Iklan
Kolom

Yang Terpenting dalam Sholat, Terpenting dalam Hidup

Oleh: Maulana Karim Sholikhin*

Di suatu malam cerah, di teras sebuah rumah, para pemuda yang tak punya ikatan ormas apapun sedang berdiskusi seru. Bukan untuk membicarakan resesi ekonomi atau projek kereta cepat. Cuma ngobrol ringan dan receh. 

Sampai tiba-tiba salah seorang di antara mereka melontar tanya, memecah suasana. “Bagian apa yang terpenting dalam sholat?.”

Iklan

Sementara yang lain masih membagong, salah satu menjawab, “fatihah,” satunya lagi menimpali dengan volume yang lebih tinggi, berharap pembenaran argumennya, “sujud, dong.” Satunya lagi tak mau kalah, “jelas niat, innamal a’malu bin niyyah,” terangnya.

“Buat apa niat kalau ndak khusyu’,” serang kang-kang sufi.

Santri mbeling dengan tenang menimpali, “sholat masih mikir angsuran aja ndadak mau khusyu’,” semua tertawa geli, kemudian kompak mengembalikan pertanyaan kepada pemberi soal. Iapun menjawab, “yang terpenting dalam sholat adalah takbir,” jawab si penanya tadi.

Semua termenung beberapa saat dan akhirnya mengerti apa yang dimaksud. Ya, takbir lah yang menggerakkan sholat. Tanpa takbir, orang hanya akan berhenti di niat tanpa ada aksi nyata. Tanpa takbir pula, orang akan terus i’tidal dengan congkak dan tidak akan bergerak, bersimpuh dalam sujud.

Sebegitu primernya fungsi takbir dalam sholat, namun statusnya sering terabai. Acap kali hanya sebagai pelengkap penderita, tanpa kita pernah menyadari bahwa dialah yang menggerakkan setiap bagian dalam sholat, dialah motor, aktor utama. Dialah pedal gas dan transmisi dalam sholat.

Lantas, siapa atau apa wujud takbir dalam hidup kita?. Penulis menemukan semacam syair indah dalam autobiografi milik sufi mistik bernama Bayazid.

“Ketika aku masih muda,” tulis Bayazid, “aku berpikir dan berkata kepada Tuhan, dan dalam semua doaku, begini bunyinya: “berilah aku energi sehingga aku dapat mengubah seluruh dunia.”

“Bagiku semua orang tampak salah. Aku adalah seorang revolusioner dan aku ingin mengubah muka bumi. Ketika aku sedikit lebih dewasa, aku mulai berdoa:

“Ini sepertinya terlalu berlebihan. Hidup akan keluar dari tanganku, hampir setengah hidupku hilang dan aku tak bisa mengubah seorang pun. Dan seluruh dunia? terlalu banyak,” lanjut Bayazid.

Berikutnya, ia menyederhanakan rencananya, “jadi aku berkata kepada Tuhan, “Tak perlu mengubah seluruh dunia, cukuplah keluargaku. Biarkan aku mengubah keluargaku.

“Dan ketika aku menua, aku menyadari, bahkan keluarga itu terlalu banyak, dan siapakah aku untuk bisa mengubah mereka?. Kemudian aku menyadari bahwa jika aku dapat mengubah diriku sendiri, itu sudah cukup, lebih dari cukup.”

“Aku berdoa kepada Tuhan, “Sekarang aku telah sampai pada titik yang tepat. Setidaknya izinkan aku melakukan ini: “aku ingin mengubah diriku sendiri.” 

“Tuhan menjawab, “Sekarang tidak ada waktu lagi. Itulah yang seharusnya kamu minta sejak di awal. Sehingga ada kemungkinan.”

Dari syair indah itu, adakah takbir lain selain diri sendiri? Menurut penulis tidak. Kalaupun ada, mungkin hanya sub-takbir saja.[]

*Penulis merupakan pendidik di Ponpes Shofa Az Zahro’ dan MI Hidayatul Islam Gembong

Iklan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Konten Terkait

Back to top button