Pesona Selebgram

Perjalanan selama tujuh jam cukup membuat punggung dan pantat Farhan pegal. Untung Agus adalah supir handal dan berpengalaman, jadi mereka bisa tiba tepat waktu tanpa bingung bertanya kesana kemari. Agus sudah selalu kontak dengan Liasion Officer yang disediakan khusus untuk Farhan selama perjalanan. Juga ketika mereka sampai di gapura bertulisan “Selamat datang di Wonosobo Asri.”
Tulisan itu benar-benar menggambarkan kota bernama Wonosobo. Asri. Hamparan sawah terasering berada di kanan dan kiri jalan dikelilingi bukit-bukit yang menjulang. Jalan raya yang seolah diapit dua gunung bernama Sindoro dan Sumbing meliuk melewati beberapa rumah warga, sawah dan kebun sayur. Dua gunung itu seolah ingin merangkul mereka sekaligus pohon-pohon pinus, akasia, dan cemara yang sudah menua di pinggir jalan. Jalanan berliku dengan panorama kebun teh membuat Agus dan Farhan berdecak kagum. Belum lagi kabut tipis dan hawa dingin yang mulai menusuk kulit.
“Dingin, Lora. Beeerrr,” ucap Agus seraya merapatkan jaket.
Farhan segera memungut sweater yang ia siapkan dalam tas ransel. Ia sudah dihimbau oleh panitia untuk membawa pakaian hangat karena saat ini Wonosobo sedang dingin-dinginnya. Tak lama kemudian setelah mengitari alun-alun dan pertokoan di sekitar kota, mobil mereka berbelok pada sebuah homestay bergaya joglo di daerah Mudal. Bangunan yang dikelilingi gazebo kecil dan kolam ikan itu tampak begitu sejuk dan menyenangkan.
Seorang security membukakan gerbang dan mengatur tempat parkir untuk mereka. Salah seorang panitia yang ditugaskan mengatur keperluan Farhan selama di sana buru-buru menjabat tangan saat ketiga pemuda itu turun dari mobil. Ia juga membantu Agus menurunkan barang-barang dari bagasi untuk dibawa masuk ke dalam.
“Administrasi homestay sudah diatur oleh Ponpes Al-Hikmah, Lora. Selamat beristirahat,” ucap Kang Andi, LO Farhan sambil menyerahkan kunci. Mereka lantas berjalan menuju kamar yang berbeda. Farhan di kamar Semar, Habib di kamar Bagong, dan Agus di kamar Petruk. Sedangkan kamar Gareng ditempati oleh tamu lain.
Melihat nama-nama kamar itu, membuat Farhan teringat lagi sosok punakawan di salah satu buku yang ia baca. Tokoh-tokoh yang menjadi media Walisongo dalam berdakwah. Semar dari kata bahasa arab yaitu Ishmar yang berarti paku. Dimana fungsinya adalah sebagai pengokoh dan melambangkan pedoman hidup manusia. Pedoman hidup itu bernama agama.
Jadi Semar tugasnya adalah mengerahkan masyarakat untuk beribadah kepada Allah SWT. Negara akan stabil bila Semar bersemayam di Pertapaan Kandang Penyu, dimana maksudnya adalah penyu (wunan) atau permohonan kepada Allah SWT. Sesuai nasehat dari Mejedik Haniva padanya. “Kamu yang akan memimpin pesantren Al-Ishlah, Farhan.”
Pandangan Farhan kini tertuju pada kamar yang ditempati Agus. Petruk. Kata Petruk berasal dari kata Fatruk yang dicukil dari kalimat Tasawuf Fat-ruk kulla maa siwallahi yang artinya tinggalkan semua apapun selain Allah. Wejangan atau petuah semacam inilah yang menjadi watak para wali dan mubaligh pada masa itu. Masa perjuangan Walisongo.
Petruk juga dijuluki sebagai kantong bolong (kantung berlubang) yang bermakna setiap manusia harus berzakat dan menyerahkan jiwa raganya kepada Allah semata secara ikhlas, tanpa pamrih seperti berlubangnya kantung tanpa penghalang.
Bagong sendiri berasal dari kata Baghaa yang berarti memberontak melawan kelaliman dan kezaliman, yang dalam versi lain berakar dari kata Baqa’ yang bermakna kelanggengan atau keabadian, dimana setiap manusia tempatnya adalah di akhirat dan dunia adalah tempat mampir ngombe (tempat menumpang minum belaka).
Gareng atau Nala Gareng berasal dari kata Naala Qariin yang bermakna memperoleh banyak teman, dimana maksudnya adalah sesuai dengan dakwah para wali dalam memperoleh teman (umat) sebanyak-banyaknya untuk kembali ke jalan Allah SWT dengan sikap arif dan harapan yang baik.
Di kamar masing-masing, ketiga pemuda itu segera membersihkan diri sebelum melaksanakan salat.
***
“Duh dimana sih?”
Nihel tampak panik ketika mengobrak-abrik isi kopernya. Ia tak habis pikir kenapa benda sepenting itu bisa sampai ketinggalan. Sifat pelupanya benar-benar sudah tidak bisa ditolerir. Kosmetik dan skin care. Ia sedikit frustasi saat yakin benda itu tak ia temukan dalam tas maupun koper miliknya.
“Ya Allah, gimana ini. Gimana besok aku bisa pede di depan kamera?” desahnya sambil memegang kepala.
Padahal ia baru saja membeli lagi skincare andalannya itu di sebuah outlet kecantikan di Madura sehari sebelum berangkat. Ia juga membeli lip cream warna nude favoritnya. Bisa-bisanya semuanya lupa tidak ikut dimasukkan ke dalam koper. Mungkin saking fokusnya mempelajari materi yang hendak ia sampaikan di seminar menyambut harlah besok.
“Ada ada, Ning?” Santri bernama Citra yang khusus ia ajak mendampinginya selama di Kota asri bertanya dengan raut bingung.
“Skincare dan kosmetikku ketinggalan, Cit.”
“Ya Allah. Maafkan saya, Ning tidak mengingatkan dan memeriksa kembali kemarin,” sesal Citra dengan tertunduk.
“Halah bukan salahmu. Ya sudah temani aku nyari sekitar sini.”
Beruntung Nihel menemukan outlet yang menjual lengkap produk kecantikan di jantung Kota Wonosobo. Ia segera kembali ke homestay Mudal setelah satu setengah jam pencarian. Hari juga sudah berubah petang saat ia masuk ke dalam kamar bertuliskan “Gareng.” Malam ini ia tak boleh melewatkan untuk mengulas materi dan muthola’ah beberapa kitab sebagai referensi untuk mengisi seminar besok.
Sebelum meluncur ke ponpes AL-Hikmah Manggisan-tempat diselenggarakannya acara harlah KPP (Komunitas Perempuan Pesantren) dan seminar khusus menyambut acara tersebut hari ini, ia menyempatkan beberapa kali untuk mematut diri di depan kaca. Ia tersenyum puas dengan penampilannya dan berdoa semoga peserta seminar yang tak lain adalah para santri juga puas dengan pemaparannya nanti.
“Subhanallah, Jenengan terlihat luar biasa, Ning. Saya pengagum berat Jenengan,” puji Citra pada Nihel.
“Halah biasa aja. Berangkat yuk!”
Sebelum benar-benar masuk mobil, ia memastikan lagi, benda-benda penting seperti dompet, ponsel, tablet sudah berada di sana. Ia tak mau lagi didera sifat pelupa dan tak akan membiarkan sedetik pun berlalu tanpa belajar dan mutolaah. Ia juga membawa satu stel baju ganti serta mukena karena setelah seminar ia akan beristirahat di ruang transit yang disediakan oleh panitia harlah di pondok Al-Hikmah.
Beberapa teguk air mineral mengguyur tenggorokan Nihel saat mobil sampai pada jalan kecil menuju PP. Al-Hikmah. Ia selalu sedia botol berisi air karena selain bisa mengusir haus, minum salah satu cara mengusir grogi.
Wonosobo. Meski sebuah kota kecil, tapi jalan raya sangat padat. Apalagi pagi adalah jam hampir setiap orang berangkat ke tempat kerja. Jadi ia harus sedikit bersabarb ketika supirnya agak kewalahan memilah jalan.
Nihel bernapas lega ketika mobilnya berbelok pada sebuah gang. Ia menemukan umbul-umbul yang berkibar tertiup angin tertancap di sisi kiri dan kanan jalan.
Umbul-umbul yang berkibar diterpa angin pagi serta papan poster untuk menyambut kedatangan para tamu Udara Wonosobo yang dingin segera membelai wajahnya begitu ia membuka jendela mobil. Tepat di depan gerbang pesantren, dua orang santri putra tergopoh-gopoh membukakan gerbang untuknya. Mobil melaju pelan dan terparkir di depan halaman luas depan ndalem Kiai. Sebelum ke tempat seminar, beberapa panita mengekori Nihel dan mengantar gadis itu untuk bertemu terlebih dahulu dengan Bu Nyai Hannah-istri Kiai Ghofur pemilik pesantren.
***
Di gazebo, ditemani sepiring tempe kemul, megono dan kopi panas. Farhan duduk bersisian menghadap kolam bersama Agus. Pemandangan sekitar homestay yang serba hijau dengan desau angin yang sejuk membuat mereka betah dan merasa beruntung bisa berangkat lebih awal kemarin. Selain ada waktu banyak untuk mutola’ah, ia bisa menikmati kota dengan sejuta panorama menakjubkan itu lebih lama.
“Di mana Habib?” tanya Farhan pada Agus sambil mencuil gorengan berwarna keemasan di hadapannya.
“Sepertinya habis salat subuh tidur lagi, Ra.”
“Tolong bangunkan, ajak dia sarapan. Habis ini kita jalan-jalan,” pinta Farhan yang langsung direspon anggukan oleh Agus. Lelaki gempal itu bergegas menuju kamar di mana Habib tidur semalam.
Beberapa menit kemudian, lelaki yang sudah menjadi supir di Al-Ishlah puluhan tahun itu menuju gazebo dengan sedikit berlari.
“Ra … Ra Habib tidak ada di kamar, Ra,” ucapnya ngos-ngosan.
“Coba cari lagi. Mungkin masih sekitar sini.”
“Masalahnya mobil jenengan juga tidak ada di parkiran.”
Agus menepuk jidatnya. Karena dia punya andil atas perginya Lora Habib.
“Kamu ini! Kenapa kuncinya kamu kasih?”
Farhan sangat tahu bagaimana sepupunya. Ia tak mungkin menyia-nyiakan momen ini untuk keluyuran. Bagi pemuda satu itu, pengajian besar adalah tempat paling membosankan. Ia pasti lebih memilih asyik dengan kameranya dan melupakan tujuan utama datang ke tempat ini. Padahal Farhan sudah berjanji dengan Mejedik-nya untuk menjaga Habib. Membuat lelaki itu sadar, dia juga tokoh penting di pesantren Al-Ishlah. Ia harus menempa diri dengan berbagai ilmu terutama ilmu agama. Bertemu dengan para tokoh pesantren dan bertukar pengalaman besok cukup penting.
“Saporanah, Lora. Tadi Lora Habib agak maksa dan janji cuma sebentar.”
“Kamu percaya?”
Agus menunduk semakin merasa bersalah
“Saporanah, Lora,” ucapnya lagi sambil menggaruk kepala yang tidak gatal.
“Bagaimana kalau sebagai permintaan maaf, Lora saya suapi megono?” ucapnya sambil mengangkat piring berlapis daun berisi nasi megono. Lelaki dempal itu meringis memperlihatkan barisan giginya yang agak menonjol ke depan.
“Kamu sehat?” Agus menyeringai. Ia kembali duduk di atas gazebo. Farhan menggamit ponselnya, mencoba menghubungi Habib. Nihil. Ponselnya sepupunya mati. Helaan napas yang terdengar sedikit kesal itu lelaki itu membuat Agus cemas.
“Apa perlu saya cari, Ra?”
“Gak usah. Dia bukan anak kecil,” sahutnya sambil secepatnya turun dari gazebo. Daripada memikirkan Habib yang sulit diatur, lebih baik ia segera masuk kamar mengerjakan hal lain. Keinginan untuk jalan-jalan tadi hilang sudah. Ia meninggalkan Agus yang masih bingung di depan gazebo.
Masuk kamar, Farhan menghempaskan pantatnya di atas sofa ujung tempat tidur lalu membuka-buka kitab untuk kembali mutola’ah dan belajar ceramah di depan cermin. Ia ulang-ulang sampai mulutnya terasa garing dan pipinya pegal. Setelah bisa menguasai diri dan puas, ia kembali duduk dan menyalakan ponsel. Memeriksa chat yang sudah bertumpuk di dalam salah satu aplikasi. Lalu teringat sesuatu.
Jadwal hari ini adalah seminar, Gus. Kalau ada waktu silahkan ikut menyimak. Jangan lupa like dan subscribe-nya, nggeh. Chat dari LO Farhan bernama Umar mengirim pesan dengan menyertakan link video live. Farhan menepuk jidat. Padahal sudah dari kemarin is berencana menonton seminar demi rasa penasaran dengan sosok Nihel Safura. Ia lalu membagikan link itu pada nomor Agus. Oke. Tulisnya cepat ( Elin Khanin)