Iklan
Cerpen

Detik-Detik Kecelakaan di Kamar Hotel

Oleh : Elin Khanin

Ruangan dengan puluhan lampu gantung bernuansa remang-remang dan eksotis itu sebenarnya sangat cocok untuk sepasang sejoli yang sedang dimabuk cinta. Namun sayang, seringkali hanya sebagai tempat membuang penat dan pelampiasan stress.

Konten Terkait
Iklan

Seperti gadis yang saat ini duduk bersama lelaki di sudut bar lounge dekat bartender. Sepintas mereka seperti sepasang kekasih, tapi jika benar-benar diamati sang lelaki hanya berfungsi sebagai pengawal, bukan pacar. Meskipun sebetulnya sangat cocok menjadi kekasihnya.

“Gimana, Juan? Kamu mau tidur denganku? One night stand.”

Suara gadis itu beradu dengan suara Daniel Caesar yang sedang melantunkan lagu berjudul H.E.R. Namun masih bisa tertangkap jelas oleh sang lawan bicara. Lelaki dengan balutan kemeja coksu yang duduk dengan setia menemaninya. Entah sudah berapa kali mulut gadis itu meracau menyebut kalimat yang sama. Tapi tak diindahkan sama sekali oleh Juan.

“Stop, Manda. Cukup! Ayo aku antar pulang!”

Amanda. Gadis dengan outfit rok pendek kuning membakar mata dan blouse putih berenda itu mulai hilang keseimbangan setelah menenggak dua gelas vodka. Kini ia berada dalam fase euforia. Satu jam yang lalu, Juan masih bisa bersabar mendengar keluh kesah gadis itu. Tapi semakin kesini kelakuan Manda semakin tak terkendali. Alkohol telah menguasai separuh kesadarannya. Mulutnya terus meracau dan bicaranya ngelantur. Kadang menangis lalu tertawa seperti orang sinting. Kepercayaan diri gadis berambut panjang itu meledak-ledak.

“One more glass. Oke?” Manda mengerling sambil tersenyum menggoda.

“No!”

Juan berusaha menahan tangan Manda yang bergerak memberi isyarat ke bartender. Namun segera diabaikan gadis itu. Manda kembali melambaikan tangan dan segelas vodka tersaji dalam sekejap saja. Manda menyesap cairan berwarna putih bening dari cocktail glass miliknya. Ini adalah gelas vodka ketiga yang ditenggak secara brutal oleh gadis berkulit terang itu. Dan Juan hanya bisa kembali menghembuskan napas kasar melihat Manda meringis setelah menelan isi gelasnya.

“Manda!”

 Suara Juan sedikit meninggi saat Manda kembali meminta satu gelas lagi ke bartender. Ia tak tega melihat Manda menyakiti dirinya sendiri. Sudah lama ia mengenal Manda sebagai gadis independent yang ceria. Baru kali ini ia melihat gadis itu serapuh ini. Namun mengingat masalah yang dialami gadis itu Juan berusaha memaklumi. Mungkin kalau masalah itu membelitnya, ia juga akan sefrustasi Manda.

“Satu gelas lagi. Kalau tidak kamu harus mau tidur denganku, hem?” Manda terkekeh geli. Juan menatap gadis itu dengan sorot prihatin sekaligus kesal.

“Aku tahu ini berat. Tapi  bukan seperti ini penyelesaiannya. Ayo aku antar pulang.” 

“Jawab dulu! apa kau mau tidur denganku?”

Juan menatap Manda frustasi. “Kau tak mau menikah denganku tapi ingin tidur denganku? Kau pikir aku apa? Ayo kita menikah dulu. Setelah itu terserah kita mau apa.” Ditatapnya tajam gadis itu. Manda justru menyeringai.

“Juan … Aku harus menemukan pembunuh Sarah. Aku yakin dia dibunuh.” Manda kembali meracau. Sejak tadi bicaranya tidak terarah. Berbagai topik dicampur aduk seperti gado-gado.

“Tapi kau takkan bisa menemukan pembunuh adikmu kalau mabuk begini.”

Manda tertawa sumbang. Matanya yang sayu kini menerawang ke langit-langit.  Teringat lagi kenangan pahit dua bulan yang lalu—dimana Sarah adiknya ditemukan tewas di dasar jurang. Berita itu sontak menggegerkan warga dan menjadi trending topik dimana-mana. Bahkan masih viral di beberapa media sosial. Seorang gadis remaja mengenakan seragam bar waitress ditemukan tewas di jurang Keping daerah Binowo. Sebuah penggalan judul tragis menghiasi koran-koran langganan Surabaya dan menjadi caption pembuka sebuah video berita layar televisi maupun media sosial.

Tidak hanya itu yang membuat dirinya frustasi. Tapi juga kelakuan ayahnya yang suka main perempuan dan berperilaku kasar pada ibunya. Hingga membuat sang ibu tertekan lalu terkena serangan jantung. Manda bertambah hancur saat ibunya dinyatakan meninggal di rumah sakit Medika Kasih Jakarta Selatan dua hari yang lalu. Ia kehilangan satu-satunya tumpuan sekaligus pelipur lara.

Belum sembuh dari masa terpuruknya, ia kembali dihantam badai kehidupan. Sebuah berita datang dari sudut komplek Kamboja kemarin. Bahwa lelaki idamannya–Ustadz Alif baru saja melepas masa lajang. Lelaki soleh nan tampan itu mempersunting  seorang perempuan solihah pilihan orang tuanya—yang disinyalir anak seorang kiai dari daerah Ampel.

Para tetangga memanggil istri sang ustadz dengan sebutan “Ning.” Entah apa artinya “Ning” itu. Mungkin sama saja dengan “Mbak” tapi nada memanggilnya terdengar lebih terhormat seperti memanggil seorang putri raja. Manda tak begitu mengerti dan tak mau mengerti. Yang jelasl lengkap sudah penderitaannya.

“Jika aku dilahirkan lagi. Aku ingin jadi anaknya Kiai, juan. Aku tidak mau jadi anak si keparat Sutarman itu.” Manda kembali menyesap vodkanya yang tinggal separuh. Mulutnya tak berhenti mengumpat lelaki bergelar ayah dalam hidupnya.

“Jika aku anak kiai pasti Ustadz Alif maju menikah denganku. Iya kan?” Manda berusaha keras agar kepalanya tak membentur meja. Tangannya mencengkeram kaki gelas coctail miliknya.

“Belum tentu juga, Manda. Meskipun kau anak kiai jika dia bukan jodohmu maka kalian tidak akan bersatu. Yang menurutmu baik untukmu belum tentu baik dimata Tuhan.”

Manda mendecih, “Jangan sok ceramah. Kau takkan bisa menyaingi Ustadz Alif. Itulah mengapa aku tidak mau menikah denganmu. Dia hafal Alquran, tampan, mapan. Heeemm?”

Juan tersenyum miring. Ia malas menghitung jawaban penolakan Manda atas cinta tulusnya. Sepanjang hayat mungkin gadis itu hanya akan menganggapnya sebagai seorang sahabat. Sahabat yang perasaannya tak pernah dianggap serius. Terlebih setiap lelaki metroseksual itu mengungkapkan cinta. Manda pasti akan tertawa. Seolah kalimat Juan sebuah lelucon belaka. Juan sepenuhnya paham dengan alasan Manda yang secara terang-terangan menolaknya. Penghalang terbesar itu adalah karena ia seorang non muslim.

“Seandainya kau mau memberiku kesempatan dan mendengarku sekali saja, aku pasti rela meninggalkan kepercayaanku dan mengikuti agamamu,” gumam juan lebih terdengar seperti bicara pada dirinya sendiri. Lelaki itu akhirnya ikut menenggak segelas vodka.

“Jika kau bisa kembali ke masa lalu, kau mau jadi apa?”

“Jadi anak kiai juga.”

Mereka lalu tertawa bersama.

“Ya, mari jadi anaknya kiai, Juan.”

“Apa kau mau menikah denganku jika aku jadi anaknya ulama?”

“Akan aku pikirkan. Kau tahu, aku sudah cinta mati sama si jahanam Alif. Aku ingin balas dendam jika bisa kembali di masa lalu.”

“Apa yang akan kau lakukan?”

“Aku akan belajar sungguh-sungguh dan jadi orang berguna. Aku juga akan bersama-sama dengan Sarah belajar Al-Quran. Kita akan dipanggil ning. Ning Nang Ning Gluuung. Hahahaha.” Juan terpaksa ikut tertawa meski ia semakin prihatin. Manda terbatuk-batuk dan Juan menepuk punggung gadis itu pelan.

“Orang sepertiku takkan punya masa depan cerah, Juan. Aku dan adikku akan selalu dipandang hina. Sampah masyarakat. Bahkan mamamu yang berkalung salib itu pun takkan mau menerimaku,” lanjutnya tersenyum getir. Kemudian tertawa sumbang sebentar, meningkahi alunan lagu Location Unknown oleh Honne dan Beka.

Ya, selain Juan adalah non muslim, ia juga memiliki seorang mama yang perfeksionis. Jangankan Manda yang merupakan gadis dari keluarga broken home. Yang dari keluarga baik-baik belum tentu ia terima menjadi menantu. Mungkin itu juga yang membuat Manda tak menganggap serius perasaan Juan. Di mata Manda, Juan adalah anak mama.

“Ayo pulang, Manda. Kau butuh istirahat.”

Juan menepuk lengan Manda dan bersiap membantu gadis itu berdiri. Alih-alih menuruti perkataan Juan, Manda justru terkekeh geli. Sudah gelas ketiga atau mungkin keempat. Alkohol semakin membakar kerongkongan Manda dan merenngut kesadarannya. Dia mabuk berat. Tubuhnya lunglai dengan menyisakan sedikit kesadaran. Dengan terpaksa Juan mengangkat tubuh Manda. Gadis itu berjalan sempoyongan dalam rengkuhan Juan. Ia terus saja mengoceh. Kadang bersenandung, tertawa, menangis, bersenandung lagi. Membuat Juan geleng-geleng kepala.

“Lihatlah, semandiri dan sekuat apa kamu. Kamu tetap butuh bahu orang lain untuk menumpahkan segala keluh kesah,” desah Juan sambil berjalan menuju lorong yang menghubungkan bar dengan hotel.

Demi melindungi kehormatan gadis itu, tak mungkin Juan mengantarnya pulang ke rumah. Lagipula di rumah ada seorang ayah yang tak bertanggung jawab. Juan takut Manda akan semakin jadi pelampiasan amarah seperti ibunya. Tak mungkin juga Juan membawanya pulang. Bagaimanapun sang mama takkan setuju ia membawa pulang seorang gadis yang sedang teler. Maka kaki-kaki panjangnya segera bergerak menuju resepsionis untuk memesan kamar. Rencananya ia akan segera meninggalkan Manda begitu gadis itu tidur di kamar hotel. Namun manusia biasanya hanya bisa berencana, Tuhan lah yang akan menentukan. Tergantung manusia itu akan melangkah kemana. Mengikuti seruan Tuhan atau malah mengikuti bujukan setan.

Iklan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Konten Terkait

Lihat Juga
Close
Back to top button
bandar togel ppidsulsel.net stmik-hsw.ac.id bprdesasanur.com sv388 https://pa-kualakapuas.go.id/ widyagama.org univpancasila.com klik88 provider game slot www.paramadina.org slot gacor klik88 slot gacor scatter hitam slot gacor idn situs slot gacor live casino online game slot slot gacor pg slot gacor malam ini slot pragmatic play link tok99toto tok99toto login slot scatter hitam bojonegorokab.net menpan.net www.latinseminary.org k86sport login slot gacor zeus slot gacor idn slot mahjong mudah jackpot slot gacor 4d https://smpn10kotasukabumi.or.id/ slot klik88 klik88 login slot gacor slot demo