Iklan
Kolom

Rumi

Oleh: M Iqbal Dawami

Mungkin ada yang belum tahu Jalaluddin Rumi. Ia adalah sufi cum penyair yang terkenal. Ia berasal dari Balkh, Afghanistan. ia belajar tasawuf kepada beberapa guru, tapi yang paling mempengaruhinya adalah Syamsuddin al-Tabrizi atau Syamsi Tabriz. Sebelum tampil menjadi ahli tasawuf Rumi adalah seorang guru yang memiliki banyak murid. Sekian lama mengajar, ia merasa tidak bisa mengubah para muridnya dengan baik. Ia pun kemudian berefleksi bahwa sebelum jiwa dan pikiran seseorang mendapat pencerahan perubahan tidak akan terjadi. Ia kemudian ingin belajar tasawuf.

Pada kesempatan ini saya hendak menceritkan salah satu fragmen kisahnya yang menurut saya inspiratif. Konon, Jalaluddin Rumi pernah dilanda kesedihan mendalam karena tidak menemukan guru yang tepat untuk belajar tasawuf. Sampai di sebuah waktu ia menemui guru yang ia kagumi. Dan ketika guru terakhir dimohon agar Rumi bisa jadi muridnya, ternyata ia meminta sebuah syarat yang tidak bisa ditawar: segera membakar seluruh buku yang dimiliki Rumi. Tentu saja heran bercampur sedih: guru macam apa yang mempersyaratkan untuk membakar buku. Dan ternyata di hari ketika seluruh buku Rumi terbakar, guru tadi langsung menghilang entah kemana. Menurut Gede Prama, kita bisa mengerti kenapa karya-karya Rumi demikian mengagumkan.

Iklan

Salah satu karyanya yang mengagumkan adalah Masnawi. Kitab ini merupakan karya sastra yang berisikan ilmu tasawuf dan disampaikan dalam bentuk syair/sajak. Ketebalannya bisa mencapai 2000 halaman yang terdiri dari 6 jilid. Sedang sajaknya berjumlah 26.000 baris. Ini merupakan karya spektakuler, yang sulit ditandingi. Sajaknya tidak hanya indah, tetapi juga penuh dengan muatan mistis, spiritual, dan sosial, tergantung kita memandanganya. Rumi sendiri mengatakan bahwa karyanya ini adalah: Cahaya bagi kawan-kawan seperjalanan dan harta terpendam bagi pewaris jalan kerohanian.

Barangkali pelajaran yang bisa kita ambil dari kisah Rumi di atas adalah bahwa apabila kita berada dalam keterbatasan justru potensi yang ada dalam diri kita akan keluar secara maksimal. Jiwa, raga, dan pikiran kita benar-benar dikerahkan lantaran posisi kita dianggap lemah dan rentan rapuh. Beda misalnya kalau kita berada dalam keadaan serba mudah. Boleh jadi kita akan malas-malasan, santai, dan tidak sungguh-sungguh, karena kita berada di zona nyaman.

Coba kita perhatikan orang yang difabel (tunanetra, tuna rungu, dll). Mereka justru mempunyai keahlian yang mengagumkan. Minat mereka dalam sebuah bidang justru mereka kuasai dengan baik. Orang yang tidak mempunyai kaki, justru mereka bisa berlari dengan kencang, ada yang tidak bisa melihat dan mendengar, justru mereka pintar menulis dan berpidato. Sepintas rasanya mustahil, karena tidak berbanding lurus antara  kecacatannya dengan prestasinya. 

Pernah mendengar nama-nama berikut ini? Bethany Hamilton, Vinod Thakur, Stevie Wonder, Liu wei, Lena Maria, Nick Vujicic, Jessica Cox, Xu Yuehua, Huang Jianming, dan Helen Keller. Mereka semua adalah orang-orang yang mempunyai keterbatasan fisik tapi berprestasi. Mereka telah menginspirasi banyak orang di seluruh dunia. Nick Vujicic, misalnya, ia lahir tanpa lengan maupun kaki. Tapi siapa sangka ia bisa  bermain sepak bola, golf, berenang, dan berselancar. Ia juga menjadi motivator di pelbagai negara. Contoh lainnya, Jessica Cox, ia adalah wanita pertama menerbangkan pesawat dengan kaki. Bahkan tidak hanya itu, ia juga bisa menyetir mobil, dan juga ahli bela diri. Semua ia lakukan dengan kedua kakinya. Maklum, karena ia memang tidak mempunyai tangan sejak lahir.  

Di Indonesia juga banyak orang yang mempunyai keterbatasan fisik namun berprestasi dan memberi inspirasi banyak orang. Keberadaannya begitu bermanfaat alih-alih merepotkan. Suatu ketika di bulan Juli 2013 bertepatan dengan bulan Ramadhan, saya menyaksikan reportase di tv swasta yang mengangkat kisah sepasang suami istri yang menekuni penulisan Al-Quran dengan menggunakan huruf Braille. Padahal keduanya tidak bisa melihat alias tuna netra. Subhanallah.  

Semua berawal dari kesenangan mereka membaca Al-Quran. Dari situ timbul keinginan untuk berbagi kesenangan tersebut kepada teman-teman sesama tuna netra. Mereka pun memutuskan untuk menulis Al-Quran dalam bentuk huruf Braille. mereka membeli mesin ketik berlogo ‘Parking Broiller’ buatan David Abraham. Mereka ingin teman-temannya juga dapat membaca dan mengaji Al-Quran layaknya mereka.

Sejak itu, hari-hari mereka diisi dengan mengetik ayat-ayat Al-Quran. Hari demi hari, bulan berganti bulan. Mereka tetap semangat dan menjaga keistiqamahan niatnya itu. Sang istri yang mengetik dan sang suami bertindak sebagai korektor. Menulis huruf Arab lebih rumit ketimbang huruf latin. Belum lagi ada harokatnya, kalau salah memberi harokat, salah pula arti dan maknanya. Apalagi yang ditulis adalah Al-Quran. Kesalahan sekecil apapun bisa menjadi masalah besar. 

Berkat ketekunannya satu per satu mereka hasilkan mushaf Al-Quran lengkap 30 juz. Karya mereka mulai dikenal banyak orang dan begitu bermanfaat. “Keberuntungan” mulai mereka dapatkan. Pada suatu ketika, sebuah penerbit sekaligus percetakan memberi tawaran kepada mereka untuk diterbitkan karya secara massal. Tentu saja mereka senang. Dari situ kemudian mereka kebanjiran pesanan. Mereka kebanjiran order juga dari pelbagai daerah.

Saya tercenung saat salah satu dari mereka menjawab pertanyaan wartawan. “Untuk apa harus mengeluh. Allah Maha Besar, dengan seperti ini saya jadi mengetahui kebesaran-Nya.” Subhanallah. Masya Allah. Perkataan itu membuat saya malu, malu semalu-malunya. Saya malu karena masih banyak mengeluh oleh sesuatu yang sebetulnya belum ada apa-apanya apabila dibandingkan dengan cobaan yang mereka alami.

Kisah tersebut secara tidak langsung memberi pesan kepada saya agar jangan lupa untuk selalu bersyukur kapan pun, dimana pun, dan bagaimana pun keadaannya. Cobaan yang saya hadapi bisa jadi belum ada apa-apanya dibanding dengan mereka yang tidak dapat melihat sejak masa kanak-kanak. Saya masih bisa melihat, mempunyai keluarga yang baik, masih ada orangtua, dan memiliki kehidupan yang relatif cukup. Maka, betul sekali yang difirmankan Allah yang selalu diulang-ulang dalama surah Al-Rahman: “Maka nikmat Tuhan mana lagi yang hendak kamu dustakan?”

Orang-orang yang tabah dalam menghadapi cobaan dan yang mampu mengkonversi cobaan tersebut dengan kemaslahatan adalah orang-orang yang mempunyai visi hebat. Tepatnya visioner. Mereka sadar bahwa hidup di dunia ini hanya sementara. Jadi, segala ujian yang menimpa mereka juga hanya sementara. Hidup yang kekal adalah di akhirat. Maka, yang dilakukan di dunia akan menjadi pertaruhan untuk bekal hidup kelak di akhirat. 

Dus, mereka tidak tenggelam dalam kesedihan dan penderitaan. Mereka bangkit, mencari sesuatu yang berguna bagi diri sendiri dan orang lain. Mereka punya keahlian, dan keahliannya itu terbukti bermanfaat bagi khayalak masyarakat. Bagi mereka kekurangan maupun kesedihan bukan untuk melemahkan mereka, tetapi justru menguatkan mereka. Jalaluddin Rumi menjadi bukti hebat, kesedihannya ditinggal sang guru menjadikan ia hebat dengan menjadi sufi besar, seiring dengan karyanya telah mengabadi.[]

Iklan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Konten Terkait

Back to top button
bandar togel ppidsulsel.net stmik-hsw.ac.id bprdesasanur.com sv388 https://pa-kualakapuas.go.id/ widyagama.org univpancasila.com klik88 provider game slot www.paramadina.org slot gacor klik88 slot gacor scatter hitam slot gacor idn situs slot gacor live casino online game slot slot gacor pg slot gacor malam ini slot pragmatic play link tok99toto tok99toto login slot scatter hitam bojonegorokab.net menpan.net www.latinseminary.org k86sport login slot gacor zeus slot gacor idn slot mahjong mudah jackpot slot gacor 4d https://smpn10kotasukabumi.or.id/ slot klik88 klik88 login slot gacor slot demo