Sejuta Tangan dalam Secangkir Kopi

Oleh: Maulana Karim Sholikhin*
Sekarang bayangkan! (Mungkin pembukaan ini cukup intimidatif, tapi lanjutkan saja!) Pagi buta bercampur gerimis yang dingin memang waktu yang baik untuk membuat secangkir kopi panas.
Hidupkan kompor, seduh air hingga mendidih, lalu siapkan bubuk kopi dan gula. Setelah air matang, tunggu barang semenit, lalu tuangkan kedalam cangkir berisi kopi dan gula, aduk sampai rata.
Sesimpel itu lah kebahagiaan, padahal nyatanya tidak. Salah besar jika kita menilai, membuat kopi di pagi hari sesederhana itu.
Kalau tidak percaya, kita mulai dari kopinya. Mula-mula, petani melakukan pembeninan kopi, kemudian menyeleksi benih terbaik. Lalu, mereka menanamnya di lokasi yang pas, ketinggiannya pas, suhunya pas, tak terlalu hangat, tidak pula terlalu beku.
Beberapa tahun kemudian pohon distek, jika perlu. Jangan lupa air juga pupuk.
Singkat cerita, kita sampai pada proses panen. Kopi disortir berdasarkan warna, kopi lanang-kopi wedok dan lain sebagainya. Angkut menuju arena penjemuran, penggorengan dan penggilingan hingga tersaji bubuk kopi yang siap kita santap dalam dinginnya pagi (jangan lupakan pula pihak distributor).
Soal seduh menyeduh pun tak kalah ribet. Kompor, panci plus gas LPG 3kg. Prosesnya begitu panjang. Produksi hingga distribusi sampai kita mendapatkan benda-benda itu di toko, panjang, rumit dan butuh banyak orang.
Jika harus berterima kasih, maka kita harus mengucapkannya kepada puluhan atau ratusan petani kopi, pemilik lahan kopi yang mendapatkan hidayah untuk menanami lahan kopi.
Belum lagi sopir pengangkut kopi, tukang giling, distributor, Pertamina yang bikin gas LPG dan BBM, bapak-bapak warung kelontong yang menjual kopi sehingga kopi bubuk sampai ke tangan kita.
Termasuk para engeneer pabrik Mitsubishi yang menciptakan truk Canter sebagai moda angkutan, awak kapal yang membawa mesin-mesin truk, dari Jepang ke Indonesia, pabrik karoseri. Pemgrajin keramik yang membuat cangkir, petani tebu dan karyawan pabrik yang membuat gula, dan sebagainya dan sebagainya.
Secangkir kopi pagi! satu aspek kecil dalam hidup yang kita kira sederhana ternyata membutuhkan ribuan tangan untuk merealisasikannya. Bagaimana dengan kebutuhan-kebutuhan lain?
Tanpa sadar, kita hidup kita hingga detik ini terjadi berkat jutaan tangan tak terlihat. Jadi, masihkah layak bagi manusia untuk saling membenci?
Bisa jadi, mas-mas yang kita pisuhi karena nyebrang sembarangan adalah sopir gas LPG yang membuat kita bisa menyeduh kopi pagi. Atau mungkin ibu-ibu yang kita acuhkan adalah karyawan Polytron, yang membuat TV, sehingga kita bisa mengakses informasi dari penjuru dunia.()
*Penulis adalah pendidik di Ponpes Shofa Az Zahro’ dan MI Hidayatul Islam (MHI) Gembong