Iklan
Cerpen

Mak Ngasimah

Oleh : Elin Khanin

Aku Maolan bin Margo lahir tanggal 3 September 1942. Tahun dimana penjajahan masih merajalela di Indonesia. Bapakku Margo bin Jasmo desa Asempapan kecamatan Wedarijaksa yang sekarang Trangkil. Emakku Ngasimah Binti Rasmo Sirah dari dukuh Centhong desa Purwodadi kecamatan Margoyoso.

Emakku orang bodoh, tidak pernah mengenyam bangku sekolah maupun mengaji. Maka aku pun tumbuh menjadi anak bodoh. Bapakku bekerja sebagai penjahit dan ikut sebagai buruh jika ada tebasan sawah atau tambak.

Konten Terkait
Iklan

Aku baru belajar berjalan saat menginjak umur satu tahun ketika bapakku meninggal. Tidak sakit tidak kecelakaan. Sore pergi ke tambak, paginya meninggal di sana. Sontak kematian Bapak yang mendadak itu membuat Emak kelimpungan seperti orang edan. Ia selalu menangis dan tak doyan makan sampai badannya kurus tak terurus. Setiap ia lihat foto Bapak, Emak pingsan, hingga akhirnya foto itu dibakar yang mengakibatkan aku tak pernah melihat wajah Bapak karena itu foto satu-satunya yang dimiliki Emak.

Ketika Emak sudah tegar dan mampu merelakan kepergian Bapak setiap kamis sore bakda asar ia mengajakku ke makam Bapak. Sampai di kuburan Bapak, tangis Emak kembali pecah, karena ia memang orang bodoh tak bisa mengaji atau tahlil seperti yang orang-orang lakukan ketika berziarah, ia hanya berkata pada Bapak seolah Bapak masih hidup.

“Mas, ini loh anakmu tak ajak kesini jenguk kamu, semoga kamu di ampuni Allah dan ditempatkan di tempat yang terbaik. Semoga anakmu jadi anak yang soleh ya, Pak,” ucap Emak dengan suara parau dan sarat emosi.

Setelah puas berbicara Emak akan mendekapku erat sekali sambil menangis sesenggukan. Meluapkan seluruh emosi dan sesak yang menghimpit dadanya. Ia tak punya tumpuan lagi selain aku. Terpaksa dada mungil yang menjadi tempat ia bersandar karena dada tegap nan bidang itu sudah hilang.

Setelah tangisnya reda, Emak akan mengajakku pulang. Melewati jalan setapak kuburan yang wingit hingga melewati jalan pedesaan yang ramai oleh warga. Di sanalah setiap mata akan menatap kami dengan iba dan nelangsa,  tak jarang pula yang menatap dengan sorot mata bergidik karena mereka berpikir Emak gila. Gila ditinggal suami tercinta saat sedang senang-senangnya punya suami dan seorang putra.

“Nduk Mah, saking pundi, Ngger? (Nduk Mah, dari mana, Nak?),” Tanya seseorang pada Emak.

“Dari jenguk Bapaknya kenang,” jawab Emak sopan.

“Loh rak soko kubur? (Loh lak dari makam?)” Tanya orang itu lagi penuh peduli.

“Inggih, Mbah. Kenang biar tahu tempat Bapaknya. Masyallah, nggak apa-apa to, Mbah?”

“Iya nggak apa-apa, Nduk.”

“Sampun nggeh, Mbah.”

Meskipun Emak bodoh tapi Emak adalah perempuan yang tahu tata krama, unggah ungguhnya baik, sopan santunnya terjaga. Berkali-kali bertemu orang di jalan Emak selalu menjawab dengan tutur kata yang halus. Ia menghormati siapa saja dan tak pernah sekalipun marah.

Ia tak peduli dengan orang-orang yang tak suka bahkan menjulukinya gila. Karena ia tahu banyak pula yang kasihan dan menaruh welas asih padanya.

“Mesakke Ngasimah, kepedotan tresno, lagi seneng-senenge nduwe bojo lan anak cilik ditinggal mati. Mugo-mugo diparingi sabar lan kuat yo Nduk.”

Begitu kata orang yang hatinya lembut dan menaruh kasih pada Emak. Emak mengangguk seraya mangaminkan.

Emak mengajakku berziarah ke makam Bapak setiap hari kamis sampai aku bisa berjalan sendiri. Begitu aku sudah disapih Emak menikah lagi dengan Tuwowo Yasir, seorang duda beranak lima; Mustajab, Muslimatun, Damiri, Mathori, dan Muhaimin. Saat itu aku tidak diajak serta di keluarga baru Emak. Maka aku diasuh oleh Kakekku, Mbah Jasmo.

Dengan Pak Yasir, pernikahan Emak tak berlangsung lama. Kemudian Emak kembali menikah dengan Mat Barok, seorang putra Carik Ngagel yang sangat kaya. Itu artinya Emak jadi istri orang kaya.

Setiap pagi Emak berjualan di pasar Ngagel. Pulang pergi diantar dokar. Sebenarnya Emak ingin membawaku ikut serta ke dalam keluarga barunya tapi Mbah Jasmo tak memperbolehkan. Ia tak mau pisah dengan aku-cucu satu-satunya. Akhirnya Emak hanya bisa menjengukku sebulan sekali. Hari ketika Emak menjenguk adalah hari yang selalu aku tunggu-tunggu. Karena malamnya Emak akan menemaniku tidur sampai malam. Ia akan memelukku erat seperti aku memeluknya.

Akhirnya pagi itu aku tak rela Emak pergi. Kugenggam tangannya erat-erat agar sampai ia mengurungkan niatnya untuk pulang.

“Mak, aku melok kuwe, (Mak, aku ikut kamu),” teriakku dengan air mata berderai-derai.

Sontak Emak bersimpuh dan terduduk di atas tanah seraya tersedu-sedu. Ia memelukku dan kutenggelamkan wajahku pada dadanya. Kueratkan pelukan dan menangis di dadanya sampai sesenggukan. Aku tak mampu lagi berpisah. Apapun yang terjadi aku mau ikut. Ternyata Emak pun sama, ia tak mampu lagi berjauhan denganku-anak semata wayangnya.

Dengan keberanian dan tekad bulat akhirnya Emak berkata pada suaminya, “Mas aku kamu ceraikan tetap akan pulang dan kumpul bersama anakku, tidak kamu ceraikan juga tetap akan pulang. Aku nggak kuat pisah sama anakku.” Dengan tangis pecah dan berderai-derai.

Dengan berat hati Mad Barok menceraikan Emak dan Emak pulang, hidup denganku dan Mbah Jasmo lagi. Aku mencintaimu, Mak.

Iklan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Konten Terkait

Lihat Juga
Close
Back to top button