Iklan
Cerpen

Bagai Pungguk Menjerat Bulan Part 1

Oleh: Elin Khanin

Nembak cewek mana pun yang lewat, di depan umum?

“Siapa takut?!” tukas cowok itu tanpa gentar sembari bangkit dari duduk. Bukan sifatnya memang jika harus merasa ketakutan atau gemetaran sejak kotak tempat kertas berisi tantangan itu diedarkan ke sepenjuru aula.

Konten Terkait
Iklan

Namun, dia sempat heran. Dari sekian banyak gulungan kertas yang disodorkan pada santri baru, haruskah ia mendapat tantangan yang … konyol ini? di hari pertama menjalani MOS—Masa Orientasi Santri di pesantren?

Tidakkah ini termasuk perpeloncoan? Bukankah ini termasuk pem-bully-an?

Dia pernah mengalami yang lebih sadis dari ini saat ospek di kampus seminggu yang lalu. Atau MOS saat SMA dulu. Tapi tetap saja rasanya tidak etis jika hal seperti ini ada di pesantren. Bagaimanapun dia tahu jika pesantren itu adalah tempat yang sangat menjunjung tinggi norma-norma dan syariat agama. Melirik lawan jenis saja mungkin adalah hal yang tabu di sini, apalagi … nembak cewek?

Unbelievable ….

Mendekati dan berhubungan dengan perempuan yang bukan mahram jelas diharamkan. Kenapa malah …  Dia sempat mau protes tadi. Tapi ….

“Tidak diperbolehkan protes dan memberi tahu isi dari kertas tantangan yang sudah diambil pada siapa pun. Kamu bersedia ambil artinya kamu setuju melaksanakan tantangan kali ini.”

Mau nggak setuju gimana? orang ini salah satu kegiatan MOS. Lagian, mana berani santri baru nolak nggak ikut MOS dan membangkang dari perintah? Gerutunya dalam hati saat seruan lantang itu terdengar dari arah depan. Seorang lelaki yang memperkenalkan dirinya sebagai Roisul Lajnah itu seperti tahu isi kepalanya. Membuatnya menunduk, menekuri lagi sederet kalimat dalam secarik kertas di tangan.

Nembak cewek mana pun yang masuk dari gerbang utama pesantren dengan suara lantang. Bunyi tantangan itu.

“Semua tantangan dari panitia dan pengurus bertujuan untuk mengasah mental santri. Setiap kelompok akan didampingi oleh satu panitia. Apabila ada peserta yang gagal melaksanakan tantangan dan mangkir dari tugas, akan dikenai takziran dan harus mengulang MOS dari awal. Mengerti?!” lanjut sang Rois berapi-api.

Oke … dia pasti seperti santri yang lain, tidak akan sudi mengulang kegiatan MOS dari awal. Dan semua kertas berisi tantangan itu bahkan dari panitia dan pengurus. Itu artinya sudah di filter dan lulus sensor bukan? Mungkin pesantren ini beda dari pesantren-pesantren yang lain. Ah ya, mungkin juga karena hampir semua santrinya adalah mahasiswa, jadi agak … bebas? Baguslah … kalau ada pesantren yang membolehkan ada hal-hal semacam ini. Poin ini tentu akan memudahkannya untuk beradaptasi. Daebak! kreatif sekali pesantren ini. Lelaki itu tersenyum, merasa geli sendiri dengan temuannya.

“Mengerti.” Jawaban serempak itu terdengar membahana, membuat riuh seisi aula. Membuat lelaki itu sedikit gelagapan karena sejak tadi ia sibuk dengan lamunannya sendiri.

“Fahimtum?” tanya sang Rois lagi.

“Fahimna.” Kali ini dia tidak mau kalah seru.

Salman … Salman Al-Farisi, nama cowok yang menerima tantangan konyol itu. Dia sudah bisa menebak tidak akan mudah bagi … tuan muda seperti dirinya—yang apa-apa selalu dilayani—harus mendadak hidup di pesantren. Rasanya pasti seperti Nabi Adam dan Siti Hawa yang hidup di surga, lalu tiba-tiba harus digelincirkan ke bumi.

Jika tantangan pertama Nabi Adam tinggal di Bumi adalah mencari Siti Hawa, maka tantangan Salman saat ini adalah menunggu hadirnya gadis yang masuk dari pintu gerbang untuk dijadikan objek tantangannya.

Bersama empat teman lainnya dan satu panitia MOS yang bekerja sebagai pengawas kelompok, ia sudah siap berdiri di pojok gedung asrama putra, memantau pergerakan dari arah gerbang. Ia tarik napas dalam-dalam, lalu menghembuskannya lewat mulut dengan kencang. Jari jemarinya ia tautkan, lalu ia dorong lengannya ke depan sambil menggerakkan kepalanya ke kiri dan kanan, seperti seorang petinju yang siap bertarung di atas ring saat sang lawan sudah di hadapan.

“Grogi ya, Kang?” cibir salah satu teman di kelompoknya. Namanya Muhammad Aziel Nasution. Panggilannya Aziel. Beberapa santri menjulukinya Boncel. Mungkin karena postur tubuhnya yang kecil dan pendek. Tapi dia tidak masalah kok dengan julukan itu. Karena mudah baginya membungkam mulut busuk orang lain dengan beberapa kelebihannya.

“Nggak tuh. Biasa aja. Lagi ngelemesin otot aja,” elak Salman enteng. Tapi wajahnya terlihat serius dengan kedua alis yang hampir menyatu. Pandangannya lurus ke arah gerbang besi setinggi tiga kaki.

“Tenang … Allah bersama hamba-Nya yang santuy,” sindir lelaki bertubuh bongsor sambil melirik tulisan di dada Salman. Nama si tubuh bongsor ini paling unik. Edwin Mario Kaesar Lombang.

“Berisik.” Salman manyun. Yang lain terkikik. 

“Emang apa sih isi tantangannya?” tanya si mata sipit kepo. Awalnya orang-orang mengira dia ada keturunan Chines. Ternyata cowok bernama Zulham Ahswani ini jawa tulen.

Dia tampak santai karena sudah menjalankan tantangannya seperti yang lain. Setiap santri baru mendapat tantangan yang berbeda-beda. Ada yang mendapat tantangan mengumandangkan azan dengan suara kencang di tengah halaman, memberi kultum di kelas, wawancara dengan rois pondok, dan menghafal sepuluh bait Alfiyah dalam sepuluh menit.

“Sssst … nggak boleh bocor nanti kena takziran.” Aziel memperingati dengan mengibaskan tangannya.

“Iyo bener. Kita tunggu saja Mas Salman beraksi. Biar surprise,” pungkas Edwin.

Benar kata si Edwin, kita tunggu saja gadis yang dinanti-nanti Salman lewat. Kira-kira siapa yang bakal masuk dari gerbang utama itu. Salman harap gadis yang bakal dia tembak adalah gadis cantik jelita super molek. Tapi tidak masalah juga jika gadis yang lewat nanti adalah gadis burik bin dekil.

Tukang kebun, penjual sayur, atau juru masak sekali pun juga tidak masalah. Malah aman, ‘kan? Dia tidak perlu merasa khawatir cewek yang akan ia tembak bakal baper. Lagi pula ini hanyalah permainan dalam ospek. Semua orang di pesantren pasti sudah tahu kegiatan hari ini. Identitas yang dikenakan santri baru juga terlihat mencolok dan berbeda dari yang lain. Kemeja putih, sarung hitam polos dilengkapi dengan name tag kalung ospek. Name tag itu berisi identitas singkat dan moto hidup.

Penasaran yang tertulis di name tag-nya Salman? Oke, kita spill sambil menunggu ada gadis yang masuk lewat pintu gerbang.

NAMA : SALMAN AL-FARISI A

MOTO : ALLAH BERSAMA HAMBANYA YANG SANTUYYY

Di bawah tulisan itu tersemat fotonya dengan pose —jari telunjuk dan jempol dibentangkan membentuk centang di bawah dagunya yang agak terbelah. Mata kirinya sedikit merem dan lidahnya terjulur ke kiri. Bukan seperti tercekek dan hampir mati.  Bukan … bukan seperti itu. Lebih seperti … playboy yang suka menggoda cewek? Karena benar-benar sok ganteng sekali dia di foto itu. Fine … dia memang ganteng. Jadi, anggap saja memang sudah sepantasnya dia berpose seperti itu.

Mari kembali pada situasi di halaman ndalem dan pojok gedung asrama putra. Sesuai moto Salman, Allah bersama hamba-Nya yang santuy, dia memang tidak terlihat resah sedikit pun. Yang tampak gelisah justru teman-temannya dan satu pengawas alias santri senior bagai bodyguard yang membersamai mereka. Kira-kira apa tantangan yang diterima Salman hingga membuat mereka berdiri bergerombol di sudut halaman bagai sekelompok semut yang mengerubuti gula.

Untung saja cuaca sedang cerah. Tidak ada hujan, petir, badai, ataupun tsunami. Yang ada hanya hawa yang cukup hangat karena hari sudah beranjak sore. Angin yang berhembus cukup kencang membuat beberapa sisi sarung mereka menari-nari mengikuti gerakan dedaunan pinus dan kamboja yang ngrembuyung di beberapa sudut halaman.

Salman masih menanti dengan doa yang terus menggema dalam hati. 

“Ya Allah, tolonglah hamba-Mu ini. Di sini hamba sedang dipelonco oleh senior hamba. Itu berarti hamba termasuk orang yang terzalimi,‘kan? Dan hamba percaya doa orang yang terzalimi akan Engkau kabulkan. Ya Allah, hamba hanya minta gadis yang masuk saat ini adalah gadis paling cantik di pesantren Al-Mukmin. Secara aku ini ganteng nggak ada obat, Ya Allah. Hamba takut kegantengan hamba ini membuat cewek langsung klepek-klepek. Jadi, sudah seharusnya yang klepek-klepek adalah yang cantik.”

Salman masih memainkan kerikil-kerikil dengan sandalnya saat tiba-tiba terdengar suara pintu gerbang sedang dibuka.  Lalu muncullah sosok yang langsung membuat tatapan Salman dan teman-temannya terpaku. Tidak hanya terpaku, tapi mereka mungkin tidak sadar jika mulut mereka kini tengah menganga. Hanya pengawas mereka yang kini mungkin sedang menegang waspada.

“Ma hadza basyaro in hadza illa malakun kariiim,” desis Aziel tanpa sadar. Dia memang yang paling jago mengaji. Pantas jika cita-citanya bisa hafal Al-Qur’an 30 juz.

Back to that girl, yang membuat semua pasang mata terpaku padanya.

Apakah ini kebetulan? Atau jawaban dari doa-doanya barusan? Salman bahkan kesulitan menelan ludahnya sendiri saat melihat gadis berbusana serba putih itu melangkah dengan anggun di halaman ndalem. Dia ini bidadari atau apa? Ha?!

Sepertinya tidak ada kata atau kalimat yang pas untuk mendeskripsikan dengan detail pesona gadis ini. She is dazzling and wonderful. Dia seperti perpaduan antara Natasha Wilona dan Seo Yea Ji. Amsyooong … Gamsahamida … Annyeong Haseyo … Subhanallah … Allahu Akbar.

Semilir angin yang bersatu padu dengan pesona itulah yang membuat kaki-kaki Salman bergerak otomatis. Membuatnya terhipnotis dan mendadak tuli hingga tak mendengar seruan dari arah belakang.

“Pssst … pssst … Kang, woiii … mau ngapain kamu?” Sang pengawas memperingati. Bodyguard dadakan kaku seperti kulkas dua pintu itu tiba-tiba jelalatan dan belingsatan melihat anak buahnya mendekati bidadari yang kini berjalan ke arah ndalem.

“Kang Salman.”

“Mas Salman … balik, Mas!”

Kawan-kawannya yang lain ikut panik. Semakin panik saat Salman tak hirau sama sekali dengan berbagai peringatan dan saat ini malah sudah berdiri tepat di hadapan sang gadis dengan gestur seperti menghadang.

Gezz … tentu saja itu membuat langkah bidadari berbaju putih tiba-tiba berhenti dengan wajah bingung. Pasang matanya yang menatap tajam membunuh tidak membuat Salman goyah. Salman justru tersenyum dengan pandangan terkunci pada gadis di hadapannya. Lalu mulutnya secara otomatis mengucapkan kalimat mematikan itu.

“Hey … I LOVE YOU,” tembak Salman dengan suara lantang sambil mengarahkan telunjuknya tepat pada hidung gadis itu.

Salman tidak peduli jika nanti pipinya akan menjadi sarang tamparan. Dia bahkan akan senang hati jika telapak tangan gadis ini mendarat keras di pipinya. Dia tidak peduli dengan reaksi sekitar, juga ekspresi beberapa teman yang berdiri beberapa langkah di belakangnya. Sudah tidak ada yang berani bersuara di antara mereka. Apa mungkin karena mereka sudah jatuh bergelimpangan akibat terkena serangan jantung dadakan?

Jangan ditanya bagaimana reaksi gadis itu saat ini. Tatapan tajam bagai elang mengitari ular, muka merah padam dan kedua tangan saling mengepal. Berbagai umpatan pasti sudah ingin menyembur keluar dari mulutnya. 

Halaman ndalem yang tadinya cukup riuh oleh lalu lalang santri, kini berubah senyap. Pekikan-pekikan tadi sudah tidak terdengar lagi. Semuanya mematung dengan pasang mata menatap ngeri ke arah dua orang yang kini saling beradu tatap di halaman. Apa yang akan terjadi selanjutnya?

“I LOVE YOU.”

Tong sampah di pojok asrama tiba-tiba saja roboh, membuat sampah-sampah di dalamnya berhamburan ke mana-mana. Entah siapa pelakunya. Yang jelas masih tak ada yang berani bersuara. Mulut-mulut semakin menganga dan beberapa bola mata seperti ingin keluar dari rongganya.

“I LOVE YOU. MAU NGGAK JADI PACAR AKU?” ulangnya yang ketiga kali. Baiklah, selamat, Tuan Salman. Anda berhak menerima satu buah piring cantik. Plus ….

“KANG, SIAPA SANTRI TIDAK TAHU DIRI INI?!” sembur gadis itu dengan suara menggelegar bak halilintar. Yang hampir membuat Salman terjengkang. Ingat kan? tadi dia hanya persiapan untuk sebuah tamparan, bukan bentakan.

“Anu, Bu Nyai … Astaghfirullah ….” Lelaki berkacamata menyahut panik. “Semprul tenan bocah iki. Kamu pikir itu siapa?” gerutunya sambil berjalan mendekat, hendak mengamankan santri tak tahu diri itu.

Apa? Bu Nyai? Wajah Salman berubah pucat. Dia tentu belum siap masuk ke dalam lubang yang ia gali sendiri.

Oh, poor you, Salman Al-Farisi

————

Note :

Ndalem : Sebutan untuk rumah Kiai di kalangan para santri.

Roisul Lajnah : Ketua Panitia.

Fahimtum : Apa semua paham?

Fahimna : Kami paham.

Bu Nyai : Sebutan untuk ibu pengasuh perempuan. Santri memperlakukannya tidak hanya sebagai guru tapi juga ratu.

Rois : Ketua.

Iklan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Konten Terkait

Lihat Juga
Close
Back to top button
bandar togel ppidsulsel.net stmik-hsw.ac.id bprdesasanur.com sv388 https://pa-kualakapuas.go.id/ widyagama.org univpancasila.com klik88 provider game slot www.paramadina.org slot gacor klik88 slot gacor scatter hitam slot gacor idn situs slot gacor live casino online game slot slot gacor pg slot gacor malam ini slot pragmatic play link tok99toto tok99toto login slot scatter hitam bojonegorokab.net menpan.net www.latinseminary.org k86sport login slot gacor zeus slot gacor idn slot mahjong mudah jackpot slot gacor 4d https://smpn10kotasukabumi.or.id/