Kanjengan Meriahkan Haul Syekh Mutamakkin
![]() |
Potret Desa Kajen dan Masjid Kajen dari udara. Sumber : kajen-margoyoso.desa.id |
Sekelompok pemuda Desa Kajen yang tergabung dalam komunitas budaya Kaneman Kajen Jonggringan (Kanjengan) turut memeriahkan Haul Waliyullah Syekh Ahmad Mutamakkin.
Kanjengan menggelar serangkaian acara yakni bincang buku, peluncuran buku, kidungan manuskrip dan ngaji bareng di puncak acara.
“Karena pandemi, semua dilaksanakan secara daring melalui kanal youtube Kanjengan TV. Rangkaiannya selama bulan Muharram/Syuro, atau sepanjang Agustus-September,” ujar Ahmad Falih Nur Hidayat, Ketua Panitia.
Falih mengatakan, sebanyak 11 buku yang diperbincangkan adalah karya-karya yang berkaitan dengan Mbah Mutamakkin atau pun Desa Kajen.
Sementara dua buku yang diluncurkan adalah kajian artefak masjid Kajen dan riwayat serta perjuangan Mbah Mutamakkin.
“Satu buku berbahasa Arab, membedah makna simbolik ornamen Masjid Kajen yang kaya ajaran dan filosofi. Dan satunya lagi cetakan ulang dari buku pertama yang membahas cerita tutur dari para sesepuh tentang Mbah Mutamakkin,” jelas Falih.
Di puncak acara, kata Falih, digelar kidungan Teks Pakem Kajen atau Suluk Alif. Setelah itu ada pengajian daring yang diisi oleh Gus Ulil Abshar Abdalla.
Sementara itu, koordinator Kanjengan Farid Abbad mengatakan, tema Festival Kajen ke-VII kali ini mengangkat tema “Sangkan Paraning Kajen: Ngaji, Ngajeni, Kajen.”
Harapannya, kata Farid, tema tersebut dapat menjadi ikhtiar bersama khususnya warga Desa Kajen untuk mengerti asal usul dan tujuan hidupnya.
“Ini merupakan hasil kerja-kerja kebudayaan yang dilakukan oleh kaneman Kajen secara kontinyu.”
“Kami telah melakukan penelusuran sejarah, mengumpulkan manuskrip, diskusi, kajian, dan sesekali anjangsana ke wilayah-wilayah yang ada kaitannya dengan jejak dakwah Mbah Mutamakkin,” ujar Wakil Pengasuh Ponpes Al-Roudloh Kajen ini.
Farid menjelaskan, ikhtiar tersebut sebagai bentuk komitmen Kanjengan untuk merawat dan terus melestarikan tradisi kampung halaman.
“Mbah Mutamakkin dan Desa Kajen meninggalkan banyak warisan. Sebagai ahli waris, ibarat diberi sebidang tanah, pilihannya ada dua. Tanah itu dijual, atau ditanami tumbuh-tumbuhan supaya ngrembaka dan lebih bermanfaat. Kanjengan memilih yang kedua,” ujar mahasiswa S2 Antropologi UI ini.
“Di puncak acara nanti, terkait Sangkan Paran Kajen ini akan dibahas oleh Gus Ulil Abshar Abdalla pada Selasa 07 September malam,” imbuhnya.
Kidungan Teks Pakem Kajen
Manuskrip yang ditulis pada tahun 1891 ini terakhir ditembangkan pada tahun 1950-an di Pasareyan Mbah Mutamakkin alias Kiai Cabolek alias Pangeran Hadikusuma, cucu Raja Pajang, Joko Tingkir alias Mas Karebet alias Sultan Hadiwijaya. Penulis manuskrip adalah Kiai Abdul Karim dari Margotuhu Ngerojo.
Terakhir, sebab panambangnya setelah itu meninggal dunia. Kaneman Kajen mencoba merevitalisasinya kembali: menembangkan satu-satunya manuskrip yang menyimpan ajaran Dewa Ruci versi Mbah Mutamakkin. Satu-satunya. Sebab dalam manuskrip-manuskrip yang lain, misalnya Serat Cabolek (yang ada belasan versi itu), Ketib Anom lah yang membabar Dewa Ruci.
Kisah lain, Mbah Mutamakkin adalah guru spiritual Pukubuwana II. Ada pertemuan empat mata antara Mbah Mutamakkin dan Pakubuwa II. Ada ‘bisikan rahasia’ Mbah Mutamakkin yang disampaikan. Bisikan itu agaknya memengaruhi langkah politik-kebangsaan Pakubuwana II kala itu di Jawa, yang sedang gonjang-ganjing.
Kemudian, manuskrip ini juga menceritakan pengalaman seorang santri yang ngaji kepada Mbah Mutamakkin. Namanya Ki Kedung Gede. Awalnya ia hendak melabrak Mbah Mutamakkin karena dianggap sesat. Namun ketika berjumpa, dan mengetahui kapasitas keilmuan Mbah Mutamakkin, Ki Kedung Gede justru malah ingin berguru. Ki Kedung Gede pun mengakui bahwa Mbah Mutamakkin tidak hanya mengajarkan agama Islam, tapi juga ilmu-ilmu kuno.
Lantas, mengapa ditembangkan?
Mbah Yai Ruba’i, generasi kelima yang menyimpan manuskrip tersebut merindukan suasana masa kecilnya. Kira-kira 70-an tahun yang lalu. Kala itu, Mbah Yai Ruba’i bersama ayahandanya, Kiai Syamsuri, setiap tahun mengikuti acara rutin Syuronan di Pasareyan Mbah Mutamakkin.
Salah satunya tetembangan Teks Pakem Kajen alias Suluk Alif. Warga setempat menyebutnya sebagai ‘kidungan’. Namun kidungan itu hanya berlangsung beberapa tahun. Sebab panambangnya sudah sepuh dan setelah itu meninggal dunia.
Kami sebagai generasi yang berbakti, lantas mencoba mengidungkannya kembali. Salah satunya untuk menebus kerinduan Mbah Yai Ruba’i. Meskipun dengan segala keterbatasan. Sesederhana itu alasannya.
“Menurut kami, ada pertimbangan-pertimbangan yang tidak bisa menggantikan lelaku tradisi yang kadung dianggap kuno. Padahal, tradisi yang bersangkutan dulunya adalah laku hidup sehari-hari. Di masa kini, terutama ada pertimbangan-pertimbangan kultural dan spiritual, yang menurut kami keduanya tidak bisa diwakili oleh teknologi digital dalam melakukan sebuah tradisi,” ujar Taufiq Hakim yang mengidungkan Teks Pakem Kajen. Saat kidungan berlangsung pada 28 Agustus lalu, spontan ada warga Kajen yang ikut mengidungkan. Ia adalah Mbah Yasir. Menurut pengakuannya, Mbah Yasir juga merindukan suasana seperti itu.
Di sisi lain, kata Taufiq, menulis jurnal, buku, esai, adalah penting sebagai eksistensi tradisi di ranah studi dan kontestasi pengembangan studi. Kami juga melakukannya.
“Tetapi, merevitalisasi tradisi yang telah lama hilang juga tak kalah penting: ‘mengembalikan tradisi’ kepada ahli warisnya. Kedua lelaku tersebut musti berjalan beriringan,” ujar mahasiswa Magister Sastra UGM ini.(sis/ltn)