Berita
Pendidikan Karakter Berbasis Tradisi Pesantren

Sudah tak diragukan lagi bahwa pesantren memiliki kontribusi nyata dalam pembangunan pendidikan. Apalagi dilihat secara historis, pesantren memiliki pengalaman yang luar biasa dalam membina dan mengembangkan (karakter) masyarakat. Bahkan, pesantren mampu meningkatkan perannya secara mandiri dengan menggali potensi yang dimiliki masyarakat di sekelilingnya.
“Pesantren merupakan lembaga pendidikan yang khas. Kegiatannya terangkum dalam “Tri Dharma Pesantren” yaitu: 1) Keimanan dan ketaqwaan kepada Allah swt; 2) Pengembangan keilmuan yang bermanfaat; dan 3) Pengabdian kepada agama, masyarakat, dan negara. Dalam pengantarnya di buku ini, Siradj (2014:xi) menegaskan bahwa pesantren merupakan lembaga pendidikan yang genuin dan tertua di Indonesia. Eksistensinya sudah teruji oleh zaman, sehingga sampai saat ini masih survive dengan berbagai macam dinamikanya,”jelas Abdullah Hamid
Farid Abbad sebagai narasumber kedua menjelaskan, “Pesantren memiliki posisi strategis untuk turut mengawal pengembangan pendidikan karakter. Pendidikan karakter merupakan upaya-upaya yang dirancang dan dilaksanakan secara sistematis untuk membantu peserta didik memahami nilai-nilai perilaku manusia dalam praktik kehidupan dalam masyarakat. Dalam proses pendidikan, internalisasi nilai-nilai budaya dan karakter merupakan salah satu upaya untuk mencegah terjadinya degradasi etika dan moral di kalangan remaja.”
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pendidikan karakter adalah penting dalam membangun moral dan kepribadian bangsa. Pendidikan karakter seyogyanya ditempatkan sebagai landasan untuk mewujudkan visi pembangunan nasional, yaitu mewujudkan masyarakat berakhlak mulia, bermoral, beretika, berbudaya, dan beradab berdasarkan falsafah Pancasila. Pesantren merupakan salah satu lembaga pendidikan yang holistik integratif. Internalisasi pendidikan karakter di pesantren ditekankan untuk menanamkan kebiasaan (habituation) tentang hal yang baik sehingga peserta didik menjadi paham (kognitif) tentang mana yang benar dan salah, mampu merasakan (afektif) nilai yang baik dan biasa melakukannya (psikomotor). Pungkas Farid Abbad