Puasa dari Ghibah

Oleh Hamidulloh Ibda*
Puasa kok masih ghibah? Ya, sakjane itu urusan personal. Tapi sebagai umat Islam yang waras dan masih peduli, kita harus mengingatkan bahwa ghibah (dalam KBBI: gibah), gosip, gunjing, gremingi, itu semua tidak baik. Gibah pada initnya membicarakan keburukan, keaiban, kejelekan orang lain, dan sebutan lainnya adalah bergunjing. Saat puasa Ramadan, atau hari biasa, hakikatnya gibah tidak boleh dilakukan. La apalagi dilakukan di bulan suci Ramadan.
Puasa sebagai praktik ibadah yang memiliki makna yang mendalam dalam agama Islam harus bebas dari gibah. Selain menahan diri dari makan, minum, dan hubungan suami istri dari terbit fajar hingga terbenam matahari, puasa juga mengajarkan nilai-nilai spiritual yang penting. Salah satu aspek yang seringkali ditekankan dalam puasa adalah menjaga lidah dari berkata-kata yang tidak baik, termasuk di antaranya adalah ghibah.
Dalam Islam, ghibah (menggunjing atau mencela orang lain di belakangnya) tetap dianggap sebagai perilaku yang tidak baik, baik saat berpuasa maupun di luar bulan Ramadan. Namun, saat berpuasa, hukum ghibah menjadi lebih serius karena puasa bukan hanya menahan diri dari makan dan minum, tetapi juga dari segala bentuk perilaku buruk, termasuk ghibah.
Sebagian besar ulama sepakat bahwa ghibah adalah haram dalam Islam dan bisa membatalkan pahala puasa seseorang. Rasulullah SAW sendiri telah memberikan peringatan keras tentang bahayanya menggunjing atau mencela orang lain. Dalam sebuah hadis riwayat Muslim, Rasulullah SAW bersabda: “Tahukah kalian apa ghibah itu? Para sahabatnya menjawab, ‘Allah dan Rasul-Nya yang lebih mengetahui.’ Beliau bersabda, ‘Ghibah adalah kamu menyebut saudaramu dengan sesuatu yang dia tidak sukai.’ Mereka bertanya lagi, ‘Apakah jika yang saya katakan itu benar?’ Beliau bersabda, ‘Jika apa yang kamu katakan itu benar, maka itu adalah ghibah, dan jika tidak benar, maka itu adalah buhtan (fitnah).’”
Oleh karena itu, penting bagi umat Islam untuk menjaga lidah mereka dari ghibah, terutama saat berpuasa. Lebih baik untuk berbicara hal-hal yang bermanfaat atau diam daripada terjerumus dalam ghibah yang bisa merusak ibadah puasa seseorang. Sebagai gantinya, kita harus berusaha meningkatkan kesadaran diri dan menjaga perasaan orang lain.
Larangan Ghibah
Dalam Islam, larangan terhadap ghibah atau gosip sangatlah kuat. Ghibah didefinisikan sebagai mengungkapkan sesuatu tentang seseorang yang jika ia mendengarnya, tidak akan senang, meskipun apa yang dikatakan itu benar. Gosip sering kali merupakan bentuk ghibah yang lebih luas, di mana informasi atau cerita tentang seseorang tersebar tanpa kebenaran atau tujuan yang jelas.
Larangan terhadap ghibah dan gosip berdasarkan pada beberapa ayat Al-Qur’an dan hadis Nabi Muhammad SAW. Salah satunya adalah dalam Surat Al-Hujurat (49:12) yang berbunyi:
“Dan janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian yang lain. Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati? Tentu kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.”
Hadis Nabi Muhammad SAW juga menyatakan bahwa Rasulullah bersabda: “Apakah kalian ingin aku kabarkan tentang sesuatu yang lebih baik dari pada shalat, puasa dan sedekah? Menghindari bicara yang tidak berguna dan ghibah.” (HR. Tirmidzi)
Larangan terhadap ghibah dan gosip menekankan pentingnya menjaga mulut agar tidak menyakiti atau mencemarkan nama baik orang lain. Islam menekankan pentingnya menghormati hak-hak individu, termasuk hak untuk dihormati dan dijaga nama baiknya. Sebagai gantinya, Islam mendorong untuk berbicara yang baik, memberikan nasehat yang berguna, dan mempromosikan kebaikan.
Jadi, dalam Islam, penting untuk menghindari ghibah dan gosip serta menggantinya dengan perilaku yang baik dan produktif.
Puasa dari Ghibah?
Ghibah, dalam Islam, merujuk pada perbuatan menggunjing atau membicarakan orang lain secara tidak baik atau tanpa alasan yang jelas. Meskipun terkadang dianggap sebagai perbuatan sepele, ghibah memiliki dampak yang besar, baik pada diri pelakunya maupun pada orang yang dibicarakan. Dalam Al-Qur’an, ghibah dibandingkan dengan memakan daging saudara kandung yang sudah mati, sebuah analogi yang menggambarkan kekejaman perbuatan ini (QS Al-Hujurat [49]: 12).
Ketika seseorang berpuasa, tugas menjaga lidah dari ghibah menjadi lebih penting. Puasa mengajarkan kendali diri dan kesabaran, serta memperkuat kesadaran spiritual terhadap perbuatan dan perkataan kita. Saat kita menahan diri dari makan dan minum, kita juga seharusnya menahan diri dari menggunjing atau membicarakan orang lain dengan tidak baik.
Puasa dari ghibah bukan hanya tentang menahan diri dari berbicara tentang orang lain, tetapi juga mengajarkan untuk melihat kebaikan dalam setiap individu. Saat kita sadar bahwa kita tidak boleh mengucapkan sesuatu yang tidak baik tentang orang lain, kita cenderung mulai melihat mereka dengan mata yang lebih baik pula. Ini membantu membangun sikap saling menghormati dan saling mendukung di antara sesama.
Selain itu, puasa dari ghibah juga memperdalam hubungan kita dengan Tuhan. Dalam puasa, kita mencari keridhaan Allah, dan salah satu cara untuk mencapainya adalah dengan menjaga lisan dari ucapan yang tidak baik. Ini adalah bentuk ibadah yang melampaui sekadar menahan lapar dan haus, tetapi juga menuntut kesadaran spiritual yang lebih dalam.
Menghindari ghibah bukanlah tugas yang mudah, terutama di tengah-tengah interaksi sosial yang kompleks dalam kehidupan sehari-hari. Namun, puasa memberi kita kesempatan untuk melatih diri dan memperkuat kontrol diri kita terhadap lisan. Setiap kali kita menahan diri dari mengucapkan sesuatu yang tidak baik tentang orang lain, itu adalah bentuk pengorbanan yang diterima oleh Allah.
Dalam kesimpulannya, puasa dari ghibah bukanlah sekadar aturan formal dalam agama Islam, tetapi juga sebuah kesempatan untuk tumbuh secara spiritual. Ini mengajarkan kita untuk memperkuat kontrol diri, melihat kebaikan dalam sesama, dan mendekatkan diri kepada Tuhan. Dengan melatih diri dalam menjaga lidah dari ghibah selama bulan Ramadan dan bahkan setelahnya, kita dapat membawa kebaikan dan kedamaian dalam hubungan sosial kita serta mendekatkan diri kepada Allah dengan hati yang bersih dan kesadaran yang sempurna.
*Dr. Hamidulloh Ibda, M.Pd., penulis lahir di Pati, 17 Juni. Saat ini menjadi dosen Institut Islam Nahdlatul Ulama Temanggung, Koordinator Gerakan Literasi Ma’arif (GLM) LP. Ma’arif NU PWNU Jawa Tengah 2018-2023, Kabid Media, Hukum, dan Humas Forum Koordinasi Pencegahan Terorisme (FKPT) Jawa Tengah 2020-sekarang, pengurus Lembaga Ta’lif Wan Nasyr Nahdlatul Ulama (LTN-NU) PCNU Kabupaten Temanggung, aktif menjadi reviewer 17 jurnal internasional terindeks Scopus, reviewer 7 jurnal internasional, editor dan reviewer 25 jurnal nasional.