OLEH: FAIZ AMINUDDIN*
Tidak ada orang jahat, yang ada adalah orang ‘Alim yang tidak mau mengingatkan orang jahat (KH. Musthofa Bisri).
Infeksi HIV/AIDS hingga kini masih menjadi masalah sekaligus ancaman global, meskipun setiap negara di seluruh dunia telah melakukan berbagai upaya penanggulangannya tetapi tampaknya belum menunjukkan hasil yang menggembirakan. Mengingat data yang ada justru menunjukkan penyebaran virus HIV dan kematian akibat AIDS semakin tinggi. Menurut data WHO tahun 2000, 58 juta jiwa penduduk dunia telah terinfeksi HIV/AIDS, 22 juta jiwa di antaranya meninggal. Kejadian ini sungguh sangat mengkhawatirkan, karena setiap hari kurang lebih 7.000 jiwa meninggal dunia akibat AIDS. Transmisi HIV masih tetap saja berlangsung hingga kini, bahkan trennya cenderung meningkat dengan jumlah 16.000 jiwa terinfeksi baru setiap hari di berbagai belahan dunia (Nasronuddin, 2010).
AIDS berasal dari singkatan Acquired Immune Deficiency Syndrome, merupakan kumpulan gejala penyakit yang disebabkan oleh Human Immunodeficiency Virus (HIV). Virus tersebut merusak sistem kekebalan tubuh manusia sebagai akibat turunnya atau bahkan hilangnya daya tahan tubuh sehingga mudah terjangkit penyakit infeksi. Virus HIV ditemukan dalam cairan tubuh terutama pada cairan sperma, cairan vagina dan darah. Penularan terutama terjadi melalui hubungan seksual yang tidak aman, transfusi darah, penggunaan jarum suntik yang tidak steril, dan penularan dari ibu hamil ke janin yang dikandungnya (KPAN, 2004).
Indonesia termasuk salah satu negara di Asia yang mengalami epidemi HIV/AIDS dengan prevalensi kenaikan tajam setiap tahunnya. Kasus HIV/AIDS di Indonesia pertama kali ditemukan di Bali tahun 1987, sejak saat itu penderita HIV/AIDS di Indonesia terus bertambah setiap tahunnya. Berdasarkan data dari Kementerian Kesehatan RI tahun 2000, kasus AIDS melonjak secara signifikan dalam lima tahun terakhir. Jumlah penyebarannya mencapai delapan kali lipat, yaitu 2.684 kasus AIDS tahun 2004 menjadi 17.699 kasus pada pertengahan tahun 2009, dan 21.770 kasus pada Juni 2010. Kondisi strategis wilayah Indonesia yang menghubungkan beribu-ribu pintu bagi orang asing untuk masuk melalui sentra perdagangan, objek-objek pariwisata dan wilayah bisnis/industri memungkinkan terjadinya transaksi seksual (Nasronuddin, 2010). Terbukti, kasus HIV/AIDS pertama yang ditemukan di Indonesia adalah di daerah objek pariwisata (Bali).
Sebagai penyakit yang sampai detik ini belum ditemukan obatnya seharusnya menjadi perhatian serius semua pihak. Terlebih, saat ini proses penyebaran virus HIV/AIDS tidak hanya berkembang di kota-kota besar saja, melainkan juga sudah masuk di daerah kota-kota kecil atau daerah pinggiran. Hal tersebut terlihat dari data yang ditemukan KPA (Komisi Penanggulangan AIDS) Jawa Tengah yang menyatakan bahwa pada tahun 2014 terdapat sebanyak 68 kasus HIV/AIDS di Kabupaten Pati. Kemudian bila dihitung selama 18 tahun terakhir tercatat 582 orang menderita ODHA dan sebanyak 81 orang di antaranya meninggal dunia (http://www.patiekspres.co/2014/05/64-penderita-hiv-aids-didominasi-irt/). Temuan virus HIV/AIDS hampir merata di 21 kecamatan, alhasil saat ini Kabupaten Pati sudah masuk zona merah virus HIV/AIDS (http://www.suaramerdeka.com/v1/index.php/read/ cetak/2013/12/03 /245122/-Pati-Butuh-Perda-HIVAIDS). Angka di atas bisa jadi seperti fenomena gunung es di mana jumlah riil di lapangan sangat mungkin jauh lebih besar.
Lebih mengkhawatirkan lagi, rata-rata temuan kasus HIV/AIDS di Kabupaten Pati telah masuk kategori stadium 4 sehingga peluang penularan kepada pasangan atau keturunannya sangat besar. Jika seseorang berada pada stadium 4 besar kemungkinan dia sudah tertular lebih dari lima tahun, sehingga intervensi kepada pasangan atau anak-anaknya yang tidak berdosa sudah terlambat (http://www.suaramerdeka.com/v1/index.php/read/cetak/2013/12/03/245122/-Pati-Butuh-Perda-HIVAIDS). Selain itu, kebanyakan pengidap HIV/AIDS didominasi perempuan dibandingkan dengan laki-laki, dan secara spesifik lebih banyak melanda ibu rumah tangga (IRT). Temuan itu sekaligus menambah daftar panjang penderita HIV/AIDS dari kategori ibu rumah tangga (IRT) yang akhir-akhir ini menduduki peringkat terbanyak dari penderita HIV/AIDS. Banyaknya ibu rumah tangga mengidap HIV/AIDS rata-rata disebabkan oleh pasangan atau suaminya yang terlebih dahulu terinfeksi HIV/AIDS (http://www.Patiekspres.co /2014/05/64-penderita-hiv-aids-didominasi-irt/).
Salah satu faktor yang ikut mempercepat penyebaran virus HIV/AIDS di Kabupaten Pati adalah rendahnya kesadaran para laki-laki “penjaja seks” dan Wanita Tuna Susila (WTS) di Pati untuk menjalani test penyakit Infeksi Menular Seksual (IMS) secara rutin, kondisi ini tentu menjadi kendala bagi pengendalian HIV/AIDS itu sendiri. Akibat tingginya angka penderita HIV/AIDS di wilayah Kabupaten Pati, maka akhirnya daerah ini harus rela mendapat predikat sebagai kota dengan peringkat ketiga terbesar penderita HIV/AIDS se-Jawa Tengah (KPA Prov. Jawa tengah). Dengan sebaran virus HIV/AIDS yang sudah tersebar hampir di seluruh kecamatan di Kabupaten Pati, itu menunjukkan bahwa pemahaman masyarakat seputar HIV/AIDS masih rendah.
Karenanya, kegiatan sosialisasi tentang HIV/AIDS seharusnya tidak hanya dilakukan saat moment peringatan hari HIV/AIDS saja, namun harus terus dilakukan dan digalakkan. Di mulai dari kalangan para pelajar/mahasiswa dan juga laki-laki maupun perempuan yang umumnya usia muda atau usia produktif, lebih-lebih yang bekerja terpisah dari keluarga (bahkan sering berpindah-pindah), antara lain yang bekerja di bidang pertambangan, pertanian, perkebunan, perikanan, konstruksi (jalan, jembatan atau pelabuhan), kehutanan, transportasi jarak jauh (pelayaran, penerbangan dan transportasi darat antar pulau), atau TKI/TKW (tenaga kerja Indonesia/tenaga kerja wanita). Mereka pada umumnya memiliki peluang lebih besar untuk melakukan “seks berisiko” maupun perilaku berisiko lain seperti mengkonsumsi miras dan napza (KPAN, 2011). Pada kelompok yang beresiko tinggi meliputi para lelaki pemakai jasa pekerja seks komersial (PSK), pekerja seks komersial (PSK) itu sendiri, dan pemandu karaoke (PK) “plus-plus”.
Untuk itu, Nahdlatul Ulama’ sebagai ormas terbesar di Kabupaten Pati perlu hadir sebagai wujud tanggungjawab moral, sosial dan spiritual dalam menanggulangi permasalahan merebaknya penyakit HIV/AIDS di wilayah Pati. NU perlu ikut andil untuk membantu pemerintah dan lembaga-lembaga terkait seperti LSM peduli HIV/AIDS, Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) tingkat provinsi dan Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) tingkat kabupaten, Dinas kesehatan, dan Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN). Bukan berarti mengecilkan kiprah yang telah dilakukan masing-masing lembaga, hanya saja melihat gerakannya yang lebih banyak memperlihatkan aspek ceremonial seperti seminar, simposium, penyuluhan, sarasehan dan acara show-show lain tentu hal itu belum mampu menyentuh akar atau core permasalahannya. Apalagi, jangkauan kegiatan-kegiatan tersebut hanya menyasar kalangan terbatas sehingga efeknya tidak begitu terasa.
MODAL SOSIAL NU
Penanggulangan kasus HIV/AIDS di Kabupaten Pati perlu sinergi di antara semua elemen masyarakat. Berbagai koordinasi antara berbagai pihak yang telah dilakukan selama ini perlu untuk ditingkatkan lagi, kalaupun angka HIV/AIDS saat ini semakin tinggi hal itu tidak serta-merta menyudutkan apalagi menjadikan salah satu pihak sebagai kambing hitam. Kiranya masalah ini menjadi tanggungjawab semua pihak untuk berperan aktif dalam memberikan kontribusi nyata dalam mengatasinya. Oleh karena itu, PCNU Pati tidak boleh pasif dan harus melakukan pencegahan guna mengerem laju tingginya angka HIV/AIDS. NU sendiri sebenarnya memiliki kekuatan yang cukup memadai untuk memberikan kontribusi lebih besar dibandingkan lembaga-lembaga penanggulangan HIV/AIDS lainnya, lantaran jejaring yang dimiliki oleh NU sudah tersebar di seluruh wilayah Kabupaten Pati dan telah mengakar kuat di tengah-tengah masyarakat.
PCNU Pati setidakanya memiliki ratusan pesantren, pengurus di tingkat kecamatan (MWC NU), Pengurus Ranting NU (tingkat desa), Muslimat NU (Ibu/perempuan NU), Anshor (Pemuda NU), Fatayat (Pemudi NU), dan IPNU/IPPNU (Pelajar NU) yang kesemuanya telah eksis hampir di setiap desa di wilayah Kabupaten Pati. Belum lagi dukungan dari lembaga-lembaga yang dimiliki NU, mulai dari Lembaga Dakwah Nahdlatul Ulama (LDNU), Lembaga Pendidikan (LP) Ma’arif, Lakpesdam NU, sampai Lembaga Takmir Masjid (LTM) NU. Semua potensi yang dimiliki NU ini manakala dapat dimaksimalkan dengan baik maka akan dapat menjadi kekuatan besar yang mampu melakukan perubahan-perubahan besar. Sejarah membuktikan bahwa NU dengan kekuatan jaringan yang dimilikinya telah banyak menyelesaikan problem-problem besar bangsa ini, baik sebelum/sesudah masa kemerdekaan, lalu di masa pemberontakan PKI, masa orde baru dan di masa reformasi seperti sekarang.
Modal sosial yang bagus itu tentu dapat ditransfer juga untuk mengurai persoalan besar di Kabupaten Pati, khususnya di dalam pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS. Hal ini penting dilakukan mengingat HIV/AIDS sudah menjadi ancaman nyata bagi masyarakat Pati dan sekitarnya. Langkah awal yang dapat dilakukan PCNU Pati adalah membangun komunikasi dengan berbagai pihak yang selama ini sudah terlebih dahulu bergerak/concern di bidang HIV/AIDS, seperti KPA (Komisi Penangulangan AIDS) Kabupaten Pati, Dinas Kesehatan Kabupaten Pati, BKKBN (Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional) Kabupaten Pati, Dinas Pendidikan Kabupaten Pati, dan LSM Peduli AIDS di Kabupaten Pati (Aliansi Remaja Independen (ARI) Pati serta Organisasi Populasi Kunci yaitu KDS Rumah Matahari).
Fungsi koordinasi dengan berbagai pihak bermanfaat untuk mendapatkan informasi yang komprehensif mengenai data-data permasalahan HIV/AIDS di Kabupaten Pati. Data-data itu penting guna penyusunan program-program strategis penanganan HIV/AIDS. Kenyataan jumlah warga Pati yang mencapai satu juta lebih tentu melahirkan keragaman di dalamnya, dan dalam konteks memberikan penanganan HIV/AIDS bila ingin lebih efektif perlu kajian yang matang bukan hanya sekedar “meng-copy paste” dari metode yang ada. Ibarat dokter dalam memberikan obat, walaupun sama-sama sakit tetapi pemberian resepnya berbeda-beda. Sama halnya dengan penanganan HIV/AIDS, bisa jadi sebuah model penanganan bisa sukses di satu daerah tetapi belum tentu sukses diterapkan di daerah lain, karena bisa jadi hal itu bertolak belakang dengan kondisi masyarakat setempat. Oleh karena itu, program yang disusun berdasarkan dugaan atau berdasakan informasi yang tidak akurat akan menyebabkan penerapan di lapangan kurang maksimal dan bahkan salah sasaran (Aminuddin, 2008).
Sebagai langkah berikutnya untuk mempertajam program penanggulangan HIV/AIDS, perlu dibedakan beberapa kelompok sasaran di lapangan, mereka di antaranya pertama kelompok rentan. Kelompok rentan adalah kelompok masyarakat yang karena lingkup pekerjaan, lingkungan, rendahnya ketahanan keluarga dan rendahnya kesejahteraan keluarga sehingga membuat peluang untuk lahirnya perilaku yang mengarah pada penularan HIV lebih besar. Kedua kelompok beresiko tertular, kelompok beresiko tertular yaitu kelompok masyarakat yang melibatkan diri pada aktivitas seksual beresiko tinggi, seperti pekerja seks komersial (PSK) dan pelanggannya, serta penyalahgunaan napza maupun juga para narapidana. Ketiga kelompok tertular, kelompok tertular yaitu kelompok masyarakat yang sudah terinfeksi HIV/AIDS (ODHA) yang memerlukan penanganan khusus untuk mencegah kemungkinan penularan kepada orang lain. Ini penting untuk diperhatikan karena HIV/AIDS tidak semata-mata masalah kesehatan semata, namun juga menyangkut masalah sosial. Hal demikian dapat dibaca dari proses penyebaran HIV/AIDS yang mayoritas dipengaruhi oleh perilaku manusia itu sendiri, sehingga upaya pencegahannya perlu memperhatikan faktor perilaku (manusia). Upaya pencegahan pada masyarakat luas dapat dilakukan melalui peningkatan pengetahuan dan keterampilan tentang cara penularan, pencegahan dan akibat yang ditimbulkannya sesuai dengan norma-norma agama dan budaya masyarakat (KPAN, 2004).
MODAL SOSIAL FUNDRAISING
Seringkali faktor dana menjadi alasan bagi LSM atau sebuah kelompok untuk membuat sebuah program aksi, sehingga ide-ide yang sebenarnya sangat menarik akhirnya menguap begitu saja. Padahal, kuncinya terletak pada niat atau kemauan, karena sesungguhnya banyak jalan yang bisa ditempuh untuk dapat mengakses sumber dana. Mengingat, banyak perusahaan-perusahaan di sekitar kita yang menyediakan dana khusus untuk kegiatan-kegiatan sosial sebagai bakti mereka kepada masyarakat (CSR). Penggalangan dana juga bisa diupayakan dari lembaga-lembaga GO maupun NGO yang menaruh perhatian pada program yang selaras dengan yang kita miliki, semisal untuk penanggulangan HIV/AIDS terdapat gerakan peduli AIDS internasional, KPA (komisi penanggulangan AIDS) dari mulai tingkat nasional sampai Kabupaten, BKKBN, Dinas Pendidikan atau Dinas Kesehatan.
Nama NU sebagai organisasi sebenarnya diuntungkan dengan nama besar yang telah dimiliki selama ini dibandingkan lembaga-lembaga yang lain, publik pun sudah mengenal apa dan bagaimana gerakan NU di Pati. Untuk itu, brand PCNU Pati hakikatnya dapat memudahkan bagi para pengurus untuk menggaet sumber dana dari berbagai instansi dan perusahan-perusahaan yang ada. Dengan demikian, faktor terpenting yang harus dipersiapkan selanjutnya adalah kemampuan untuk meyakinkan perusahaan, LSM atau instansi pemerintah yang ingin dituju dengan cara menyusun perencanaan yang matang mengenai program-program yang akan dilaksanakan. Selain itu, pihak fundraising juga harus mampu menemukan alasan-alasan yang tepat, rasional dan didukung dengan data akurat yang dituangkan dalam proposal supaya pihak sponsor/donatur tertarik untuk menyumbangkan dana atau menyumbangkan sumber daya lainnya. Jangan sampai penggalangan dana dilakukan dengan cara biasa dan asal jadi, sebab pola demikian hanya akan membuat citra dan reputasi organisasi menjadi rusak.
Potensi besar lain yang bisa diberdayakan NU adalah memperkuat fungsi LAZISNU, besarnya potensi zakat, infaq dan shodaqoh yang ada di Kabupaten Pati menurut hemat penulis dapat dikembangkan menjadi besar. Kalkulasinya adalah besarnya golongan menengah ke atas di Pati, mulai dari kalangan PNS, para pedagang/pengusaha, para petani dan lain-lain. LAZISNU dapat didorong untuk aktif membuat inovasi serta terobosan baru dalam melakukan sosialisasi dan juga dalam melakukan pendekatan kepada masyarakat. Apalagi, jumlah penduduk Kabupaten Pati yang mencapai satu juta lebih rata-rata merupakan warga nahdliyin, maka faktor penentunya adalah mau atau tidak pengurus PCNU Pati mencobanya.
LAZISNU perlu didorong untuk belajar dari Dompet Dhuafa, Rumah Zakat atau Lembaga Zakat Darul Qur’an Ustadz Yusuf Mansur. Setidaknya mereka adalah gambaran lembaga zakat di Indonesia yang super kreatif dengan strategi kampanye secara massif melalui media sosial atau media massa. Tidak jarang mereka juga melibatkan para artis, tokoh pemuda, olahragawan, cendekiawan, kalangan akademisi, pengusaha, Ulama’ dan para public figure lainnya untuk menarik para muzakki. Aktivitas lembaga mereka juga berlangsung sepanjang tahun, bukan hanya bergerak saat menjelang puasa atau lebaran saja. Hasilnya, setiap tahun mereka mendapatkan ratusan miliar dari penggalangan zakat, infaq dan shodaqoh. Artinya, kalau mereka bisa tentunya NU juga lebih mampu melakukannya.
Di kepengurusan periode sekarang kiranya menjadi moment yang tepat untuk mengawalinya, PCNU Pati dapat menggandeng tokoh-tokoh lokal untuk mensosialisasikan sekaligus menaikkan pamor LAZISNU. Bila strategi ini terwujud, PCNU Pati sebenarnya dapat menduplikasi pola ini untuk mem-back up program-program (sosial/agama) PCNU lainnya. Alhasil, masalah klasik yang dialami oleh PCNU selama ini yaitu minimnya dana yang dimiliki guna membuat gerakan-gerakan besar (seperti; pemberdayaan ekonomi umat, mendirikan gerakan dakwah media “majalah, Radio NU atau mendirikan TV NU”, membangun perguruan tinggi atau membangun Rumah Sakit) dapat direalisasikan.
Pada tataran jangka panjang, PCNU Pati dapat mengupayakan badan usaha untuk menopang operasional dan menopang program-program organisasi. Terlebih, keberadaan badan usaha dapat mendorong NU menjadi sebuah lembaga independen dan mandiri, sehingga tidak hanya bertumpu pada individu-individu tertentu. Muaranya dapat menghindarkan PCNU dari intervensi politik yang menawarkan transaksi sesaat. Sudah sepantasnya organisasi sebesar NU mempunyai badan usaha yang besar, akuntabel, independen, dan secara legal milik NU. Harapan itu bisa menjadi keniscayaan, dan PCNU Pati dapat mengambil pengalaman dari PCNU Tegal yang berhasil mengorganisir badan usaha, seperti apotik, toko dan aset wakaf yang semuanya hasilnya untuk NU (Majalah Nuansa, 2014). Masalahnya, meskipun terbilang efektif namun PCNU belum pernah menyentuh dan belum menggarapnya secara serius.
STRATEGI PENANGANAN HIV/AIDS
Sejarah mencatat, setidaknya terdapat dua aksi ekstrem yang dilakukan oleh barisan NU dalam menanggulangi masalah sosial di Kabupaten Pati. Pertama adalah “gerakan moralisasi” pada tahun 1990an di Dukuhseti atas maraknya praktek prostitusi. Gerakan yang dicetuskan oleh para tokoh NU setempat khususnya para anggota BANSER NU terbukti mampu menurunkan praktek prostitusi. Ketika itu, BANSER NU terutama setiap malam selama beberapa bulan melakukan ronda di mulut-mulut gang desa. Setiap ada mobil ”asing” yang masuk kampung akan ditanya keperluannya, bila keperluannya tidak jelas maka orang asing tersebut dilarang masuk desa. Gerakan yang dilakukan oleh para tokoh NU dan BANSER NU setempat bukan tanpa resiko, mengingat para mucikari, germo dan para pendukungnya juga melakukan perlawanan (teror). Akhirnya, perjuangan yang cukup menghabiskan energi dan waktu itu membuahkan hasil, sehingga mereka yang akan datang ke Dukuhseti dengan niat tidak baik akan mengurungkan niatnya karena kabar ”operasi” BANSER NU bergema ke mana-mana (http://suaramerdeka.com/harian/0505/03/nas05.htm).
Gerakan ekstrim kedua adalah terjadi pada kepengurusan PCNU periode KH. Imam Shofwan dan KH. Asmu’i Sadzali, di mana NU menjadi motor demo besar-besaran supaya tempat karaoke dan cafe ditutup, alasannya tempat-tempat tersebut ternyata disalahgunakan untuk praktek prostitusi dan ajang minum-minuman keras. Kegerahan dari masyarakat sudah berulang kali di suarakan tetapi pihak Pemerintah Pati justru hanya mensikapinya dengan menaikkan restribusi. Mengingat desakan dari kalangan masyarakat tidak begitu direspon oleh pemerintah, demo besar-besaran yang melibatkan ribuan orang tidak terelakkan lagi. Bupati Pati Tasiman waktu itu (2010), akhirnya menutup tempat karaoke dan kafe di daerah Kabupaten Pati. Penutupan itu dituangkan dalam Surat Keputusan Bupati Pati No 556.4/1212/2010 tanggal 17 Juli 2010 tentang penutupan, penghentian dan pencabutan izin usaha karaoke di Kabupaten Pati (http://www.tempo.co/read/news/2010/07/21/177265042/Kafe-dan-Karaoke-Resmi-Dilarang-di-Pati). Sekalipun pada akhirnya Surat Keputusan itu dianulir oleh pengadilan, setidaknya para tokoh NU sudah memperjuangkan supaya praktek-praktek amoral di Pati dapat di minimalisir.
Gerakan seperti di atas terkadang dibutuhkan untuk shock therapy, namun cara yang terencanan akan jauh lebih baik lantaran dapat menyentuh inti persoalan. Mengenai strategi yang bisa ditempuh oleh PCNU Pati dalam menanggulangi HIV/AIDS adalah dengan cara meningkatkan komunikasi, informasi dan edukasi kepada masyarakat luas. Fokus gerakan yang bisa dilakukan yaitu melalui penyadaran perilaku hidup sehat dan peningkatan pengetahuan tentang HIV/AIDS. Program aksi ini selama ini belum sepenuhnya diurusi, akibatnya masyarakat belum memiliki kesempatan dalam mengakses informasi yang benar tentang HIV/AIDS. Di samping itu, belum ada sistem yang benar-benar bisa menjamin sebuah informasi HIV/AIDS dapat diperoleh oleh semua lapisan masyarakat. Kalaupun ada beberapa kegiatan kampanye HIV/AIDS seringkali masih bersifat sporadis dan seremonial (Zaky, 2007). Untuk itu, PCNU Pati dapat mengusahakan beberapa program dengan memanfaatkan beberapa sumber daya yang dimilikinya, maupun melibatkan atau mengajak pihak-pihak lain yang berkompeten dibidangnya. Secara spesifik dapat diklasifikasikan menjadi beberapa program.
Pertama, mensosialisasikan gerakan sadar agama kepada masyarakat. Para pakar masih meyakini bahwa berangkat dari pendidikan agamalah akan lahir sebuah nilai, norma dan karakter dalam diri seseorang. Asalkan diberikan secara konsisten, tepat dan masyarakat di dalamnya dapat menguatkan ajaran-ajaran dari agama itu sendiri, maka dalam kondisi dan situasi apapun seseorang akan mampu membentengi dirinya dari perilaku-perilaku tidak bermoral (Aminuddin, 2014). Pada QS. Al’Ankabut (41) terdapat perumpamaan: “orang yang berlindung selain Allah, laksana laba-laba membuat rumah”. Serapuh-rapuh rumah adalah rumah laba-laba, demikian juga upaya manusia menjaga dan mencegah intervensi HIV/AIDS, manusia harus menyadari bahwa dirinya mempunyai titik lemah, maka perlu senantiasa diingatkan dan saling mengingatkan agar mampu mengontrol dirinya dari tindakan yang beresiko dari ancaman HIV & AIDS (Nasronuddin, 2010).
Beberapa individu di Indonesia telah masuk ke dalam cengkeraman HIV, kenapa terjadi? Mereka ini umumnya kurang menyadari dan mensyukuri akan dirinya, bahwa manusia diberi kedudukan mulia oleh Allah, memiliki akal sebagai teknologi tercanggih yang diciptakan Allah SWT. Hanya saja terkadang manusia lalai, dan salah satu kelalaian manusia adalah sifat selalu merasa kurang, termasuk merasa kurang bahagia yang mendorong kesempurnaan manusia menjadi tereduksi dan terdegradasi. Jiwa manusia akhirnya dikuasai nafsu yang mendorong bertindak malasuai (semakin jauh dari fitrahnya). Termasuk dalam melakukan aktivitas seksual, mereka terus merasa kurang puas sehingga suka berganti-ganti pasangan, sehingga akhirnya mereka masuk perangkap HIV/AIDS (Nasronuddin, 2010).
Kedua, bekerjasama dengan LTM (Lembaga Ta’mir Masjid) NU, PCNU dapat membangun pusat informasi HIV/AIDS di setiap Masjid/Mushola dengan menempelkan poster, pamflet atau buletin di papan pengumuman sehingga setiap orang yang masuk dapat membaca informasi tersebut. Ditambah lagi, PCNU Pati dapat membuat khutbah jum’at untuk kemudian dibagikan di masjid-masjid yang berisi mengajak masyarakat untuk menjauhi perilaku yang beresiko terkena virus HIV/AIDS.
Ketiga, NU dapat menggunakan jaringan LP Ma’arif dan RMI PCNU Pati untuk bisa masuk kalangan remaja yang rata-rata masih duduk di bangku sekolah (SMP/MTs, SMA/SMK/MA), pondok pesantren atau perguruan tinggi. Khusus untuk penanganan remaja tidak dipungkiri dibutuhkan ketelatenan, lantaran remaja merupakan sosok yang memiliki energi yang melimpah, dan energi itu tidak boleh diabaikan begitu saja. Artinya, energi itu harus disalurkan untuk mewadahi kreativitas dan passion mereka, dengan begitu energi remaja yang melimpah dapat terakomodasi pada hal-hal yang positif. Seperti terakomodasi pada bidang entrepreneur, olahraga, seni, intelektual atau berorganisasi (Aminuddin, 2014).
Untuk pemateri/narasumber penanganan remaja, PCNU dapat menggandeng pihak luar yang berkompeten dalam masalah pendidikan seksualitas terutama yang berkaitan dengan materi reproduksi. Mengingat relasi antara HIV/AIDS, seksualitas dan reproduksi sangatlah erat. Isu kesehatan reproduksi bisa menjadi pintu masuk untuk memberikan informasi kepada remaja untuk tidak melakukan seks bebas. Di dalam pokok materi juga berisi tentang life skill yang meliputi keterampilan komunikasi, pemecahan masalah, pengambilan keputusan, perilaku assertif (berani mengungkapkan isi hatinya) dan self-esteem (harga diri). Tema-tema ini menjadi sebuah landasan bagi remaja untuk berani mengatakan tidak pada seks bebas dan narkoba. Dengan kemampuan skill ini remaja tidak saja terbebas dari risiko KTD (kehamilan tidak diinginkan) dan IMS (infeksi menular seksual), akan tetapi juga HIV/AIDS (Zaky, 2007).
Keempat, gencar melakukan sosialisasi HIV/AIDS melalui pengajian rutin di tingkat desa yang dikelola ranting NU, Muslimat, Anshor, Fatayat, IPNU dan IPPNU kepada para keluarga. Karena, dengan ketahanan keluarga yang kuat diharapkan Ayah, Ibu dan anak dapat memahami bahaya dari penularan HIV/AIDS. Orang tua juga harus didorong untuk senantiasa memberikan bimbingan dan perhatian supaya anak tidak latah, tidak kaget, dan tidak silau terhadap gemerlapnya dunia (Aminuddin, 2014). Realita empiris menunjukkan bahwa penderita HIV/AIDS berasal dari keluarga yang kurang harmonis, terjadi ketimpangan dalam konsolidasi dan pembinaan para anggota keluarga. Keluarga sebagai unit terkecil sering menjadi sasaran intaian HIV/AIDS, sehingga untuk menghindarinya setiap anggota keluarga perlu dibekali kemampuan mengolah dan mengoptimalkan dua kekuatan yang lahir dari dua potensi manusia, yaitu: hati (heart) dengan positive feeling, pikiran (mind power-brain power) dengan positive thingking, dan manfaat kedua potensi tersebut adalah perilaku (behavior) dengan positive action (Nasronuddin, 2010).
Kelima, NU melalui jejaring yang dimiliki mendorong untuk lahirnya kekuatan masyarakat. Masyarakat merupakan lembaga pengontrol bagi terciptanya tatanan sosial yang beradab dan bermoral, sehingga apabila kontrol berjalan dengan baik maka oarang-orang yang ada di dalamnya akan hidup teratur dan terkendali. Sebaliknya, jika organisasi masyarakat permissif dan tidak berfungsi dengan baik, anggota di dalamnya akan kehilangan bimbingan, kontrol sosial dan tidak ada lagi sanksi sosial. Bila sudah demikian, akhirnya banyak ditemukan perilaku-perilaku liar serta menyimpang, dan orang-orang yang menjadi bagian dari masyarakat itu pada akhirnya akan bertindak semaunya (Aminuddin, 2014). Jalan bagi NU untuk menghidupkan kekuatan masyarakat adalah dengan mendorong dalam setiap pertemuan atau dialog rutin di masyarakat (mulai dari tingkat RT, RW dan desa) dapat memasukkan isu-isu mengenai bahaya HIV/AIDS. Apabila kegiatan tersebut dapat berjalan secara berkala, hal itu akan memperkuat kekuatan sosial yang pada akhirnya melahirkan advokasi kebijakan (Zaky, 2007). Efeknya, manakala muncul potensi perilaku HIV/AIDS, tanpa disuruh masyakat akan bergerak dengan sendirinya.
Keenam, PCNU Pati membutuhkan jaringan media dan dunia kampus untuk memperbesar kekuatan dalam mendorong lahirnya opini anti-HIV/AIDS di ranah publik. Media dalam konteks gerakan penanggulangan HIV/AIDS di masyarakat dapat menggiring persepsi masyarakat dan membuat propaganda dari message bahaya HIV/AIDS. Sedangkan kalangan akademisi penting untuk dilibatkan dalam merumuskan kebijakan, penelitian dan evaluasi kegiatan penanggulangan HIV/AIDS yang telah dilakukan. Minimal dengan media dan kampus masyarakat bisa mendapatkan informasi dan pendidikan yang berkualitas tentang HIV/AIDS. Ketujuh, pada tahap berikutnya adalah dengan menurunkan kerentanan pada kelompok masyarakat beresiko melalui peningkatan pendidikan dan peningkatan taraf ekonomi. Dengan cara memberikan pelatihan, suntikan modal (bisa diupayakan dari CSR, LAZISNU atau badan usaha NU) dan pendampingan usaha secara continue sehingga dari gerakan ini akan muncul entrepreneur-entrepreneur baru yang bisa membuat mereka berdikari dan mandiri. Dengan demikian mereka akan menjadi manusia-manusia yang maju dan lebih mampu menjaga kehormatannya.
Kedelapan, PCNU Pati penting untuk bersinergi dengan berbagai lembaga terutama dengan Pemerintah (Pemkab Pati). Bagaimanapun juga pemerintah mempunyai kekuatan melalui kebijakan yang bisa mereka buat. Beberapa hal yang dapat didorong PCNU Pati dari pemerintah adalah supaya mereka membuat peraturan yang sifatnya mengikat, di antaranya membuat Peraturan Daerah (PERDA) dan mendorong pihak desa untuk membuat Peraturan Desa (PERDES) untuk dapat menanggulangi HIV/AIDS (Zaky, 2007). Aturan ini dibuat dalam kerangka perlindungan hak masyarakat untuk terbebas dari virus HIV/AIDS. Kehadiran PERDA dan PERDES akan mempermudah dan mempercepat proses penanggulangan HIV/AIDS, lantaran di dalamnya memiliki payung hukum serta didukung dengan keberadaan anggaran (Aminuddin, 2014).
Poin-poin penting yang bisa dimasukkan dalam PERDA ataupun PERDES yaitu membangun pusat informasi HIV/AIDS di masing-masing rumah Ketua RT/RW, di setiap kantor Kepala Desa, kantor pemerintah dan kantor-kantor dinas. Gencar melakukan sosialisasi bahaya HIV/AIDS di berbagai tempat strategis yang ditujukan kepada masyarakat umum, seperti di pasar-pasar tradisional, super market, mini market dan pusat-pusat keramaian yang lain. Poin berikutnya yang tidak kalah penting adalah keterlibatan aparat TNI/Polri untuk membantu SATPOL PP dalam mengamankan PERDA atau PERDES penanggulangan HIV/AIDS. Apabila tahapan demi tahapan di atas dapat terlaksana dengan baik bukan tidak mungkin angka HIV/AIDS di Pati bisa ditekan serendah-rendahnya. Wallahu ‘a’lam.
Daftar Pustaka
Faiz Aminuddin, Komunikasi Dakwah Dalam Perspektif Psikologi, CV. Arta Wahyu Sejahtera: Yogyakarta, 2008.
Faiz Aminuddin, Remaja Dan Seks Bebas, Buletin Pribumi Yogyakarta Vol II/INSIG/VII/2014.
Faiz Aminuddin, Seksualitas Remaja, Buletin New Terapika Yogyakarta Vol III/Biro Konseling Mitra Ummah UIN SUKA Yogyakarta/IV/2014.
Komisi Penanggulangan Aids Nasional, Strategi Nasional Penanggulangan HIV/AIDS, KPA Nasional: Jakarta, 2004.
Komisi Penanggulangan Aids Nasional, Strategi Nasional Penanggulangan HIV/AIDS, KPA Nasional: Jakarta, 2011.
Majalah Nuansa, Tantangan Pemberdayaan Ekonomi Umat, Vol I/LTN PCNU Pati/VII/2014.
Maesur Zaky, Membangun Gerakan Berbasis Masyarakat Dalam Pencegahan Dan Penanggulangan HIV-AIDS, PKBI Yogyakarta: Yogyakarta, 2007.
Nasronudin, Penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia Berbasis Biopsikososio-Spiritual Excellence, Pusat Penerbitan dan Percetakan Unair (AUP): Surabaya, 2010.
http://suaramerdeka.com/harian/0505/03/nas05.htm, Minggu, 29 September 2014, Pukul 12.10 WIB.
http://www.suaramerdeka.com/v1/index.php/read/cetak/2013/12/03/245122/-Pati-Butuh-Perda-HIVAIDS, Rabu 17-09-2014, Pukul 23.30 WIB.
http://www.patiekspres.co/2014/05/64-penderita-hiv-aids-didominasi-irt/, Rabu, 17-09-2014, Jam 23.00 WIB.
http://www.tempo.co/read/news/2010/07/21/177265042/Kafe-dan-Karaoke-Resmi-Dilarang-di-Pati, Minggu, 29 September 2014, Pukul 12.30 WIB.
*Sekretaris LTN PCNU Pati