kemudian sekali lagi dia menunjukkannya kepada para peserta seminar-sekarang lembaran uang itu sudah benar-benar kucal dan kotor. Dia mengajukan pertanyaan yang sama, dan orang-orang tadi tetap mengangkat tangan.
“Jarang pernah melupakan pelajaran ini,” katanya.
“Tidak masalah, apa pun yang saya lakukan pada lembaran uang ini. Ini tetap selembar uang dua puluh dolar. Dalam hidup kita, sering kali kita dibuat kucal, diinjak-injak, diperlakukan dengan buruk, dihina. Akan tetapi, meski mengalami semua itu, nilai kita tidak akan berubah.”[1]
Kisah uang yang diinjak-injak di atas adalah sebuah ilustrasi yang bagus perihal nilai kebaikan yang kita punya, sebagaimana di akhir kalimat di atas sedikit disebutkan pesannya. Ya, kebaikan tetaplah sebuah kebaikan meski orang berkomentar macam-macam. Kebaikan adalah sebuah nilai beharga. Namun, tidak jarang kita mengalami cemoohan orang tatkala melakukan kebaikan, entah itu katanya hendak pamer, riya, sombong, dan lain sebagainya. Banyak orang kadangkala tidak berkenan tatkala kita melakukan sesuatu yang bermanfaat bagi banyak orang, lantaran iri, sehingga menilai kita macam-macam. Meskipun begitu, nilai kita sama sekali tidak akan berkurang dengan penilaian buruk mereka.
Saya teringat dengan kata-kata Bunda Teresa yang mengatakan:
Orang kerap kali tak bernalar, tak logis, dan egois.
Biar begitu maafkanlah mereka.
Bila engkau baik, orang akan mungkin menuduhmu menyembunyikan motif yang egois
Biar begitu tetaplah bersifat baik
Bila engkau mendapat sukses, engkau akan dapat pula teman-teman palsu dan musuh-musuh sejati
Biar begitu tetaplah meraih sukses
Bila engkau jujur dan berterus terang, orang akan menipumu
Biar begitu tetaplah jujur dan berterus terang
Apa yang engkau bangun selama bertahun-tahun, mungkin akan dihancurkan seseorang hanya dengan semalam
Biar begitu tetaplah membangun
Bila engkau menemukan ketenangan dan kebahagiaan, orang mungkin akan iri.
Biar begitu tetaplah berbahagia
Kebaikan yang engkau lakukan hari ini, sering akan dilupakan orang keesokan harinya
Biar begitu tetaplah lakukan kebaikan.
Berikan pada dunia milikmu yang terbaik dan mungkin itu tidak akan pernah cukup
Biar begitu tetaplah berikan pada dunia milikmu yang terbaik
Ketahuilah pada akhirnya sesungguhnya ini semua adalah masalah antara engkau dan Tuhanmu.
Tidak pernah antara engkau dan mereka.
Kata-kata Bunda Teresa begitu meyakinkan bahwa kita harus tetap melakukan kebaikan meskipun orang mungkin akan mencibirnya. Kebaikan mempunyai nilai yang teramat berharga dan tidak akan berkurang oleh cibiran orang. Apa pun profesinya, kita mempunyai potensi yang sama untuk melakukan kebaikan terhadap dunia ini. Banyak sekali firman Allah yang bicara tentang “dahysat”nya kebaikan. Maka benar apa yang dikatakan Bunda Teresa bahwa kebaikan itu masalah antara engkau dan Tuhan, Beberapa ayat akan saya kemukakan di sini.
“Barangsiapa yang beramal kebaikan seberat dzarrah (atom) pun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya” (QS Al-Zalzalah: 7).
“Bukankah balasan kebaikan (ihsan) adalah kebaikan pula?” (QS Al-Rahman: 60).
Bahkan di ayat lain Allah membalas orang yang berbuat baik dengan sepuluh kali lipat dari kebaikan yang kita perbuat.
“Barang siapa membawa amal yang baik (ihsan) maka baginya (pahala) sepuluh kali lipat amalnya” (QS Al-An’am: 160).
Itulah janji Tuhan, orang yang melakukan kebaikan akan dibalas dengan kebaikan pula, bahkan dibalas dengan berlipat ganda. Perkataan Bunda Teresa sesungguhnya terekspresikan dalam Ihsan, sebuah term dalam Agama Islam selain Islam dan Iman. Secara literal, Ihsan adalah (i) melakukan sesuatu sebaik-baiknya dan (ii) melakukan kebaikan terhadap orang lain. Yang pertama kebaikan untuk diri sendiri, yang sifatnya personal, dan kedua, kebaikan untuk orang lain, sifatnya komunal.
Ihsan merupakan sesuatu yang dilakukan seseorang tanpa pamrih, tanpa berharap sesuatu dari siapa pun. Walaupun berharap, dia hanyalah berharap pada Allah Swt. Kebaikan hanya untuk kebaikan. Nabi Muhammad Saw. menggambarkan Ihsan secara elegan, yakni, saat engkau beribadah seakan-akan engkau melihat-Nya, dan kalaupun engkau tidak mampu melihat-Nya, (yakinlah) Dia melihatmu. Dengan tamsil seperti itu, kita akan berbuat sesuatu dengan ikhlas dan penuh kesungguhan.
Dengan kata lain Ihsan adalah puncak kebaikan (perfect goodness). Betapa tidak, betapa bernilainya saat kita melakukan kebaikan tanpa dilihat siapa pun. Yang bisa melakukan seperti itu adalah orang yang ikhlas tanpa pamrih. Melakukan kebaikan memang hanya untuk kebaikan, kalau pun toh ada pamrih itu demi keridhaan Allah semata, sebagai tanda syukur atas kebaikan yang telah diberikan padanya. Dia sadar bahwa Allah saja sudah berbuat Ihsan kepadanya, maka sudah sepantasnya kita juga melakukan Ihsan.
Ekspresi kebaikan bisa bermacam-macam, sesuai kapasitas orangnya. Menyingkirikan duri dari jalan juga merupakan sebuah kebaikan. Hal itu tidak boleh dianggap sepele. Sepintas memang tampak sepele, padahal itu juga sebuah kebaikan. Kita tidak tahu bisa saja ada orang yang menginjak duri tersebut sehingga kakinya luka, bengkak, dan membusuk, sehingga harus dirawat. Dan karena kebaikan orang yang menyingkirkan duri dari jalan itu banyak orang terselamatkan dari kejadian-kejadian buruk yang tidak diinginkan.
Duri bisa kita jadikan sebuah simbol sesuatu yang membahayakan orang lain. Oleh karena itu hal ini bisa kita terapkan dalam hal apa pun. Tidak menggunjing dan menggosip adalah aktivitas menyingkirkan duri. Tidak mengkonsumsi makanan dan minuman secara berlebihan juga sebentuk menyingkirkan duri. Tidak berkata-kata kotor dan menyakiti orang lain juga sebuah kegiatan menyingkirkan duri. Masih banyak lagi. Dengan kata lain, menyingkirkan duri juga termasuk pengamalan ihsan.
Namun, perbuatan ihsan harus hati-hati, karena banyak penumpang gelap selalu merongrongnya. Salah satunya adalah keinginan mendapatkan pujian. Memang tidak salah, tapi itu bisa mengakibatkan perbuatan ihsan kita menjadi tidak bernilai. Seberapa besar kebaikan yang kita lakukan tapi kalau niatnya karena ingin mendapatkan pujian maka kebaikan tersebut minus nilai. Akibatnya, tatkala kebaikan kita tidak dipuji maka kita akan kecewa. Akhirnya timbul ketidakikhlasan. Rasulullah Saw. pernah bersabda, “Kesukaan dipuji dari manusia itu adalah membutakan hati dan menulikan telinga.” Itulah efek dari ihsan yang dilakukan karena ingin pujian.
Oleh karena itu triknya adalah ingat selalu definisi ihsan, yakni lakukan kebaikan seolah-olah kita melihat Allah, dan sebaliknya, seolah-olah Allah melihat kita langsung. Faahsin kama ahsanallah ilaika—berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu.[]
[1] Lihat Paulo Coelho, Seperti Sungai yang Mengalir (Jakarta: Gramedia), 2012, hlm. 250-251