Iklan
Pustaka

Tetes Darah Perjuangan dalam Buku Laskar Ulama-Santri

Salah satu aspek penting dari Nahdlatul Ulama yang wajib diketahui adalah sejarah perjuangan ulama-santrinya. Bukan sejarah arus utama yang kerap dibenturkan kepentingan kelompok tertentu; bukan pula yang ditulis para generasi nasionalis, yang menonjolkan figur utama sejarah sehingga detail sejarah dan tokoh-tokoh lain yang perannya sangat besar nihil disebutkan. Tulisan ini mencoba menerangkan sisi lain sejarah itu dalam bentuk indoktrinasi pemahaman atas sejarah arus utama, yang ditulis kalangan nonsantri, melalui catatan kecil atas sebuah buku sejarah yang ditulis komprehensif seorang sejarawan-santri. 

Buku ini cukup lama ditulis, sekitar 11 tahun yang lalu. Selama itu pula, buku ini berulang kali didiskusikan para mahasiswa, santri, dan kalangan pemerhati isu sejarah ulama pesantren Nusantara. Ditulis oleh sejarawan asal Pati yang menekuni dunia pesantren dan ulama nusantara, buku ini menawarkan informasi luar biasa nan penting berkenaan dengan dinamika perlawanan Pangeran Diponegoro dalam Perang Jawa 1825-1830 hingga pertempuran heroik Surabaya yang diperingati sebagai Hari Pahlawan.

Ketertindasan masyarakat Indonesia bukan omong kosong belaka. Hal itu lugas disaksikan kalangan ulama dan santri pesantren yang pada fase selanjutnya mengonsolidasi gerakannnya dalam basis kultural melalui jejaring ulama Nusantara. Basis kultural itu disokong diaspora para ulama Nusantara di Timur Tengah yang kebanyakan bermukim di Mekkah dengan sebutan Ashab Al-Jawiyyin. Ulama nusantara yang berangkat ke Timur Tengah berkumpul, berkontak, bertukar informasi dan saling menguatkan dukungan. Meskipun telah menjadi warga Arab mereka tetap mendorong lahirnya benih-benih perjuangan melawan penjajahan.

Konten Terkait
Iklan

Penindasan Belanda dan negara Barat atas rakyat pribumi amat menekan hati kecil banyak ulama-santri. Muncul gerakan untuk melawan kezaliman yang turun temurun bergenerasi itu. Satu-satunya jalan melawan adalah turun ke medan tempur. Akan tetapi, para ulama sadar perjuangan ketika itu masih sangat lemah dan akan mudah patah. Oleh karenanya, para murid yang kembali dari Mekkah kemudian menguatkan basis perlawanan ke dalam bilik-bilik pesantren.

Buku ini terdiri dari enam bab. Tersusun secara kronologis, mulai dari apersepsi rekonstruksi metanarasi sejarah. Pembaca ditantang merefleksikan sejarah arus utama dengan menarasikan kembali sejarah yang kontra dengan narasi besar yang lama dipercaya. Pada bab kedua, penulis memaparkan rentetan tapak tilas perlawanan ulama-santri terhadap penindasan kolonial. Pada bab ini pula penulis mencoba menguak sisi rumpang sejarah yang tak terbaca, melalui sederet nama ulama-santri yang melakukan konsolidasi perjuangan, baik secara individu maupun berkelompok. Derasnya perjuangan itu sampai mendorong para kiai memobilisasi santri mengikuti pelatihan militer di Cibarusa, Bogor bersama barisan Peta (Pembela Tanah Air).

Para santri hasil didikan Cibarusa kemudian merintis perjuangan lewat badan kelaskaran di tiap kantong basis perlawanan daerah. Laskar ini dikomandoi seorang santri atau kiai sendiri yang memiliki basis keahlian militer: mengangkat senjata, menyusun strategi, atau pernah terjun bertempur. Kemudian di Bab Empat, jejaring itu dikuatkan kembali koneksi ulama pesantren yang terhubung untuk bertempur di bawah bendera Resolusi Jihad Fi Sabilillah. Setiap pertempuran bersejarah: aksi 10 November di Surabaya, peristiwa Palagan Ambarawa, perlawanan di Yogyakarta, dan Pertempuran Tanah Pasundan tak pernah luput dari kontribusi kiai-santri dalam barisan Laskar Hizbullah dan Sabilillah.

Bab selanjutnya, perjuangan tidak langsung padam. Barisan laskar yang melebur ke dalam TNI tetap memegang teguh landasan perjuangan sebelumnuya. Pada kesempatan ini, Muktamar ke-16 NU menetapkan Resolusi Jihad II kepada seluruh masyarakat muslim untuk berjuang totalitas mempertahankan kemerdakaan bangsa dari rong-rongan agresi militer Belanda. (hlm. 296–297). Bab keenam secara sederhana merupakan pelengkap keterangan atas simbolisasi perjuangan ulama-santri, pesantren sebagai basis perjuangan, dan kesaktian senjata bambu runcing.

Secara keseluruhan, buku ini berisi informasi penting yang sulit didapat dari sumber lain. Pembaca yang ingin menajamkan pencariannya mengenai sejarah panjang NU dan basis perjuangan ulama dahulu—khususnya di Jawa dalam mempertahankan Nusantara hingga Indonesia—tepat sekali untuk menelaahnya. Buku ini dilengkapi peta jejaring ulama-santri, mulai dari Syekh Abdurrauf Singkel dan Nuruddin Al-Raniri, Syekh Ahmad Mutamakkin dan Syekh Abdul Muhyi Pamijahan yang sekurun hingga diteruskan Pangeran Diponegoro, sampai yang terjauh senarai murid Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari beserta ulama sezamannya. (hlm. 77)

Meskipun begitu, satu-dua hal yang perlu dipikirkan ulang sebelum membaca buku ini adalah tebalnya buku untuk diselesaikan secara cepat layaknya membaca novel. Selain itu, pembaca perlu berulang kali membolak-balik lembaran buku demi tahu keterangan (catatan) kaki di halaman terakhir bab. Catatan itu melengkapi informasi yang terbatas dalam buku. Kendala lain yang mungkin dihadapi adalah akses buku yang terbilang sulit karena di beberapa perpustakaan memang belum tersedia, dan satu-satunya jalan mungkin membeli versi loak atau versi barunya.

Buku ini ibarat kumpulan buih air yang tersusun harmonis menjabarkan fakta, bahwa sejarah Indonesia tidak terlepas dari tumpahan darah para santri dan kiai, yang nama dan riwayat perjuangannya hilang atau sengaja dihilangkan oleh kepentingan subjektif narator sejarah arus utama. Subjektifitas penulis yang hanya bertujuan “menabikan” tokoh nasionalis mereka. Ketakutan mereka atas keruntuhan pamor tokohnya jika masyarakat tahu kebenarannya. Sejarah akan terus menemukan pemaknaanya seiring proses dialektika yang tiada kunjung berhenti (Pengantar, XV).

Judul Buku                  : Laskar Ulama-Santri & Resolusi Jihad: Garda Depan Menegakkan Indonesia (1945–1949)

Penulis                         : Zainul Milal Bizawie

Tahun terbit                : 2014

Kota terbit                   : Tangerang

Jumlah halaman           : 452 hlm.

Peresensi                     : Fahri Reza Muhammad

Iklan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Konten Terkait

Back to top button