Iklan
Parodi

Dari Rumah Ke Rumah

Oleh : Niam At Majha

Tiga Minggu telah berlalu. Kegiatan pengajian akbar dengan tema santunan dengan para Yatama telah berlalu. Dan setiap bulan Muharram kegiatan tersebut telah menjadi sebuah rutinitas lazim dan lumrah. Agenda pengajian santunan yang abadi. Rutinan tahunan dengan berburu pahala dengan janji surga. Melalui iming iming surga dan berlimpah pahala. Memburu baik melupakan terbaik dan banyak yang telah lupa apabila para yatama adalah manusia yang punya hati dan nurani, mempunyai perasaan dan rasa, ada batin yang terpendam. Mengapa setiap santunan harus di akbarkan dan dipertontonkan? Dengan dalih apapun, bukan cara yang santun untuk memanusiakan manusia.

Saya yatim sejak kecil. Jadi mengetahui perasaan seorang anak kecil ketika di pertontonkan, di kasih santunan, di sholawatkan demi satu tujuan. Pahala dan surga. Dermawan, berempati dan peduli. Sebagai penghias story Whatsapp, beranda Facebook dan portal portal media online. Para dermawan lupa jika anak yatim juga manusia yang punya hati, perasaan, dan nurani. Jika peduli datanglah kerumahnya, ajak bicara dari hati ke hati; tanpa foto tanpa selfi adakah yang mampu dan mau?

Konten Terkait
Iklan

Beberapa parodi yang saya tulis seringkali membahas masalah ketimpangan sosial dan ketidakadilan bagi seluruh rakyat Indonesia, yang bersatu padu dalam nusa dan bangsa. Berbahasa satu bahasa Indonesia. Saya berusaha merekam realitas yang terjadi di lingkungan masyarakat yang telah merdeka 77 tahun lamanya.

Pada tulisan kali ini saya akan sedikit mengemukakan unek-unek yang saya alami puluhan tahun lalu, dan ingatannya masih terpatri hingga saat ini. Dan saya pula mengamini apabila semua anak yatim lainnya juga mengalami perasaan  sama. Kesedihannya di jual belikan demi sebuah eksistensi di media sosial, serta sebagai jalan yang katanya dapat imbalan surga dan pahala. Padahal pahala dan surga menjadi hak priogratif  Tuhan. Bukan manusia menjadi penentu.

Bulan lalu, panitia pengajian akbar selalu datang ke rumah saya dan setiap tahunnya yang datang selalu berbeda orangnya. Dan jawaban saya selalu sama, jika tak di jadikan acara bisa? Datang kerumahnya, silaturahmi, berbincang bincang. Dan mereka jawabnya selalu sama. Tak bisa, jika begitu nanti tak ada yang lihat, tak meriah, bukankah dalam kebaikan harus disiarkan kepada semua orang, agar supaya yang belum pernah ikut santunan biar tertarik menjadi donatur atau dermawan.

“Ini pahala dan di janjikan surga”

Saat mendengar itu semua, saya tak mau berdebat dan saya pun tak memberikan sumbangan santunan. Biar dikatakan, di gremengi atau lainnya saya tak jadi soal. Saya punya cara tersendiri untuk saling memahami terhadap mereka yang yatim. Sebab dulu saya pun yatim, jadi lebih mengerti bagaimana perasaan, hati mereka saat di pertontonkan dan di siarkan. Belajarlah menjadi manusia seutuhnya, memanusiakan manusia. Datanglah dari rumah ke rumah. Tuhan tahu tapi menunggu.

Iklan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Konten Terkait

Lihat Juga
Close
Back to top button