Me (Manfaat) kan

Oleh : Niam At Majha
Tahun telah berganti, akan tetapi banjir tetap tak terganti. Di setiap tahunnya di penghujung tahun atau pun awal tahun; banjir tetap sama, siklus tahunan yang menjadi sirkus hiburan. Sebuah ironi memilukan. Para relawan yang tak pernah lelah, para penyaji makanan di setiap dapur umum tak mempunyai kepenting apa-apa. Mereka bergerak atas hati nurani, mereka memasak atas dasar kemanusiaan yang adil dan beradap, meskipun yang terdidik ada juga tak mempunyai adab.
Kemarin lalu, saat saya sekadar melepas penat untuk mencari sebuah inspirasi di 38 Café ada sebuah obrolan yang menggelikan sekaligus sebuah ironi menyedihkan. Kisah ceritanya bagini dan begitu; ada dua orang manusia, berjenis kelamin sama mereka dari segi tampilan dan pakaian yang dikenakan sepertinya adalah relawan yang konsentrasi pada kegiatan-kegiatan sosial. Kalau boleh saya mengatakan mereka mengamalkan sila ke lima dari Pancasila yaitu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia; lha berubung orang tersebut hanya relawan di dapur umum, memasaknya untuk para korban banjir jadi yang di amalkan dari Pancasila adalah keadilan sosial bagi sebagian rakyat Indonesia.
Dalam obrolan mereka yang terekam dalam keterbatasan ingatan saya kurang lebihnya seperti ini dan apabila kelebihan dapat di kurangi dan jika kurang dapat di lebihi.
“Kok tega ya ada orang yang memanfaatkan nasi bungkus untuk usahanya yang bergerak di bidang pendidikan” celektuknya.
“Ini nasi bungkus dari perusahaan a, tolong dibagikan dan yang di perioritaskan adalah para karyawan s ya…terutama u yang ada sangkut pautnya dari perusahaan .”
Salah satu temannya menirukan apa yang telah terjadi, dialognya ditirukan sedemikan rupa; agar mirip-mirip sedikit. Dari obrolan orang yang tak saya kenal tersebut saya dapat memberikan sebuah kesimpulan, kesimpulan saya sendiri bukan mewakili kebanyak orang apalagi orang yang selalu memanfaatkan musibah banjir untuk kepentingan perusahaan yang bergerak dibidang pendidikan.
Dan ternyata dialognya belum berakhir sampai disitu saja, masih ada kelanjutannya. Saya mendengarkan dengan seksama dalam tempo sesingkat singkatnya. Dan tentu pura-pura tak tahu apa yang mereka bicarakan akan tetapi saya berusaha mengambil ide apa yang mereka bicarakan untuk tulisan hari Rabu ini, meskipu dua Rabu kemarin saya tak nulis, bukan kesibukan yang saya kambinghitamkan akan tetapi saya belum ada ide untuk menulis Parodi dan hanya ingin menulis tentang hal lain, yang berhubungan dengan cinta, bahagia dan sedih.
“Kau tahu ndak, kemarin saat meminta apabila di desanya untuk di jadwalkan pemberian nasi bungkus ada orang relawan celetuk sekenannya, jangan minta saja akan tetapi bantu bungkusnya”
Dialog mereka berdua terhenti. Seakan ada sesuatu yang mengganjal akan tetapi harus diobrolkan, meskipun getir dan pahit harus di bicarakan.
“Ngapain bantu-bantu lha wong uang puluhan juta aku yang mengeluarkan”
Saya kaget. Mereka berdua pun tanpaknya juga heran terheran. Saya dapat melihat dari raut wajah mereka. Dan saya hanya berusaha menerka-nerka, membayangkan bagaimana orang yang mendengarkan langsung. Saya sendiri di zaman sekarang ini kok masih ada mahluk hidup yang pongah dan sombong, selain itu pula tega memanfaatkan musibah banjir ini untuk kepentingan pribadinya yaitu perihal perusahaannya. Lantas selanjutnya bagaimana titik balik orang tersebut? Biarlah alam yang berbicara dan hukum alam yang berupaya atas segala. Secangkir kopi capucino belum sepenuhnya habis akan tetapi gurat sedih dan pilu atas pemanfaatan ini telah pahit untuk dirasakan