Pancasila dan Tiga Model Ukhuwah
Oleh: Siwanto, MA
Dalam perjalanan ‘melahirkan’ Indonesia, penetapan Pancasila sebagai dasar Negara merupakan suatu model penting. Sebab, penetapan Pancasila juga merupakan suatu trasformasi budaya yang tidak mudah untuk memadupadankan sekaligus menyatukan adanya kepelbagian. Bahkan jika melihat fakta-fakta historis, bangsa Nusantara telah memiliki modal sosial yang sangat berharga, suatu karakter kepribadian yang khas.
Karakter itu tercermin dari adanya kekayaan etnisitas, suku, ras, agama, dan golongan yang begitu plural. Karena Indonesia memiliki lebih dari seribu suku bangsa dengan dua suku besar Jawa dan Sunda serta ditambah suku-suku besar lainnya. Sehingga dari situ, dari pelbagai suku Masyarakat Indonesia mampu membangun kerukunan umat beragama yang telah menjadi teladan dunia.
Di samping itu, Indonesia juga merupakan negara yang mengikuti dinamika perkembangan modernitas sebagai sebuah tuntunan global. Dengan demikian, keunikan dari karakter kepribadian di Nusantara yang khas ini dapat menggabungkan tiga pilar penting. Pertama, islam sebagai system nilai dan agama yang dianut oleh mayoritas. Kedua, adanya sistem demokrasi Pancasila yang menjamin kedaulatan di tangan rakyat sepenuhnya. Ketiga, adanya tantangan modernitas di lain sisi. Oleh karena itu, penggabungan tiga aspek dalam suatu harmoni kehidupan kebangsaan dan kenegaraan tidaklah mudah.
Sedangkan dalam hal ini, menurut Kiai Ahmad Siddiq menjelaskan, pencatuman asas Islam sama dengan pencatuman marxisme, liberalisme, dan sebagainya. Oleh sebab itu, menjadikan Islam sejajar dengan isme-isme lainnya. Islam yang dijadikan asas adalah islam dalam arti ideologi bukan agama. Sedangkan ideologi adalah karya manusia, sehingga tidak akan mencapai derajat menjadi agama, tanpa terkecuali juga Pancasila.
Adapun dalam hal hubungan antar agama Islam dan Pancasila, keduanya dapat berjalan saling menunjang dan saling mengkokohkan. Keduanya tidak bertentangan dan tidak boleh dipertentangkan. Selain itu juga, tidak harus dipilih salah satu dengan sekaligus membuang dan menanggalkan yang lain. Karena menurutnya, ‘‘Bagi Nahdlatul Ulama, Republik Indonesia berdasarkan Pancasila merupakan bentuk final dari upaya membentuk negara oleh seluruh bangsa Indonesia.”
Sekali lagi kita patut bersyukur atas ditetapkannya Pancasila sebagai dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pancasila pada hakikatnya adalah kontrak sosial dan titik temu di antara para pendiri bangsa. Hal ini tercermin dari isi pidato Ir Soekorno dalam siding Badan Penyelidikan Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) pada 1 Juni 1945. Ia mengatakan;
“Kita bersama-sama mencari persatuan philoshophische grondslag,mencari weltanschauung yang kita semua setuju. Saya katakana lagi setuju! Yang saudara yamin setujui, yang Ki bagoes setujui, yang Ki Hajar setujui, yang saudara Sanusi setujui, yang Saudara Aboekoso setujui, yang saudara Liem Koen Hian setujui, pendeknya kita semua mencari modus. Tuan Yamin, ini bukan kompromis, tetapi kita bersama-sama mencari satu hal yang kita bersama-sama setujui.”
Jauh setelah penetapan Pancasila sebagai dasar negara, kita harus tahu masih banyak jalan terjal yang harus dilalui. Aneka riak ketidaksetujuan yang disebabkan adanya kekurangdalaman memahami sebuah persoalan rupanya menyebabkan banyak Gerakan yang berusaha merong-rong Pancasila. Sebut saja misalnya Gerakan sporadis Kartosoewirjo dengan Darul Islamnya, atau juga Gerakan-gerakan organisasi massa (ormas) Islam yang mengajak untuk mendirikan sistem khilafah yang masih kita rasakan denyutnya, bahkan sampai hari ini.
NU sebagai salah satu ormas di Indonesia didasari pemahaman yang jernih dengan sangat lantang menyatakan bahwa NKRI adalah bentuk final dan Pancasila sama sekali tidak bertentangan dengan Islam.
Dari kedua keputusan di atas, sesungguhnya tidak lepas dari alasan historis bahwa pendiri NU, KH. Hasyim Asy’ari adalah pencetus dan penggerak Resolusi Jihad. Di titik inilah sesungguhnya nasionalisme NU tidak bisa diragukan lagi. Bahkan pada Muktamar ke-27 tahun 1984 di situbondo, Jawa Timur, secara tegas NU memutuskan bahwa NKRI dengan Pancasila dan UUD 1945 adalah bentuk final dari perjuangan umat Islam di Indonesia.
Lebih jauh, dalam menjaga nasionalisme tersebut. Kiai Ahmad Shiddiq (1926-1991) kemudian merumuskan tiga model ukhuwah yang sangat terkenal yaitu: Pertama, Ukhuwah Islamiyah (persaudaraan umat Islam), Kedua, Ukhuwah Wathaniyyah (persaudaraan bangsa), Ketiga, Ukhuwah Basyariyyah (persaudaraan umat manusia).
Ketiga model ukhuwah yang diformulasikan Ulama Nusantara ini, patut kita renungkan dan amalkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.