Iklan
Celoteh

Maaf dan Terima Kasih

Hidup tak luput dari perselisihan. Bagaimanapun jalannya disana pasti akan berjumpa dengan perselisihan. Salah paham, lebih mengedepankan ego dan sengaja melukai merupakan bibit awal timbulnya perselisihan. Dari perselisihan kita bisa belajar dewasa, sekaligus bijaksana, dalam berbicara dan bertindak.


Beberapa waktu lalu saya tengah menghadapi perselisihan dengan seorang kawan. Salah paham dan mengedepankan ego lah penyebabnya. Tak ada asap bila tak ada api yang menyala. Saya mengajaknya untuk pergi ke suatu tempat. Ia mengabulkan tanpa tapi. Karena rindu juga katanya.


Tibalah hari itu dimana saya dan dia jadi pergi. Setiba ditempat tujuan, kami melihat hal yang tak biasa dari hari biasanya. Dia yang notabene tak begitu suka keramaian lantas mengajak pulang dan saya hanya bilang iya sembari mengekor dibelakangnya untuk kembali. Jengkel sudah pasti saya rasakan. Tujuanku tidak terkabul. Karena rencana tak sesuai dengan harapan.

Konten Terkait
Iklan


Sama seperti waktu sebelumnya, ketika kami pergi ke suatu tempat dan tujuannya tak tercapai saya pasti akan merasakan kejengkelan. Namun entah kenapa dengan waktu kemarin. Kejengkelan dan rasa tak enak telah mengajaknya namun gagal tercapai, nyampur jadi satu. Disitu saya merasa tak nyaman, bingung dan merasa bersalah.


Dia berjanji akan mengganti waktu yang gagal ini dihari berikutnya. Dan benar saja ia mengabulkan. Namun, karena keegoisan saya, saya bilang sudah tak minat. Janji yang akan dijadikan surprise telah gagal karena ucapan saya. Patutlah ia merasa kecewa dengan hal itu. Namun tetap saja dia tak marah bahkan setelah sebelumnya saya merasa jengkel dan cemberut, ia tetap mengalah dan meminta maaf sebab telah membuat saya jengkel. Sebab bilang maaf itu berat, karena ketika kita mengucapkan kata maaf tentu ego dan super ego kita turunkan. Bukankah kalimat maaf ada yang berasalan atau pun taka da alasan?


Malamnya ia menjelaskan tentang hal yang dijanjikan. Saya kaget dengan penjelasannya. Ternyata seperti itu rupanya. Saya menangis karena telah membuatnya kecewa dan parahnya saya belum bisa memahami dia seutuhnya. Saya kembali meneteskan air mata. Mengingat beberapa kesalahan beruntut yang saya lakukan. Pada akhirnya saya pun meminta maaf kepadanya.


Setiap kali kami berselisih ia yang akan pertama kali meminta maaf. Saya pernah berpikir dia ini manusia macam apa. Murah hati sekali. Namun jangan tanya saat ia sudah berubah wajahnya. Ibarat singa yang siap menerkam mangsanya bahkan lebih seram daripada hantu yang sering muncul pada tayangan horor. Bahkan lebih seram dari film KKN di Desa Penari yang lagi di gandrungi saat ini.


Perselisihan diantara kami selalu berlangsung tak lama. Kami saling mengintrospeksi diri dalam kesendirian. Baru mulai berbicara untuk mencari titik temu antara kami. Selalu begitu, dan biasanya yang paling lama sembuhnya adalah saya. Mungkin karena notabene seorang perempuan yang tak mudah melupakan segala masalah. Bisa jadi perempuan lebih mengedepankan perasaan.


Perselisihan diantara kami yang berawal dari keegoisan ini pasti anda sekalian pernah merasakannya. Kita tak dapat menghindarinya. Jika tak ingin dicap sebagai pecundang, kabur bukanlah solusi untuk mencari titik terang dari apa yang seharusnya dihadapi. Toh kabur atau lari dari masalah bukanlah solusi, justru akan memunculkan masalah yang lainnya.


Sebagai insan yang tak akan pernah luput dari kesalahan sudah semestinya kita mau belajar dan terus belajar untuk menjadi pribadi yang lebih baik dari sebelumnya, selama masih memiliki kesempatan. Saya pun demikian. Saya jadi teringat dengan nasihat orang tua, kalimat yang paling berat untuk di ucapkan adalah maaf dan terima kasih. Kedua kalimat tersebut harus dilatih dan terus dilatih, maka kita akan terbiasa untuk menundukkan ego pribadi masing-masing.
(Inayatun Najikah)

Iklan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Konten Terkait

Back to top button