Ngaji NgAllah Suluk Maleman Menyoal Merayakan Kemiskinan dengan Bahagia

Pcnupati.or.id-Universitas Harvard pada Mei lalu, berdasar penelitiannya, menyebut Indonesia sebagai negara paling bahagia di dunia. Anugerah itu memiliki keterkaitan dengan tingkat kesejahteraan masyarakatnya. Kajian inilah yang kemudian dijadikan salah satu topik pembahasan dalam Suluk Maleman edisi ke 162 pada Sabtu (21/6) malam.
Budayawan yang juga penggagas Suluk Maleman Anis Sholeh Ba’asyin menyebut hal itu menjadi sesuatu yang menarik; karena kecuali data dari Harvard tentang ranking masyarakat Indonesia dalam hal kebahagiaan, secara hampir bersamaan muncul data tentang kemiskinan Indonesia dari Bank Dunia.
“Data Bank Dunia menyebut ada 194,4 juta, atau 68,2%, warga Indonesia masuk dalam kategori miskin, meski standar penghitungannya berbeda dengan Badan Pusat Statistik,” terangnya.
Anis lantas menyebut ada dua hal yang sebenarnya menjadi berkah bagi bangsa Indonesia. Selain sumber daya alam yang melimpah, rakyat Indonesia secara alamiah juga memiliki jaring sosial dan ikatan keagamaan yang kuat.
“Hal itu yang menyebabkan, meski berpenghasilan rendah namun masih banyak yang bisa tertawa lepas dan berbahagia. Padahal secara faktual upah minimum regional tak bisa mencukupi kebutuhan 1 keluarga kecil, suami-isteri dengan 2 anak, selama 1 bulan; meski suami-isteri tersebut sama-sama bekerja. Tapi masih mereka masih bisa ngopi dan ketawa-ketawa,” terangnya.
Lebih dari itu, Anis mengatakan, jaring sosial itu diperkuat dengan budaya guyub rukun antar masyarakat. Hal itu sebenarnya tak didapatkan dari bangsa atau negara lainnya.
“Ada banyak contohnya. Sederhananya, misalkan hidup di desa, kita bisa dengan mudah meminta bumbu ke tetangga. Dan saling berbagi tanpa pernah ada yang merasa diberatkan,” terangnya.
Berbeda dengan Indonesia, di negara Jepang, sekalipun pendapatannya jauh lebih tinggi, namun tingkat stres juga tinggi.
“Orang Jepang berangkat pagi pulang malam hari. Akhirnya mereka meluapkan kegelisahannya di jalan-jalan atau di tempat karaoke. Itu terjadi karena mereka sulit merealisasikan kemanusiaan secara utuh,” ujarnya.
Konsep kebahagiaan di Indonesia cukup berbeda dengan di berbagai negara maju. Dalam kapitalisme, bahagia nyaris diidentikkan dengan pemenuhan kepentingan duniawi, yang bersifat kuantitatif. Ini meninggalkan rongga kekosongan dalam ruhani manusia.
Paradox pertumbuhan adalah bahwa semakin kaya seseorang atau sebuah bangsa, tidak otomatis membuat orang atau bangsa tersebut lebih bahagia. Ketika punya motor pertama kali, orang akan merasa bahagia, atau lebih tepat lagi senang. Tapi ketika dia memiliki motor ke 2, ke 3 dan seterusnya; kebahagian atau kesenangannya tak akan bertambah, alias stagnan.
“Tentu kita harus bersyukur karena masyarakat kita meletakkan kebahagian lebih sebagai sesuatu yang bersifat kualitatif, sehingga orang bisa menemukan kebahagian tanpa harus lebih dahulu menjadi kaya; kebahagian bahkan bisa diraih ketika masih mereka dalam kategori miskin.”
Oleh karena itu, Anis menilai bahwa semangat guyub rukun antar warga di Indonesia merupakan harta kekayaan yang tak ternilai. Dia menyebut guyub sebagai rahmat yang semestinya direalisasikan lebih utuh.
“Rahmat ini semestinya harus dijaga bukan justru dipecah belah,” ujarnya.
Dengan dua berkah tersebut, keguyuban dan alam yang kaya, maka seharusnya menjadikan kerja seorang pemimpin di Indonesia sangatlah mudah.
“Tanpa pemimpin berbuat banyak, secara kualitatif masyarakatnya sudah bahagia. Tinggal mengelola alam untuk lebih meningkatkan kuantitas kesejahteraan rakyatnya saja,” imbuhnya.
Atas dasar alasan tersebut, Anis menyesalkan adanya gerakan memecah belah bangsa. Siasat peninggalan penjajah yang rupanya masih dilestarikan hingga saat ini.
“Saat itu Belanda tahu jika masyarakat Indonesia begitu rekat sehingga perlu dipecah belah. Banyak narasi yang dibangun untuk mengadu domba. Seperti narasi membenturkan orang Jawa dan Sunda, antara umat Islam dengan Jawa dan lain sebagainya,” tambahnya.
Anis menyebut, Babad Kediri yang seolah menarasikan pertentangan antara Islam dan Jawa justru baru muncul setelah perang Diponegoro. Yakni di tahun di pertengahan tahu8n 1800an.
Padahal jika ditelaah ada banyak bukti yang menunjukkan kohesifitas bangsa Indonesia sudah terangkai dengan kuat jauh sebelum kolonialisme masuk. Seperti saat Kalinyamat mengirimkan pasukan besar ke Malaka untuk membantu Kesultanan Johor dan Aceh dalam mengusir Portugis. Sebelumnya kesultanan Demak di bawah Pati Unus juga melakukan hal serupa.
“Sebelum adanya istilah nasionalisme modern, kita sudah punya ikatan berdasar kesamaan agama. Perang Diponegoro, meski dikenal sebagai perang Jawa tapi banyak daerah lain yang ikut terlibat. Keguyuban itu, diantaranya juga dilatari oleh kultur ajaran Islam,” imbuhnya.
Maka Anis mengingatkan agar masyarakat untuk tak mudah terjebak dalam narasi yang sengaja dibuat untuk mengadu domba. Dia selalu mengajak agar masyarakat menjaga kewaspadaan diri terhadap segala gejolak yang ada.
“Bangsa yang beragama dan paling berbahagia ini bisa carut marut kalau kita mudah diadu domba,” imbuhnya.
Budayawan asal Pati itu juga mengajak agar masyarakat tak selalu menjadikan ukuran bangsa barat untuk diterapkan di Indonesia. Anis justru menilai peradaban Indonesia dibangun dengan berbagai kekayaan yang tak akan pernah bisa didapatkan di peradaban Barat.
“Orang modern akan menganggap warga Papua dianggap tertinggal, tapi coba dibalik, apakah bisa orang Amerika hidup di Papua? Jadi jangan menyeret ikan untuk tinggal di udara atau burung tinggal di dalam air. Semua tidak bisa dipaksa karena memiliki kearifan dan kekayaannya masing-masing,” sentilnya.