Hak Berbicara, Hak Berpendapat
Oleh : Inayatun Najikah
Kawan : “Kamu kan belum menikah dan punya anak, kok nulisnya tentang anak-anak sih.”
Saya : “Lho memang ada keharusan untuk memiliki anak (biologis) dulu, baru boleh menulis tentang anak-anak?”
Beberapa hari yang lalu, saya ditegur oleh salah seorang kawan. Saya yang notabene sering menulis tentang dunia parenting dan seputar perempuan, mendapat satu pertanyaan yang membuat saya terkejut. Percakapannya seperti diatas. Dan setelah saya menanggapi pertanyaan tersebut, dia terdiam tanpa melanjutkan komentar atau menanggapi lagi.
Saya terheran. Apa jika ingin memberikan sebuah pendapat tentang suatu hal, harus mengalami sesuatu itu terlebih dahulu? Jika belum mengalami, apakah kredibilitasnya diragukan? Mengapa hal itu tak bisa diterima tanpa alasan apapun? Cukup hanya menganggap bahwa orang lain juga berhak punya cara pandang sendiri dalam menilai sesuatu.
Saya masih sering menjumpai hal demikian ini. Tak hanya berjumpa, namun juga mengalami. Beberapa kali saat saya mencoba menegur seseorang yang umurnya diatas saya, teguran saya tak diindahkan sama sekali. Dalam hati saya merasa, apa karena saya masih muda jadi dianggap belum mencukupi kapasitas ilmu dan belum banyak merasakan pahit asamnya kehidupan?
Entahlah. Namun yang menjadi pertanyaan besar saya, mengapa kebanyakan orang masih sulit menerima pendapat yang berbeda, lebih-lebih dari yang masih muda. Ilmu kan tak hanya didapat dari apa yang kita alami saja. Tapi lebih dari itu. Pintu untuk menemukan sebuah ilmu itu luas dan bermacam-macam jalannya. Jadi, mengapa kita mengotakkan bahwa ilmu itu bisa didapat hanya karena ketika sudah pernah mengalami sendiri?
Misalnya seperti yang saat ini saya lakukan. Saya membagikan ilmu dan apa yang saya ketahui dari membaca dan melihat keadaan. Tentang dunia anak-anak dan parenting. Semoga saja setelah adanya tulisan ini bisa membuka mindset orang-orang untuk mampu menerima pendapat orang lain tanpa harus merendahkan dan menjustifikasi apapun.