Ketika Cinta Dipertanyakan
Oleh : J. Intifada
Namaku Gami. Aku tinggal di desa paling utara Kabupaten Gresik. Kota sebelum ibukota jawa timur ini tak lebih besar dan tak kurang maju dari Surabaya. Dari lahir hingga kini sudah beranjak dewasa. Aku punya dua sahabat. Namanya Kristal dan Banu. Mereka juga lahir dan tinggal di sini.
Kami bersahabat sejak kecil. Bersekolah di sekolah yang sama dari MI hingga MA. Untuk MA kami sekolah diluar desa kami. Untuk sampai ke MA, kami harus menempuh jarak kurang lebih 1 jam naik motor. Aku dan Banu bergantian memboncengkan Kristal.
Desa kami sangat terpencil. Jauh dari pusat kota. Ciri khas desa kami adalah tersembunyi di balik tambak-tambak bandeng. Sepanjang mata memandang adalah tambak bandeng. Sebelum masuk desa kami, warga luar desa harus membayar kontribusi dari gapura tambak desa. Jalan yang dilewati kendaraan hanya cukup untuk 1 mobil. Bila berpapasan, salah satunya harus mengalah untuk berhenti atau mundur mencari jalan yang agak lebar agar bisa dilewati. Setelah lawan sudah lewat, kita bisa melanjutkan perjalanan.
Pesona desa kami memiliki daya tarik sendiri. Terkenal karena Ikan Bandengnya. Setiap kali festival yang diadakan oleh pemkab, yang paling dicari adalah Ikan Bandeng Mengaree. Kata orang-orang, rasa ikan Bandeng kami beda dari tambak desa lain. Desa kami dekat dengan laut. Maka dari itu desa kami sering kali disebut pulau mengaree. Karena untuk menuju ke desa kami harus melewati ribuan tambak.
Orang tua ku dan Banu adalah nelayan tambak. Kami mempunyai tambak yang luas. Tetapi kehidupan kami sangat sederhana. Kami hanya menggunakan hasil panen tambak untuk kebutuhan. Keluarga Kristal pembuat Bonggolan. Makanan khas desa kami. Makanan ini biasa dijual di desa kami. Tapi sering juga dijual diluar desa. Setiap kali ada saudara yang tinggal di luar desa berkunjung, biasanya akan disuguhi dengan bonggolan ini. Makanan ini terbuat dari ikan laut dan tepung beras. Bumbunya hanya dari bawang putih dan garam. Tapi rasanya tak kalah dengan masakan eropa.
Siang itu, selesai pengumuman kelulusan, Kristal mengajakku dan Banu ke pinggir laut. Kami duduk di gubuk menikmati laut yang memisahkan antara pulau jawa dan madura. Selat madura yang menyejukkan. Dari tempat kita berteduh terlihat pulau madura di seberang sana.
Kristal sepertinya ingin menceritakan sesuatu. Saat menemuiku, dia sudah bersama Banu dengan wajah ditekuk.
“Apakah kalian tidak ingin kuliah? Atau keluar dari desa ini?”
“Untuk apa?” tanya Banu
“Hanya saja, aku ingin pergi ke kota. Melihat dunia yang lebih luas.”
“Lalu siapa yang akan membantu orang tua kita?”
Kristal tak menanggapi lagi. Banu pun demikian. Aku memandangi mereka bergantian. Apa yang sebenarnya yang ingin mereka bicarakan.
“Orang tua ku ingin aku menikah.”
“Dengan siapa?” Tanyaku dengan terkejut
Banu menunduk. Dia tidak melihatku ataupun Kristal. Tak ada yang menjawab. Aku kembali bertanya.
“Kenapa kalian diam?”
Mereka tetap tak bergeming. Mematung dan memandang lautan seperti seseorang yang putus asa. Tak ada ucapan yang diucapkannya lagi. Lama aku menunggu dengan frustasi. Aku meninggalkan mereka dengan perasaan jengkel. Aku tak mengerti jalan pikiran Banu dan Kristal. Kenapa mereka tiba-tiba mendiamkanku. Apa yang sudah mereka sembunyikan dariku.
Aku pulang dengan perasaan janggal. Menendang batu kerikil yang menghalangi. langkahku semakin lebar. Ingin segera sampai rumah. Setelah sampai, aku langsung masuk kamar. Menghempaskan diri di kasur yang perlu tambahan kapuk. Ibu di belakang memasak ikan laut hasil tangkapan bapak. Selain menambak, bapak juga terkadang pergi melaut. Kapalnya disandarkan di tepi tembok pembatas laut dan daratan dekat gubug tadi. Desa kami tak punya pantai. Hanya tebing pinggir pantai.
Di dalam kamar, aku melihat langit-langit kamar. Mencoba memahami perasaan Kristal. Tetapi tidak menemukan. Yang kutahu dia sering membonceng Banu. Kalau pergi suka mengajak Banu. Padahal aku juga sahabatnya.
Dalam keadaan lelah, aku tertidur. Tak berapa lama, bapak masuk ke kamarku.
“Gami…”
Aku mengerjap-ngerjap mata. Beranjak bangun dan bapak sudah duduk di sebelahku.
“Besok, kita ke rumah Kristal.”
“Untuk apa pak?”
“Menemui orang tuanya.”
“Ada apa dengan Kristal dan orang tuanya?”
“Kita akan melamar Kristal.”
“Bapak… itu tidak mungkin.”
“Kenapa?”
“Aku dan kristal sudah lama bersahabat pak.”
“Malah lebih bagus dong,”
“Tapi pak?”
Bapak tidak menjawab lagi kemudian keluar meninggalkan kamarku. Aku mencoba mencerna apa yang disampaikan bapak. Mulai teringat dengan kegelisahan dua sahabatku tadi. Bergegas berdiri dan pergi mencari Banu dan Kristal. Aku yakin mereka masih di gubug dekat tebing. Rintik hujan yang tiba-tiba turun tak ku hiraukan.
“Banu……. Kristal ………………” Teriakku
Banu dan Kristal yang masih duduk di gubug menanti hujan reda menoleh ke arahku.
“Kamu kenapa Gam?”
“Aku tahu sekarang.” Kataku kemudian setelah sampai di tempat mereka.
“Kamu akan dijodohkan denganku kan?”
Banu dan Kristal saling pandang keheranan.
“Besok, bapak mengajakku ke rumahmu.”
Kristal tak menjawab dan menoleh ke arah lautan. Kami bertiga terdiam. Dari kecil dia ingin keluar dari desa ini. Pergi merantau ke kota. Mencari pengalaman baru sebelum menikah. Usia untuk menikah bagi Kristal adalah diatas 25 tahun.
Kami sedang memikirkan bagaimana perjodohan ini gagal. Setidaknya menunda agar kami tidak segera menikah.
“Apakah kamu tidak berbicara ke orangtuamu bahwa kamu ingin ke kota?”
Kristal menghela napas. Diapun bercerita. Semenjak kenaikan kelas, dia sudah mengatakan ke orang tuanya untuk melanjutkan studi ke kota. Tetapi bapak ibunya tidak menyetujuinya. Orang tuanya masih beranggapan anak perempuan selesai MA harus segera menikah. Kalaupun ingin pergi ke kota harus ada keluarga atau sanak yang mengikuti. Sedang Kristal adalah anak tunggal. Mau tidak mau dia harus menikah terlebih dahulu.
“Lalu apa kamu punya solusi?”
Kristal menggeleng. Banu melihat kami kebingungan juga tak tahu harus mengatakan apa. Kami tenggelam dalam pikiran masing-masing. Mencari solusi bagaimana kami keluar dari masalah perjodohan ini.
Menjelang petang, kita beranjak pulang. Langkah kami gontai. Masih memikirkan bagaimana besok akan terjadi.
“Aku akan mengantarmu ke kota.” Tiba-tiba Banu bersuara
Kami berhenti dan menengok Banu yang berjalan di belakang.
“Bagaimana kalau orang tua Kristal marah?” jawabku
“Kamu yang harus bisa meyakinkan orang tua mu untuk tidak jadi ke rumah Kristal.”
“Lalu?”
“Aku akan datang ke rumah Kristal meminta ijin untuk mengajaknya ke kota. Kamu hanya perlu mengulur waktu agar kami bisa pergi ke kota dulu.”
Ide Banu cukup menantang. Wajah Kristal mulai terlihat berseri. Untuk pertama kali aku melihatnya tersenyum hari ini.
“Kamu akan meminta ijin apa?”
“Itu yang sedang aku pikirkan.”
Aku berpikir kembali. Bagaimana masalah perjodohan ini menjadi rumit. Kami tidak tahu bahwa orang tua kami sudah merencakan ini sejak lama. Aku memandangi Banu. Terlihat wajah cemas dan khawatir dengan Kristal. Aku sebagai sahabat tidak pernah tahu isi hati mereka.
Kami pulang ke rumah masing-masing. Adzan magrib sudah mulai berkumandang di masjid dan mushola. Para orang tua dan anak kecil bergegas menyiapkan diri. Berbondong-bondong akan sholat berjamah.
“Gami, cepat mandi.”
Ibu melihatku masuk ke rumah dengan wajah yang lesu. Dia sudah siap berangkat ke mushola bersama bapak. Bapak hanya melihatku dan berlalu.
Aku memasuki kamar. Membersihkan diri dan melaksanakan kewajiban.
Malamnya bapak memanggilku kembali. Kami duduk bertiga bersama ibu diantara aku dan bapak.
“Bapak, kristal mempunyai mimpi. Dia tidak ingin menikah setelah lulus kuliah.”
“Tapi usia kalian sudah cukup untuk menikah.”
“Tidak bisakah pernikahan itu ditunda 4-5 tahun lagi pak. Usia kami masih belasan.”
Bapak berpikir. Ibu hanya mendengarkan. Aku menjelaskan kepada bapak, rentan sebuah pernikahan di usia muda. Kami masih ingin berkembang, menyiapkan mental. Apalagi kristal seorang perempuan. Menjadi calon istri dan ibu harus mempunyai mental yang cukup kuat juga.
Finansial kami juga belum ada. Tidak mungkin rumah tangga kita akan ditanggung orang tua terus menerus. Kami juga ingin mandiri. Secara materi dan non materi.
“Lalu apa keputusanmu?”
“Ijinkan aku untuk pergi ke kota pak. Aku akan belajar.”
“Kamu ingin melanjutkan kuliah? Bukannya kamu ingin membantu bapak mengelola tambak?”
Ibu mencoba menengahi, mengatakan bahwa memang sebaiknya aku pergi melanjutkan kuliah. Agar pikiran dan wawasannya terbuka. Setelah selesai kuliah dia bisa membantu mengembangkan tambak bandeng bertambah unggul.
“Kamu akan kuliah mengambil jurusan apa?”
“Perikanan pak,”
“Baiklah.”
Bapak akhirnya menyetujui keputusanku untuk kuliah. Mungkin saja ini bisa jadi keputusan yang terbaik saat ini. Tentang perjodohan aku akan mengulur lebih lama lagi.
Paginya, aku menemui Kristal. Disana Banu sudah menunggu diluar.
“Kamu sudah bertemu orang tua Kristal?”
“Kristal sedang membujuk bapaknya.”
Aku memberanikan diri mengetuk pintu dan memberi salam. Kristal dan orang tuanya sedang di ruang tengah. Mereka menoleh dan melihatku sudah memasuki ruang tamu.
“Punten pak, badhe matur.”
“yok opo kon mrene? nangndi bapakmu?”
“Bapak mboten sios mriki pak.”
“Yok opo, Bapak mu ate ingkari janjine tah?”
“Mboten pak, le kate bapak niku keputusan wonten kulo.”
“Yok opo iku?”
“Kulo badhe lanjut kuliah pak. Kristal mari cerito kaleh kulo kepengen kuliah nang suroboyo.”
Bapak kristal terdiam. Melihat ku dan Kristal.
“Banu, yok opo kon? Ate melu kuliah tah?”
Banu yang diluar tergagap. Menghampiri kami dengan menunduk.
“Mboten pak, badhe mbantu cak kulo wonten tambak mawon.”
“Yok opo kon ora kuliah? Arek 2 iki kate ngomong pengen kuliah.”
Banu melirikku dan kristal. Dia tidak tahu bahwa aku memutuskan kuliah untuk menunda perjodohan.
“Terus perjodohanmu piye mbi Kristal?” bisik Banu
“Bisa kita atur. Yang penting hari ini aku dan bapak tidak jadi melamar. Kamu ikut kita kuliah saja.”
Banu tidak menjawab. Aku tahu berat baginya untuk meninggalkan Mengaree. Disini dia hanya tinggal dengan ibu dan kakaknya. Dia pasti tidak ingin membebani ibu dan kakaknya. Walau dalam hatinya, dia pasti ingin melanjutkan kuliah bersama kami.
“Terus lamaranmu piye nang Kristal ?” bapak Kristal masih menunggu jawabanku.
“Mangke mari kuliah pak.”
“Kapan iku?”
Kristal mulai mengerti. Ini caraku untuk menunda perjodohan kami. Dia mencoba menjawab bahwa selesai kuliah perkiraan 4-5 tahun. Bapak kristal berkerut. Kenapa harus lama. Kenapa tidak sekarang saja. Aku menjelaskan bahwa kita belum siap menikah. Menunggu usia kami matang dan siap membina rumah tangga.
Banu dan Kristal saling pandang mendengar jawabanku. Aku mengedipkan mata sebelah kepada mereka. Berharap mereka mengerti bahwa ini untuk mengulur waktu saja. Akhirnya dengan berat hati, bapak kristal menerima keputusan kami.
Selesai membujuk bapak kristal, kita bertiga pergi ke gubug pinggir laut.
“Kenapa akhirnya kamu mau kuliah?” kristal memulai pertanyaannya
“Bagaimana lagi. Aku berpikir, bila besok kamu kabur dengan Banu itu malah akan menyulitkannya.”
“Menyulitkan bagaimana?” Banu ganti bertanya
“Akan sulit bagimu untuk melamar kristal.”
Kristal dan Banu saling berpandangan. Aku mengerti arti dari tatapan mereka.
“Tak perlu kalian jelaskan. Persahabatan kita tetap akan utuh.”
Kristal ingin menjelaskan sesuatu tetapi aku sergah. Aku memandangi Banu dan membujuknya untuk ikut kuliah bersamaku.
“Aku akan membujuk ibumu.”
“Ibu pasti menyetujuinya.”
“Lalu kenapa kamu keberatan?”
“Tidak semudah itu.”
Kristal memegang tanganku. Mencoba menghentikanku membujuk Banu.
“Apakah kamu tidak ingin membahagiakan ibumu? Kalau ibumu menginginkan kamu menambah ilmu dan pengalaman.”
“Kakakku dan ibu akan bekerja keras untuk mewujudkan itu. Aku tidak ingin mereka melakukan itu.”
“Pikirkanlah hari esok Banu. Mungkin sekarang mereka bekerja keras untukmu. Tiba saatnya kamu yang akan membahagiakan mereka. Kita sama-sama membangun Mengaree ini tidak hanya terkenal dengan ikan Bandengnya. Tapi menjadi destinasi wisata perikanan nomer 1 tingkat nasional. Kelak bandeng kita akan terkenal tidak hanya di Gresik saja. Tapi diseluruh negeri dan dunia. Kita harus belajar dan mewujudkan itu.”
Banu memandangiku dan Kristal bergantian. Memutuskan keluar dari desa kami tidak hanya berat, tapi juga sebuah tanggung jawab. Bagaimana setelah kami selesai dengan diri kita diluar bisa kembali dan membawa manfaat untuk desa tercinta kami.
Banu mengangguk dan menyetujui. Kita bertiga sepakat akan melanjutkan kuliah. Kristal ingin masuk keguruan. Aku dan Banu akan mendaftar ke perikanan. Lusa kita berangkat ke Surabaya. Mencari kampus dan mencari tempat tinggal sementara. Tentang perjodohanku dan Kristal, biarkan menjadi misteri di masa depan.