Bagai Pungguk Menjerat Bulan Part 6
Oleh : Elin Khanin
Salman baru saja selesai menggulung ujung atas sarung ketika ponselnya berdering. Tampak foto lelaki mengenakan suit and tie dengan ekspresi dingin memenuhi layar. Ia berdecak sebelum mengangkat telepon atas nama “Kak Eugene” itu—lelaki yang seratus persen berhasil menduplikat Daddy-nya. Mungkin Salman perlu mempertemukan Kang Awan dengan Kakaknya. Barangkali mereka akan cocok karena memiliki kesamaan kepribadian. Atau mungkin dengan Daddy-nya sekalian agar ketiga lelaki itu membentuk sebuah komunitas. Komunitas kulkas dua pintu.
“Halo … mikuuum,” sapanya ogah-ogahan.
“Dimana?” tanya suara dari seberang.
“Di pesantren lah.”
“Nggak ada kuliah?” tanyanya lagi.
“Adalah. Nanti siang jam satu.”
Kenapa memangnya? Salman urung bertanya, karena ia sudah hafal di luar kepala jika dua pertanyaan singkat tadi adalah kebiasaan buruk Eugene sebelum mengomelinya. Dan ….
“Risi … dengar! Mommy ngirim kamu ke pesantren untuk belajar agama juga menggali info untuk perkembangan pesantren Albana. Bukan nembak cewek. Apalagi menggoda perempuan yang sudah bersuami. Apalagi … perempuan itu ibu pengasuhmu sendiri.”
Benar kan? Salman seketika memutar bola mata. Tidak akan heran juga jika kabar itu langsung diketahui oleh Eugene, Kakaknya. Karena sudah pasti si kulkas dua pintu itu akan menyewa seseorang untuk memata-matainya.
“Mommy tahu?” tanya Salman sedikit khawatir.
“Nggak.”
Salman menghembuskan napas lega. “Syukurlah. Em … ya … tahu juga nggak apa-apa sih. Lagian itu cuma tantangan MOS. Bilangin ke Jasusmu, kalau kerja itu yang totalitas. Biar nggak setengah-setengah kalau ngasih info,” cibirnya sambil meraih selembar kemeja dari dalam lemari.
Salman masih belum terbiasa dengan lemari berukuran 120 cm x 60 cm itu. Sampai kiamat pun tidak akan pernah bisa menampung segala jenis barang mahal yang bisa mendukung penampilan macho-nya. Mungkin nanti dia akan meminta izin Nyai Maryam untuk membawa lemari yang lebih besar. Bagaimanapun dia satu-satunya santri dari fakultas kedokteran. Sudah seharusnya mendapat perlakuan yang lebih istimewa bukan?
“Jasus?”
“Jasus … mata-mata,” jawab Salman masih dengan nada mencibir. Puas sekali dia bisa mencemooh Kakaknya dengan istilah baru yang ia dapat dari pesantren baru-baru ini.
“Whatever … kamu dengar kan apa yang kukatakan tadi?”
“Yes, Dad.”
“Risi!”
“Kakak juga dengar kan apa yang kukatakan tadi? Itu hanya tantangan MOS,” tangkis Salman.
“Mana ada pesantren yang—”
“Kang … cepetan!” seru seseorang dari arah pintu kamar. Membuat obrolan di telepon mendadak terjeda. Dan ….
“Dah ya, Kak. Ini mau ada acara ziarah. Don’t worry, everything is gonna be ok pokoke. Mmmuaaachhh.” Ia memutus sambungan telepon begitu saja. Lalu memakai kemejanya dengan tergesa.
Zulham yang tadi tampak panik, mendadak tertegun sambil mengangkat sebelah alisnya sejak mendengar kalimat terakhir Salman sebelum memutus sambungan telepon. Berbicara dengan siapa dia?
“Dia Kakak gantengku. Aku suka gemes sama dia,” ucap Salman seperti tahu isi kepala Zulham. Tapi kemudian lelaki bermata sipit itu memilih untuk masa bodoh. Kembali ia lirik arloji di pergelangan tangan. “Cepetan! Para santri sudah berkumpul di halaman,” ujarnya mengingatkan.
“Let’s go, Sayaaang,” goda Salman seperti sengaja membuat Zulham jengkel.
“Hiiii … nggak usah rangkul-rangkul! Jijik,” pekik Zulham sambil mengibaskan lengan Salman yang melingkar di pundaknya, yang justru membuat Salman semakin gencar menggodanya. “Makin ganteng aja kalau marah.”
“Lo nggak konslet kan sejak didamprat Nyai Maryam?” Zulham bersungut-sungut, tampak ingin menggeplak kepala Salman.
“Hahahaha ….”
Sudahlah, Ham. Tinggal kirim saja ke Jerman bertemu dengan kaum Nabi Luth yang lain jika temanmu itu terbukti semakin ganjil.
—–
“Ini adalah makam Sunan Nirboyo,” ucap Ferdy, ketua pondok memulai tour pagi itu. Ia bersama pengurus yang lain menggiring para santri baru mengunjungi sebuah makam keluarga Kiai Thoyfur yang terletak di belakang masjid pesantren. Tepatnya di sebuah bangunan cukup megah menyerupai pendopo. Para santri bisa melihat barisan makam tanpa harus masuk ke dalam, karena bangunan itu tidak berpintu dan didesain terbuka dengan tiang-tiang besar yang menyangganya di beberapa sisi.
“Nama lengkapnya Sunan Nirboyo adalah Pangeran Sumohadi Menggolo. Konon dulu sering menaiki buaya, makanya dijuluki Sunan Nirboyo. Tapi sebenarnya buaya hanyalah sebuah kiasan untuk sebutan para bajak laut atau penjajah di masa lampau,” jelasnya panjang lebar. Para santri manggut-manggut.
“Sunan Nirboyo menikah dengan ….”
Salman tak begitu fokus mendengarkan penjelasan Ferdy karena pasang matanya justru sibuk menyusuri setiap sudut makam. Tapi telinganya yang tajam cukup bisa menyimpulkan bahwa Kiai Thoyfur adalah salah satu keturunan Sunan Nirboyo yang berhasil mendirikan pondok pesantren dan nguri-nguri Nirboyo sebagai satu dari sekian kelurahan di kota Semarang yang dikenal dengan kampung santri.
Santrinya sebagian besar adalah mahasiswa yang ingin kuliah sambil belajar ilmu agama. Mereka bebas memilih kelas kitab atau kelas Al-Qur’an, atau keduanya sekaligus.
Salman sendiri masih bingung hendak memilih yang mana. Ia merasa tidak mampu menghafal Al-Quran, juga tidak berminat menekuni kitab kuning. Memikirkan setumpuk tugas kedokteran saja ke depan sudah membuatnya pusing. Mungkin dia nanti akan mengusulkan adanya kelas netral, yang artinya hanya numpang tidur di pesantren.
“Setelah berpindah dari Banten dan Cirebon, beliau tinggal di Semarang. Kemudian mengelola pelabuhan dan berhasil meningkatkan perekonomian masyarakat di daerah pantura. Para penjajah maupun bajak laut kala itu geram dan mengincarnya, untuk merebut wilayah kekuasaan. Namun yang terjadi, semua bajak laut di pantura tunduk dan masuk Islam karenanya. Masyarakat pelaut Semarang terutama nelayan sangat mengagumi sosok Sunan Nirboyo, karena ia berhasil menyadarkan para bajak laut menjadi orang-orang yang saleh,” pungkas Ferdy sebelum mempersilahkan para santri memasuki makam. Dia tampak sangat menikmati tugasnya sebagai tour guide ziarah dan berharap pidatonya barusan bisa menambah wawasan serta kecintaan para santri pada para ulama.
Ruangan dalam makam atau pesarean itu cukup luas seperti sengaja didesain untuk menampung orang banyak. Karena selain para santri, banyak pengunjung dari luar kota yang datang untuk berziarah.
Sebenarnya makam ini terdiri dari dua bagian, dipisahkan oleh dinding kaca berbingkai kayu yang tengahnya dihuni makam Sunan Nirboyo. Dan hanya santri putra yang diperbolehkan masuk ke dalam makam tersebut. Tapi momen ini yang justru ditunggu-tunggu oleh santri putri maupun santri putra. Karena mereka bisa saling mengintip melalui separuh dinding kaca sebagai penyekat kedua bangunan itu. Ini tentu lebih mendebarkan meski mereka bisa saja berjumpa di kampus secara terang-terangan.
Seperti saat ini. Santri putri yang tidak punya jadwal kuliah pagi tampak sudah memenuhi aula khusus untuk putri. Tapi bukan mereka yang kini tengah menyedot perhatian Salman seperti halnya teman-temannya yang lain. Melainkan sosok berbalut busana serba putih yang menjadi pemimpin mereka. Ibarat para santri putri adalah peri, maka perempuan berbalut busana putih yang duduk di barisan paling depan adalah ratunya para peri. Siapa lagi kalau bukan Nyai Maryam. Mungkin jika di dalam film Thinker Bell, dia adalah Queen Clarion.
Salman masih termangu dengan sorot mata terpaku pada dinding kaca yang menampilkan Queen Clarion itu saat sebuah suara membuatnya sedikit terperanjat.
“Mau sampe kapan berdiri terus? Cepat duduk!” Itu suara Edwin.
Salman segera menyapukan pandangan ke sepenjuru makam sebelum akhirnya duduk di pinggir batas dinding kaca. Entah dia sengaja memilih duduk disitu agar bisa berkali-kali melirik Queen Calrion, atau entah karena memang hanya space itu yang tersisa. Dia duduk tepat di samping Edwin.
“Matanya jangan jelalatan, Mas,” tegur Edwin saat dirinya berusaha memutar kepala lagi ke arah partisi di belakangnya.
Salman hanya mengangguk. Tapi harus ia akui begitu sulit menaati nasehat Edwin untuk kemudian fokus menyimak buku kecil berjudul “majmu'” di tangan, lalu mengikuti bacaan tahlil sang Rois dengan posisinya saat ini. Kepalanya seperti terputar otomatis ke arah sekat itu, lagi dan lagi.
Betapa indah ciptaanMu, Ya Allah. Betapa beruntungnya Abah Thoyfur memiliki istri seperti Nyai Maryam.
Salman menggeleng. Mencoba menepis segala bisikan kurang ajar yang bisa memecahkan konsentrasinya. Dari sekian banyak perempuan, kenapa dia justru tertawan pada Nyai Maryam–perempuan yang jelas-jelas sudah memiliki suami? Ia tidak punya cita-cita ingin menjadi pebinor, perebut bini orang. Tapi entah mengapa begitu sulit mengenyahkan rasa aneh itu. Rasa yang semakin tumbuh subur setiap kali melihat Nyai Maryam. Ada debar dan denyut nyeri dalam dadanya. Dan nyeri itu semakin menjadi-jadi saat ia menangkap sosok itu sedang berurai air mata. Tangan Nyai Maryam menengadah layaknya orang sedang berdoa. Seketika perhatian Salman tersedot sepenuhnya oleh sosok itu. Melihat perempuan itu terisak-isak membuatnya tidak tega.
Ada apa? Kenapa Nyai Maryam menangis? Apa karena dia terpaksa menjadi istri kedua Abah Thoyfur? Apa dia sebenarnya merasa tersiksa telah kehilangan masa depannya? Tentu tidak mudah menjadi ibu bagi para santri di usia semuda ini. Mana ada sih perempuan yang punya cita-cita diperistri lelaki tua seusia ayahnya? Tidak ada dia rasa. Mommy-nya saja dulu mati-matian dan sempat akan bunuh diri saat tahu akan dijodohkan dengan konglomerat tua. Untungnya hanya salah paham dan calon suami Mommy sebenarnya adalah Daddy-nya.
Berbagai spekulasi itu bergentayangan di benak Salman. Membuatnya gundah gulana.
Ya Allah, jika kesedihan Nyai Maryam itu dikarenakan Abah Thoyfur, tolong segera ambil nyawa Abah Yai supaya Nyai Maryam bisa kembali meraih mimpi-mimpinya. Kasihan, dia masih muda. Dia berhak mendapatkan suami yang muda, tampan, dan kaya seperti hamba, Ya Allah.
Doa itu reflek berdengung dalam hati Salman. Ia ingin melawan tapi juga ingin membenarkan bisikan itu. Seperti ada tarik ulur, Salman berperang dengan batinnya sendiri. Di satu sisi, dia ingin do’anya terkabul, tapi di sisi yang lain juga takut berdosa telah mendoakan buruk Kiai-nya. Yang jelas hati kecilnya mengakui kalau dia memang semakin tidak beres.