Ngabuburit: Religiusitas dan Budaya Mbadog

Oleh Hamidulloh Ibda*
Saya tidak tahu, sejak kapan ada tradisi ngabuburit. Namun, sebenarnya tradisi ini makin populer ketika sejumlah televisi menjadikannya sebagai acara tiap menjelang berbuka puasa saat Ramadan. Akhirnya, tradisi ini membudaya di kalangan remaja muslim dengan beragam ekspresi.
Ngabuburit merupakan istilah khas dalam budaya Sunda yang bermakna “ngalantung ngadagoan burit,” atau bersantai-santai menunggu waktu sore. Kata “burit” sendiri berarti senja, waktu yang dimaksud dalam konteks Ramadan adalah selepas salat Asar hingga menjelang Magrib. Waktu ini biasanya antara usai salat Asar hingga sebelum matahari terbenam. Ngabuburit menurut bahasa adalah menunggu azan Magrib menjelang berbuka puasa pada waktu bulan Ramadan. Namun, kebanyakan budaya makan (mbadog) itu berlebihan saat berbuka puasa.
Dalam budaya masyarakat Indonesia, ngabuburit bukan sekadar menunggu waktu berbuka, tetapi juga menjadi tradisi sosial yang memperkuat kebersamaan, refleksi spiritual, dan sayangnya, dalam beberapa kasus, diwarnai oleh budaya makan berlebihan atau “mbadog” saat berbuka puasa.
Ngabuburit dan Religiusitas
Secara esensial, ngabuburit adalah kesempatan untuk memperbanyak ibadah dan mendekatkan diri kepada Allah. Waktu menjelang berbuka seharusnya dimanfaatkan dengan kegiatan positif seperti membaca Al-Qur’an, berzikir, mendengarkan kajian agama, atau berbuat kebajikan. Tradisi ini selaras dengan nilai-nilai Islam yang menekankan pentingnya mengisi waktu dengan hal-hal bermanfaat.
Namun, realitas di lapangan menunjukkan bahwa ngabuburit sering kali dijadikan momen untuk sekadar berjalan-jalan, nongkrong di tempat keramaian, atau bahkan sekadar berburu takjil tanpa menambah aspek ibadah di dalamnya. Padahal, Nabi Muhammad saw. menganjurkan agar umatnya memaksimalkan ibadah di waktu-waktu yang penuh berkah ini.
Secara etimologis, ngabuburit berasal dari bahasa Sunda yang berarti menunggu waktu sore. Dalam konteks Ramadan, ngabuburit diartikan sebagai kegiatan menunggu azan Magrib untuk berbuka puasa. Namun, ngabuburit tidak hanya sekadar menunggu waktu. Lebih dari itu, ngabuburit dapat menjadi momentum untuk meningkatkan ketakwaan kepada Allah SWT.
Beberapa kegiatan ngabuburit yang bernilai religius sangat melimpah. Pertama, membaca, tadarus atau nderes Al-Quran. Mengisi waktu ngabuburit dengan membaca Al-Quran dapat menenangkan hati dan pikiran. Selain itu, membaca Al-Quran juga dapat menambah pahala di bulan Ramadan. Kedua, mengikuti kajian, entah bersifat bandongan atau sorogan. Saat ini, banyak sekali kajian yang diadakan secara daring maupun luring, termasuk saat ngabuburit. Mengikuti kajian dapat menambah wawasan keagamaan dan memperkuat keimanan. Ketiga, berzikir dan berdoa. Waktu ngabuburit adalah waktu yang mustajab untuk berdoa. Perbanyaklah berzikir dan berdoa kepada Allah SWT agar diberikan kemudahan dalam menjalankan ibadah puasa.
Budaya Mbadog: Euforia Berbuka yang Berlebihan
Ironisnya, setelah seharian berpuasa menahan lapar dan haus, sebagian masyarakat justru terjebak dalam budaya “mbadog,” atau makan secara berlebihan saat berbuka. Fenomena ini terlihat dari beragam menu berbuka yang tersaji dalam jumlah berlebih, serta kebiasaan membeli makanan dalam porsi besar tanpa mempertimbangkan kebutuhan tubuh. Islam sendiri mengajarkan prinsip keseimbangan dalam makan dan minum. Sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur’an: “Makan dan minumlah, tetapi jangan berlebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebihan.” (QS. Al-A’raf: 31).
Berbuka dengan sederhana sebagaimana dicontohkan oleh Rasulullah saw. justru lebih menyehatkan dan mengajarkan kontrol diri. Rasulullah hanya berbuka dengan kurma dan air sebelum melanjutkan makan malam dengan porsi yang wajar. Hal ini menandakan bahwa esensi puasa bukanlah menahan lapar semata, tetapi juga mengendalikan hawa nafsu, termasuk dalam urusan konsumsi.
Salah satu tradisi yang seringkali menyertai ngabuburit adalah berburu takjil dan makanan untuk berbuka puasa. Namun, tak jarang budaya mbadog atau makan berlebihan saat berbuka puasa menjadi sebuah kebiasaan yang kurang baik. Padahal, makan berlebihan dapat mengganggu kesehatan dan mengurangi kekhusyukan dalam beribadah. Allah SWT berfirman, yang artinya: “Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (waktu dan tempat) kamu salat, makan dan minumlah, tetapi jangan berlebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebihan.” (QS. Al-A’raf: 31).
Oleh karena itu, penting bagi kita untuk tetap menjaga pola makan yang sehat dan tidak berlebihan saat berbuka puasa.
Mengembalikan Makna Ngabuburit yang Sejati
Agar ngabuburit lebih bermakna, perlu ada upaya untuk mengarahkan tradisi ini kembali ke jalurnya. Ngabuburit dapat menjadi kegiatan yang menyenangkan dan bermanfaat jika diisi dengan kegiatan yang positif. Banyak cara yang bisa dilakukan agar ngabuburit tetap religius dan tidak berujung pada budaya mbadog. Pertama, mengisi waktu dengan ibadah. Daripada sekadar berjalan-jalan tanpa tujuan, gunakan waktu menjelang berbuka untuk membaca Al-Qur’an, mendengar ceramah agama, atau berdiskusi tentang ilmu Islam.
Kedua, berburu takjil dengan bijak. Jika ingin membeli makanan berbuka, pilihlah dengan porsi yang cukup dan tidak berlebihan agar tidak terjebak dalam konsumsi yang berlebihan. Ketiga, berbuka secara sederhana. Mulailah berbuka dengan kurma dan air putih, lalu makan dengan porsi secukupnya setelah salat Magrib. Keempat, meningkatkan kepedulian sosial. Memanfaatkan ngabuburit untuk berbagi dengan sesama, misalnya dengan ikut serta dalam kegiatan berbagi takjil gratis atau memberikan makanan kepada mereka yang membutuhkan.
Kelima, berolahraga ringan. Sambil menunggu waktu berbuka, Anda bisa melakukan olahraga ringan seperti berjalan kaki atau bersepeda. Keenam, menulis atau menggambar. Jika Anda memiliki hobi menulis atau menggambar, ngabuburit bisa menjadi waktu yang tepat untuk menyalurkan kreativitas Anda. Saya sendiri pun konsisten menulis artikel di pcnupati.or.id untuk mengisi waktu luang selama Ramadan. Ketujuh, berkebun. Bagi Anda yang memiliki halaman rumah, berkebun bisa menjadi kegiatan yang menyenangkan dan bermanfaat saat ngabuburit.
Ngabuburit adalah tradisi yang memiliki nilai-nilai religius dan sosial yang kuat. Namun, kita juga perlu bijak dalam menyikapi budaya mbadog yang berlebihan. Mari jadikan ngabuburit sebagai momentum untuk meningkatkan ketakwaan kepada Allah SWT dan mengisi waktu dengan kegiatan yang sehat dan produktif.
Ngabuburit seharusnya menjadi momen untuk memperkuat spiritualitas dan menyiapkan diri menyambut berbuka dengan penuh kesadaran. Sayangnya, tradisi ini kerap berubah menjadi ajang konsumsi berlebihan yang bertolak belakang dengan nilai utama puasa. Oleh karena itu, penting bagi kita untuk mengembalikan makna ngabuburit yang sesungguhnya: bukan sekadar menunggu berbuka dengan aktivitas hiburan semata, tetapi juga memperbanyak ibadah dan menjaga keseimbangan dalam pola makan. Dengan demikian, Ramadan benar-benar menjadi bulan penuh berkah yang membawa perubahan positif dalam kehidupan kita
*Dr. Hamidulloh Ibda, penulis lahir di Pati, dosen dan Wakil Rektor I Institut Islam Nahdlatul Ulama (Inisnu) Temanggung (2021-2025), Koordinator Gerakan Literasi Ma’arif (GLM) Plus LP. Ma’arif NU PWNU Jawa Tengah (2024-2029), reviewer 31 Jurnal Internasional terindeks Scopus, Editor Frontiers in Education terindeks Scopus Q1 (2023-sekarang), dan dapat dikunjungi di website Hamidullohibda.com.